13' Jangan Khawatir

43 6 2
                                    

Dito pernah dipukuli dengan efek yang jauh lebih menyakitkan daripada apa yang diberikan Raka padanya tempo hari. Raka selama ini cukup dekat dengannya sekaligus saudara sepupu mantan pacarnya.

Dito di dalam kamar, bermain gitar ditemani secangkir kopi yang masih mengepul di sisi bungkus rokoknya.

Aneh, luka kecil di sudut bibirnya bisa terlalu lama menguasai perhatiannya. Ia teringat lagi wajah Shelin yang terkejut disusul iba, juga Zio di sisi gadis itu yang tercengang. Dito berpikir hidupnya berada di dunia lain dari dunia Zio.

“Sialan,” Dito tahu Raka tidak memukulnya sepenuh tenaga, karena di sana ada Shelin. Padahal, berlagak sopan seperti itu tidak ada artinya. Dito hanya merasa buruk di mata Shelin.

Mengingat gadis itu, Dito sulit berhenti membandingkannya dengan Dira. Shelin adalah seribu misteri yang jauh lebih luas dibanding daya tarik yang dimiliki Dira dalam seluruh dirinya.

**

Kurang lebih satu bulan ke depan penerbangan antar-negara akan segera dibuka kembali. Keluarga Zio memilih untuk segera mempertimbangkan kepulangan mereka ke Seoul demi kepentingan pendidikan Zio.

Sementara Zio jadi teringat waktu yang telah dilaluinya di Indonesia. Hampir tidak ada waktu yang ia habiskan tanpa Shelin.

Zio merasa seperti melihat film remaja yang diputar khusus untuk dirinya. Ia selalu di sisi Shelin, di sebelahnya. Kemanapun Shelin pergi, hampir selalu ia mengikuti. Lalu Zio khawatir semua itu hanya tersisa sebagai kenangan. Waktu satu bulan terpampang di hadapan mata, dan Zio tidak tahu apa yang harus ia lakukan.

Saat itu, Zio terlalu larut termenung di balkon. Kedatangan Jihwan yang kemudian mengembalikan kesadarannya. Zio melihat versi dewasa dirinya dengan kulit putih terlihat jelas di antara gelap malam.

Jihwan berhenti beberapa langkah di antara mereka. Kakaknya mengulas senyum penuh arti yang suatu hari baru bisa Zio ketahui.

Di tengah keraguan Zio malam itu, Jihwan berkata bahwa Shelin sudah menunggunya di bawah.

**

“Kenapa? Kamu terlanjur betah di Indonesia, jadi nggak mau pulang ke Korea?” Akhir-akhir ini Shelin semakin banyak tersenyum lepas, Zio menyukai hal itu.

Setelah menjemput Shelin di ruang tamu, Zio mengajak Shelin kembali ke balkon. Yang Zio rasakan saat ini, sama seperti saat Shelin mengajaknya bersepeda melewati daerah persawahan. Tempat Zio menikmati udara sejuk Indonesia setiap malam, pertama kali dikunjungi oleh Shelin. Keduanya bersandar pada pembatas balkon.

Kembali ke pertanyaan Shelin, Zio menipiskan bibir. Ia ingin sekali pulang tentu saja, tapi ada sesuatu di tempat ini yang memberatkan langkahnya—jika memang ia akan pergi. Zio tidak bisa mengungkapkannya dengan kata-kata maupun lain cara.

Zio tercengang saat Shelin mengangkat tangan untuk menepuk bahunya yang tinggi beberapa kali. Beruntung Zio lekas menyadari rasa nyaman yang menyusup dan tersenyum.

“Kamu bisa kapan aja balik ke sini, berkunjung ke bibi sama Om Andra.” Shelin memang bermaksud menenangkan, karena setengah mati tidak tega melihat Zio gundah gulana. Meskipun Shelin tidak tahu mengapa kabar kepulangan keluarga itu justru memberatkan Zio, dan Shelin tidak mau terlalu ingin tahu sebab itu.

Zio mengangguk sambil membuang napas panjang.

See? Jangan galau gitu.” Saat itu, kalimat Shelin menyadarkan Zio betapa gadis itu sudah berusaha keras untuk menghiburnya.

Shelin selalu menjadi dirinya yang Zio kenal. Dibanding berkeras mencari tahu alasan keraguan Zio, Shelin lebih memiliki banyak hal untuk diucapkannya sebagai penghiburan. Zio ingat Shelin tidak terlalu suka berbicara, jadi ia tersenyum tulus, untuk ketulusan Shelin juga.

Beberapa menit kemudian hanya diisi keheningan. Shelin teringat postingan akun instagram walikota setempat bahwa tempat-tempat wisata yang sempat ditutup karena pandemi, pekan ini akan dibuka kembali. Diam-diam Shelin mengirim pesan pada Kania untuk meminta bantuannya.

Malam semakin naik, diselimuti udara yang juga semakin dingin. Namun, di antara Zio dan Shelin tidak keberatan dengan hal itu, keduanya sama-sama menyukai udara sejuk dan dingin.

“Shel,” panggil Zio. Menoleh pada Zio, Shelin langsung dihadang pertanyaan. “Is that okay if I call you?”

Untuk pertama kalinya udara dingin terasa menusuk dada Shelin. “I told you,” jeda sebentar, Shelin menelan nadanya yang akan bergetar. “Don’t worry.

Meskipun pada kenyataannya, Shelin juga khawatir. Ia hanya bermaksud agar Zio memanggilnya tanpa ragu di masa depan, mengunjunginya.

Karena mustahil memutar balik waktu. Saat kebersamaan mereka akan menemui ujung, bahwa Zio harus kembali ke Seoul, tidak bisa Zio dan Shelin lepas dari keraguan. Apa yang harus mereka lakukan? Apa yang sebenarnya paling benar untuk dilakukan?

Pada akhirnya mereka memutuskan untuk membuat keadaan berjalan apa adanya. Biarlah berjalan dulu, selagi dinikmati dan diambil pelajaran yang bisa didapat. Sejauh ini, hanya itu usaha yang bisa dengan yakin Shelin dan Zio lakukan.

Bibi datang dan menegur keduanya agar masuk dengan alasan angin malam tidak bagus untuk kesehatan. Zio mempersilakan Shelin berjalan di depannya.

“Jangan mentang-mentang kalian masih muda. Kalian harus tetap jaga kesehatan.” Bibi nyaris menyamai kecepatan berbicara Kania saat mengomel.

Zio dan Shelin duduk berdampingan di sofa ruang belajar, menghadap bibi yang berdiri sambil merapatkan cardigan rajutnya. Di dalam ruangan dengan penghangat ruangan saja bibi masih kedinginan, sementara bocah-bocah bandel di depannya malah santai-santai diterpa langsung angin malam, dengan kaus berlengan pendek pula.

“Jiho, kamu pinjami Shelin jaket sana. Anak orang nanti kalau demam gimana?”

Shelin tidak menyangka bibi bahkan bisa mengomeli Zio sedemikian rupa. Jadi, ia cepat-cepat berkata, “Aku nggak kedinginan, kok. Aku justru suka udara dingin.”

Rupanya langkah yang diambil Shelin salah. “Bibi juga suka makanan cepat saji, tapi itu nggak bagus buat kesehatan, Sayang.” Bibi berbicara lembut pada Shelin, tapi pada Zio, “cepat ambil jaket, Jiho!”

Shelin menciut, memilih diam saat Zio berlari ke kamarnya. Sudahlah, Shelin tidak tega melihat Zio dimarahi bibi jika ia menyangkal dengan kata-kata lagi.

Tidak sampai lima menit, Zio kembali dengan Balenciaga hoodie membalut tubuh atasnya dan sebelah tangan membawa Firebird Track Jacket untuk Shelin.

“Cuma ini yang nggak terlalu kebesaran buat Shelin.” Zio melakukan kebiasaannya mengusap belakang leher.

“Anak pintar. Nah, kasih ke Shelin.” Berkata begitu, bibi langsung melenggang pergi tanpa pamit.

Shelin terbengong melihat Zio mengulurkan jaket padanya. Bukan bermaksud berlebihan, hanya saja Shelin tahu jaket itu sering dipakai Zio, karena laki-laki itu menyukainya.

“Ini jaket kesayanganmu, kan?” tanya Shelin saat menerima jaket itu.

Zio mengangguk dengan ekspresi polos andalannya. Tapi kemudian mengulas senyum di wajahnya yang imut itu. Andai Kania ada di sini, pasti ia sudah gemas dan mencubit pipi Zio, tidak tanggung-tanggung, dua-duanya.

“Aku pinjam dulu, ya. Makasih.”

Zio mengamati sampai Shelin selesai memakai jaketnya. Terlihat sedikit kepanjangan dan longgar untuk gadis mungil itu.

“Ayo kuantar pulang.”

***

Bye My First [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang