5. Panti Asuhan (PAD)

6.3K 1.3K 79
                                    

Panti Asuhan

Tiga kali mengumpat. Iya, sepekan ini hanya ada umpatan karena menjadi budak hantu gentayangan. Satu yang tidak aku mengerti, kenapa aku menurut? Pelet apa yang Nathanael gunakan? Sungguh ampuh.

Satu hal gila yang harus kulakukan adalah berpura-pura menjadi sahabat baik Nael di depan orang tuanya. Parahnya, kami harus bertengkar saat akan masuk rumah orang tua Nael. Ya, Nael masih tidak bisa bertemu dengan keluarganya.

Namun, dengan suara indah seperti penyanyi seriosa, aku mengomel. "Lo udah meninggal lebih dari empat puluh hari dan masih enggak mau ketemu keluarga lo? Minta digibeng? Gue mana mungkin masuk ke dalam tanpa arahan dari lo. Bisa-bisa gue mati di dalam."

Setelah pertengkaran panjang, aku terjebak di sofa hijau tua yang membuat bokongku panas. Bagaimana tidak, berbagai pertanyaan mulai dilayangkan keluarga Nael. Sungguh, rasanya seperti hendak menjemput gadis untuk diajak kencan, ceramah dan interogasinya panjang seperti kumisnya Pak RT.

"Tante, kok, enggak pernah lihat Nael bawa kamu ke rumah? Atau, ketemu di jalan. Kenapa Nael enggak pernah kenalin kamu?" Pertanyaan Tante Zamira—mamanya Nael, membuatku menoleh ke pemuda menjengkelkan di sebelah kanan.

"Malu kali Tante, punya temen sableng kayak saya." Pertama kalinya aku mengakui kegilaan di depan orang lain, dan itu orang tua Nael. Ya, ini semua karena Nael tidak memberikan ide jawaban.

"Sebenarnya, kita beda kampus, makanya jarang ketemu. Tapi, kita sahabat deket, Tan," imbuhku.

"Kalau kamu sahabatnya, kenapa enggak datang ke pemakamannya?" Pertanyaan Om Yusron hampir membuatku tersedak saliva sendiri.

"Bilang aja lo di luar kota."

"Maaf banget Om, Tante, saya baru pulang dari luar kota. Sebenarnya pas denger kabar Nael meninggal ...." Aku berpura-pura akan menangis karena tidak kuat. Padahal, kenal saja tidak dengan mereka. Berdosanya aku, semoga Nael menanggung dosa-dosa ini.

"Iya, kami paham." Om Yusron mengusap bahuku untuk menguatkan. Tidak tahu saja kalau aku ingin tertawa membayangkan ekspresiku sekarang sejelek apa.

"Dia Adik gue." Nael berbisik saat gadis berambut panjang yang wajahnya mirip dengannya datang membawa sesuatu di kardus.

"Ini, Kak. Jas dan barang yang udah dijanjiin sama Mas Nael, ada di sini semua," kata Gwen, Adik Nael.

Ya, aku datang sebagai sahabat Nael yang meminta barang pribadinya. Menjengkelkan? Tentu, karena susah payah semalaman Nael menuntunku menulis di kertas, agar catatan barang yang akan diambil dapat dicocokkan dengan tulisannya di depan orang tua. Seolah-olah janji tertulis.

"Jaga baik-baik barangnya, ya." Tante Zamira berucap seraya menghapus air matanya.

"Siap Tante, maaf udah enggak sopan minta barang milik Nael. Jangan sedih lagi, apalagi karena barangnya Nael saya bawa. Ini atas kemauannya, maksudnya janjinya sebelum meninggal." Hampir saja aku salah memberi pernyataan.

"Kak, ada kalung yang Mas Nael kasih juga. Jaga, ya, itu barang pribadi yang penting." Gwen, gadis yang duduk di kelas 2 SMA membuatku mengangguk. Dia cantik juga.

"Dia Adik gue, jangan macam-macam!" Lihat, abangnya protes. Apa salah jika memuji, hah?

Setelah lika-liku di rumah Nael yang penuh drama, kini drama lain harus dihadapi. Aku pikir semua selesai, ternyata bertemu orang tua Nael adalah awal dari segalanya. Terbukti dari ajakan Nael ke sebuah tempat ke dua.

Guindigo (Pingguin Anak Duda) End.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang