Selesai
"Aaakh!" Teriakan lega ketika toga melekat di tubuh membuat halaman kampus semakin meriah. Akhirnya aku wisuda dan menyelesaikan pendidikan yang selama ini membuat stres.
Banyak yang mengambil foto sampai kamera pecah, atau bahkan bertengkar karena banyaknya foto yang diambil dan tidak ada yang bagus. Coba kalau aku yang menjadi pemotretnya, pasti akan jauh lebih hancur.
"Selamat, akhirnya lo wisuda." Hantu sok tampan bernama Nathanael mengucapkan selamat beserta senyuman, meski senyumannya membuatku ingin khilaf menaboknya.
"Guinan ...." Papi memanggil setelah sejak tadi hanya berdiam diri tanpa sepatah kata pun. Dia bahkan tidak aktif seperti biasanya, tidak mengajakku berfoto dengan gaya kekinian, sedangkan orang tua lainnya begitu heboh.
Aku tahu alasannya, dia juga sama terlukanya ketika mengingat Mami tidak akan dapat berfoto bersama kami. Apalagi setelah beberapa waktu lalu tidak menjawab apa pun tentang pernyataanku, setelah diizinkan untuk menikah lagi.
"Mau foto?" tanya Papi membuatku tersenyum miris. Bagaimana tidak, orang lain dihadiri orang tua lengkap, bahkan jika tidak pun kerabat mereka mewakili. Sedangkan aku hanya ditemani Papi, meski tadi Oma sempat ke sini dan pulang lebih dulu karena sudah sepuh.
"Boleh." Aku menerima tawarannya. Dengan bunga dan berbagai hadiah di tangan, aku berdiri di sebelah Papi untuk difoto. Raden menjadi juru kamera, semoga saja dia dapat memotret dengan baik wajah tampan anak dan Bapak ini.
"Ciiis!" seru Raden dan foto telah diambil.
"Ganteng, tumben, Guin?!" cela Sakya membuatku menendang bokongnya.
"Sekarang, gantian kita bertiga yang foto!" Raden menarikku dan Sakya, kami berfoto bertiga dengan pose saling merangkul sok akrab.
Setelah selesai mengambil banyak foto, seorang gadis dengan riasan dan kebaya cantik menghampiri kami.
"Selamat wisuda," ucap gadis itu dengan senyuman lebar.
"Selamat juga Auris sayang." Raden dan Sakya menjawab bersamaan, mendahuluiku yang sudah membuka mulut paling semangat.
"Om, foto lagi dong sama Guinan dan calon mantu!" Raden berseru dan merebut kembali kamera di tangan Papi. Lelaki itu menurut dan Auris pun sudah berdiri di sebelahku.
Tidak ingin meninggalkan sahabat hantuku yang sudah pucat dan menyedihkan, aku menariknya untuk mendekat. Meski berhati-hati agar tidak terlihat jelas di mata yang lain.
"Keluarga cemara!" Sakya berteriak menggoda dengan gaya sok keren mengangkat dagunya.
Setelah selesai, Auris kembali sibuk ketika disapa temannya yang lain. Sedangkan aku sibuk menatap Papi yang terlihat sedih, mengapa lelaki itu memalingkan wajahnya? Matanya juga memerah. Bukankah seharusnya aku yang sedih karena Mami tidak ada. Sayang sekali, dulu Mami pernah mengatakan akan membuat video ketika aku wisuda, tetapi semua itu sudah tidak bisa.
"Jangan lupa, habis ini jangan nikah dulu, kerja dulu buat ganti bensin yang Papi beliin." Papi berucap seraya menepuk-nepuk punggungku.
"Papi perhitungan banget, sih, sama anak sendiri," gerutuku membuatnya terkekeh.
Di hari yang spesial ini, aku ingin sekali mempertemukan Nael dan Auris. Hanya saja hantu datar itu tidak mau keberadaannya sebagai arwah gentayangan diketahui yang lain. Padahal aku tahu betul bagaimana tatapan bangganya pada Auris dari kejauhan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Guindigo (Pingguin Anak Duda) End.
HumorANAK INDIGO. Menjadi anak seorang duda? Cukup menderita. Apalagi Papi tidak kalah gagah dan keren, sebab ada kemiripan hidung dan cara senyum yang diwariskannya. Namun, ada gang lebih membuatku sengsara, yakni semenjak ditinggal mendiang Mami dan ma...