29. Perjanjian (PAD)

2.9K 877 28
                                    

Perjanjian

Selimut abu-abu menutupi sebagian tubuh, kamar bercat putih membuatku mengedarkan pandangan. Tersadar kalau aku masih ada di panti asuhan milik keluarga Auris.

"Udah sembuh?" Suara khas itu membuatku terlonjak. Seperkian detik kupikir lelaki di ambang pintu adalah Papi, ternyata Pak Eros.

"Udah." Tadi siang, aku kehujanan bersama Auris, parahnya gadis itu mengajak memakan es krim. Katanya, dia selalu makan es krim meski tengah hujan untuk mengurangi rasa sedih. Meski penuturannya sedikit benar, tetapi aku berakhir demam.

Pak Eros duduk di kursi, tepat di sebelah kasur tempatku beristirahat. Tampak wajah Pak Galak itu sedikit berbeda, tatapannya juga tidak biasa.

"Saya telepon Papi kamu, dia pengen jemput kamu, tapi saya bilang untuk biarkan kamu di sini sementara." Pernyataan Pak Eros membuat hatiku tercubit. Ternyata Papi masih memedulikan anaknya, mengapa begitu menyayat hati mendengar kenyataan itu, kupikir dia sibuk mengurus gadis Ulat itu. Sepertinya Pak Eros juga tahu apa yang tengah kuhadapi, terbukti dari dia menahanku di sini. Apa Auris memberitahunya?

"Udah, jangan ketawa gitu, enggak enak lihatnya."

Astaga, ini hampir menangis dan dia malah bercanda.

"Saya keluar dulu, istirahat aja, kali ini saya enggak akan nyuruh kamu cabutin rumput, paling besok nagih sewa menginap semalam," ujar Pak Eros lalu terkekeh, setelah itu dia keluar.

Syukurlah Auris datang menemaniku, dan itu berkat Raden yang memberitahu lokasinya, ah ternyata pemuda pintar itu masih peduli.
Di kasur aku menaikturunkan layar ponsel melihat catatan panggilan dari Papi, termasuk pesan yang lelaki itu kirim. Tidak dapat membalas karena bingung, aku memilih menatap foto-foto kami di galeri ponsel.

Setahun lalu, tepat di hari Mami akan meninggal, Papi menghampiriku dengan wajah suram. Ia mengatakan untuk tetap tegar sampai kapan pun. Saat itu juga aku menangis, karena tahu makna dari ucapannya.

Selepas tidak ada Mami, aku dan Papi memiliki sebuah perjanjian tertulis. Bahkan catatan tersebut disimpan di ponsel menjadi pengingat.

Perjanjian Pingguin dan Papi

1. Masak sendiri
-boleh beli di luar, kalau kepepet
-Senin-Papi
-Selasa-Guinan
-Rabu-Papi
-Kamis-Guinan
-Jumat-Papi
-Sabtu-Guinan
-Minggu-Papi

2. Cuci baju, setrika baju dan membereskan rumah
-Seperti peraturan no 1
-Khusus hari libur boleh saling bantu

3. Harus saling kabar

4. Olahraga bareng

5. Khusus untuk Guinan dari Papi
-Tidak boleh menangisi Mami
-Harus jadi Guinandra yang suka ngoceh dari kecil
-(Tambahan) Tidak boleh bicara sendiri

6. Khusus untuk Papi dari Guinandra
-Enggak boleh nikah lagi
-Kecuali Guinan amnesia

Membaca perjanjian itu aku terkekeh, mendadak merindukan lelaki gagah yang telah menghancurkan hatiku. Ternyata hati ini hancur bukan karena diduakan oleh gadis pujaan, melainkan karena melihat Papi akan menikahi seorang gadis yang seumuran denganku.

Aku masih tidak percaya jika Papi yang menghamili Hana, sungguh ini bukan Papi yang aku kenal.

"Bukan gue yang pergi Guinandra ...."
Nael? Aku bangkit dan melihat pemuda itu sudah duduk di kasur dengan gaya sok kerennya.

"Lo balik lagi? Setanael!" Aku mengapit kepalanya di ketiak, ingin sekali mencekiknya sampai mati lagi dan hidup lagi.

"Lepas, lo bau ketek!" serunya mendorong tubuhku.

Sontak, aku mencium ketiak dan memeriksa apakah ucapannya benar. "Ketek gue bau strowberry."

"Strowberry busuk!"
Dasar tukang cela.

"Ngapain lo balik lagi? Masih butuh gue?" tuduhku membuatnya mendengkus keras.

"Kasihan aja. Kan, lo enggak punya temen."

Astagfirullah, kalau tidak sedang sakit sudah kukeluarkan jurus membasmi hantu. Aku menatapnya curiga, lalu bertanya, "Lo mau pergi lagi?"

Nael mengedikkan bahu, dia itu suka sekali menyimpan rahasia. Dasar hantu aneh, menyebalkan, menjengkelkan, sabar Guinan, bagaimanapun saat dia pergi rasanya sepi.

"Auris udah mengerti tentang perjodohan lo. Adik lo udah jelasin katanya," ungkapku memberi tahu Nael. Auris mengatakan banyak hal tentang Nael saat makan es krim bersama tadi siang.

"Gue tau. Auris memang selalu mengerti gue, tapi gue enggak mengerti dia."

"Iyalah, cowok sok keren dan sok dingin kayak lo memang enggak peka." Plak! Kini jidatku menjadi sasarannya. "Gue lagi sakit, bisa lebih lembut enggak, sih?"

Nael melirik. "Seorang Guinandra Kenway yang aktifnya kayak robot rusak bisa sakit?"

Ya ampun, dia pikir aku sejenis dengan dedemit sepertinya yang tidak akan merasa sakit? Saat ini aku tidak memiliki selera untuk berdebat. "Papi mau nikahin Hana. Gue ngerasa ini enggak bener."

"Kayak lo bener aja?"

Aku menatapnya dengan kesal, sesekali ingin membacakan Al-Baqarah untuknya. Entah kenapa ingin menceburkannya ke sumur. Namun, tumben dia tidak membaca pikiran. Nael lalu melirik dengan aneh, kalau seperti itu biasanya dia akan memberi pernyataan di luar dugaan.

"Gue baru sadar. Yang butuh bantuan bukan gue ataupun Auris, tapi sebenarnya lo."

.

.

****

Yeeeyy, Nael balik lagi.

Yang kemarin sempat nangis baca part sebelumnya.
Segitu aja nangis?

GIMANA KALAU KALIAN BACA

Reynand & Joya (Kepulangan Hati)
—KOMA

Bukan nangis kejer lagi, 7 hari 7 malam bengkak.
Berani baca?

Guindigo (Pingguin Anak Duda) End.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang