14. Anak Baik (PAD)

3.8K 988 56
                                    

Anak Baik

Kuletakan sepeda dengan sembarang, lalu berlari mendekati Sakya yang masih berteriak sampai serak. Kepala menengadah ke lantai dua gedung bekas pabrik yang sudah lama ditinggalkan, berdirilah seorang pemuda nekat yang berniat terjun.

"Jadi lo mau terjun cuma sepuluh meter doang? Idih, nanggung banget, gue kira lo mau terjun dari lantai dua ratus lima puluh. Segitu doang, mah, paling patah tulang doang!" seruku pada cowok berkacamata yang masih berdiri di ujung gedung.

"Serius, Guin. Entar kalau dia mati beneran gimana?" Sakya berucap tidak terima sampai matanya mendelik. Lagi pula, Raden tidak akan berani melakukannya.

"Lo beneran mau bunuh diri? Bentar, gue nyalain kamera dulu, buat konten, siapa tau YouTube kita meroket subscribers-nya." Aku mengambil ponsel, dan lagi-lagi Sakya marah.

"Ini genting, lo masih bisa ngurusin subscribe di YouTube?!"

"Lah, aji mumpung. Siapa tau nanti jadi viral, lo dapat sebagian, kan?"

"Iya juga." Sakya mengangguk.

"Yok, gue rekam, cepetan terjun!" Aku memberi semangat pada Raden.

"Guinandra Kenway! Lo enggak tau rasanya jadi gue, dituntut lulus dengan nilai cumlaude, rasanya uuuh! Lebih sakit daripada ditinggal dia," ujar Raden masih berderai air mata, sesekali dia mengelap ingus dengan jas almamaternya.

"Raden! Lo enggak tau rasanya jadi gue, pas wisuda enggak akan ada nyokap yang dateng, uuuh! Rasanya kayak spam komen give away paling banyak, tapi tetap enggak menang," balasku masih sibuk merekam, padahal di dalam kalimat tersebut terdapat curahan hatiku yang paling dalam, tentang Mami. Ya, mengingat wanita yang paling aku cintai itu tidak akan pernah menyaksikan anaknya wisuda bahkan menikah, rasanya dada seperti dihantam benda keras.

Lihat, bahkan Sakya dan Nael menatap kasihan ke arahku. Malahan, Sakya menepuk pundak berusaha menguatkanku, tidak tahu saja aku sekuat Hulk.

"Lo berdua kuliah buat apa, sih?!" Raden bertanya. Sontak aku dan Sakya saling melempar tatapan.

"Gue buat ambil hikmahnya aja." Sakya menjawab  pasrah. Padahal dia kuliah hanya gaya-gayaan demi mencari mahasiswi cantik.

"Selain iseng, gue enggak ada pilihan lain. Soalnya kalau enggak kuliah gue bakal jadi babu." Aku ikut menjawab.

Namun, Raden masih di atas sana, dengan wajah sok sedih dan putus asa. "Kayaknya yang kuliah pakai otak gue doang," kata Raden.

Aku dan Sakya hanya menghela napas, pemuda berkacamata itu memang yang paling pintar di antara kami, tetapi tetap saja aku pun memiliki keahlian khusus, contoh membuat emosi orang.

"Gue mau bunuh diri aja!" Raden berteriak dengan nada serius, langkahnya maju ke sisi atap. Apa iya, dia seputus asa itu.

"Biar gue ke atas, lo jaga di bawah sambil ulur waktu," perintah Sakya lalu berlari ke lantai atas tempat Raden berdiri.

"Den! Lo mau nasibnya kayak temen gue yang udah mati? Dia sok-sokan bunuh diri dengan cara ngebut di jalan, eh, ujungnya balik lagi ke bumi jadi hantu petantang-petenteng. Lo mau?" Aku akhirnya berusaha membujuk, takut ucapannya serius.

Sayangnya, Nael yang di sebelahku sepertinya merasa tersinggung dengan ucapan tadi. Akhirnya, dia menatap tajam tidak terima ke arah sini. Bukankah dia memang meninggal karena kecelakaan? Itu fakta.

"Pokoknya gue cape!" Raden masih bersikukuh dengan niatnya.

Lelah, aku pun memasukkan kembali ponsel ke ransel kecil dan berucap, "Ya udah, gue ikhlas lo bunuh diri. Paling kalau mati langsung masuk neraka tanpa seleksi."

Raden tampak diam, dia menatapku dengan raut wajah takut.

"Siapa tau kuburan rame pas ada lo," imbuhku membuatnya semakin diam.

"Ayo cepetan, gue pengen lihat adegan Batman terjun. Apa perlu suruh temen hantu gue buat dorong lo?!"

"Enggak! Enggak! Enggak! Gue enggak mau mati!" pekiknya langsung menolak. Sakya berhasil memeluk Raden, tanpa menunggu waktu lama pemuda play boy itu membawa Raden ke bawah.

Lelah berdrama, aku duduk di samping sepeda, seraya meluruskan kaki yang sudah sangat kelelahan mengayuh. Beruntung Papi pulang lebih dulu dan tidak menyaksikan sinetron ala Raden.

Tidak paham, aku, Sakya maupun Raden memiliki masalah yang berbeda. Raden mendapat tuntutan keluarganya untuk lulus dengan nilai sangat bagus, sedangkan Sakya adalah anak broken home yang orang tuanya telah berpisah, makanya menjadi badung. Membayangkannya sudah membuatku ikut migrain.

"Kalau masalah lo apa?" Nael bertanya.

"Masalah gue adalah ketemu sama lo." Senangnya dalam hati, sudah mengeluarkan unek-unek.

"Gue tau masalah lo meski lo simpan rapat-rapat."

Ya, jelas dia tahu, tukang membaca pikiran orang memang minta dirukiah.
Obrolan kami terhenti, Sakya dan Raden menyusul duduk di sebelahku.

"Gimana rasanya bunuh diri gagal? Malu, 'kan?" tanyaku membuat pemuda berkacamata itu mendengkus sembari mengusap wajahnya.

"Gue cape." Raden masih mengadu, padahal lari dari pembicaraan.

"Gue lebih cape ngayuh sepeda sampai sini, tapi lo enggak jadi bunuh diri," balasku.

"Hampir aja lo meet and great sama malaikat maut." Sakya masih kesal sampai wajahnya memerah.

Kami bertiga diam, menatap langit yang hampir siang. Mereka tidak tahu bagaimana rasanya ditinggal orang tua. Seberat apa pun masalah di dunia, yang paling berat adalah dipisahkan maut dengan orang terkasih.

Rasanya tidak ada lagi yang dapat dinikmati, banyak hal penuh tawa, tetapi ada sisi kosong diisi luka. Terlalu larut dalam kesedihan memang tidak boleh, tetapi apa dayaku yang anak tunggal dan ditinggal wanita tercinta. Dunia seakan runtuh. Tidak ada lagi yang memarahiku ketika pulang larut, memasak menu kesukaan, atau marah karena membuat isi lemari berantakan.

Mami, andai masih ada waktu untuk kita bersama lagi.

"Mati aja coba."
Setanael! Aku sedang serius.

.

.

****

Nael kalau ngomong suka nyentil ginjal banget.

Yang belum kasih pertanyaan untuk Guinan.
Enggak pengen nanti ditag namanya sama Guinan?

Yuk, kasih 1 pertanyaan untuk Guinan, random. Nanti dijawab pas ada part khusus untuk tanya² Guinan.

Guindigo (Pingguin Anak Duda) End.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang