4' Lebih Banyak Berbagi

27 6 0
                                    

Kania berkata kepada Shelin agar meminta Zio untuk datang. Malam itu, mereka punya banyak cemilan hasil berbelanja siang sebelumnya setelah Kania menjemput Shelin dari sekolah. Wingga—tunangan Kania juga bersama mereka. Bertiga duduk beralaskan karpet berbulu di sisi tempat tidur Shelin, di dalam kamar Shelin tentu saja. Itu merupakan sebuah kebiasaan. Shelin dan Kania terkadang menonton film atau sekedar bergosip, sedang Wingga selalu bermain game.

Shelin mengingat Zio yang seharian itu tidak berjumpa dengannya. Gadis itu tidak berkata setuju atas usul Kania untuk meminta Zio datang. Namun, Shelin tetap meraih ponselnya untuk mengirimi pesan Zio—memintanya datang.

Bertepatan pesan Shelin terkirim, tiba-tiba saja muncul sosok tinggi dengan tatapan polos di ambang pintu kamarnya yang memang dibiarkan terbuka. Itu Zio!

“Zio?!” Jelas sekali Kania terlihat lebih terkejut daripada Shelin.

Perasaan aku baru aja kirim pesan. Zio ke sininya terbang atau menghilang? Shelin mengecek ponselnya dan mendapati tanda centang dua pada pesannya untuk Zio masih belum berwarna biru—belum dibaca. Saat itu, ia yakin ini murni sebuah kebetulan.

“Sini Zi, masuk!” Seperti Kania yang Zio kenal di hari sebelumnya, ia masih tetap bisa mencairkan suasana. Padahal, beberapa detik yang lalu, Zio masih menangkap keterkejutan Kania secara jelas.

“Asik, Kak Wingga ada teman.” Ini yang berkata Shelin, tapi ekspresi Wingga di sisinya tidak menunjukkan seseorang yang senang mendapatkan teman baru. Bukan—bukannya tidak suka dengan Zio. Wingga hanya heran, juga speechless, kagum sedikit karena laki-laki yang jelas-jelas berwajah khas Korea itu diajak bicara tunangannya dan si adik dengan bahasa Indonesia.

Oh astaga, kejutan apa ini! Seseorang tolong jelaskan asal usul makhluk berwajah imut itu kepada Wingga.

Zio mendekat. Karena karpetnya sudah tidak dapat menampung lagi, Kania dan Shelin serentak naik ke kasur. Alhasil Zio dan Wingga kini duduk berhadapan.

“Ini Zio, teman baruku.” Shelin segera mengenalkan Zio pada Wingga.

“Dari Korea. Ganteng kan?” Kania menyahut, selalu dengan antusias jika menyangkut soal Zio.

“Wingga. Kalau aku dari China.” Tampaknya Wingga sudah mendapatkan sikap santainya seperti biasa sampai memperkenalkan dirinya dengan ngawur seperti itu.

Kania menempeleng pipi Wingga tanpa rasa bersalah. “Your head!”

“Emang Kak Wingga halunya tinggi,” kata Shelin, sehingga Wingga segera menerima kakak-beradik itu menertawainya.

“Halu?” Saat itu Kania tidak bisa menahan gemasnya atas pertanyaan Zio yang disampaikan dengan ekspresi super polos andalannya.

Sejak bertemu Kania, Shelin bukan lagi satu-satunya penerjemah untuk Zio. Semua pertanyaan laki-laki itu tuntas dijawab oleh Kania.

Kania juga yang memperkenalkan Zio lebih detail kepada tunangannya. Zio mulai akrab dan semakin akrab dengan Wingga, keduanya tiba-tiba sudah bermain game online bersama.

“Nggak salah kan ngenalin Zio ke Wingga? Kok malah jadi mereka yang asik?”

“Bagus dong, Zio jadi nambah temannya.”

Sementara bagaimana Zio tiba-tiba hadir malam itu adalah ia hanya merasa memang ingin berkunjung. Mungkin benar sebagian kecil alasannya karena ia tidak bertemu Shelin seharian itu. Atau, ingin bergaul lagi dengan Kania. Namun, bukan kedua itu alasan sepenuhnya. Jadi, kedatangannya, ya memang, sekedar keinginan hati seperti—aku ingin ke rumah Shelin. Jadi ia datang.

Bye My First [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang