5' Kania Memang Kakak Terbaik

23 6 0
                                    

Shelin usai mandi, saat pagi-pagi bunda masuk kamarnya dan berkata ada temannya yang datang. Gadis itu sempat heran, tidak banyak teman yang mengetahui rumahnya selain Sarah. Karena jika itu Sarah, bunda pasti tahu—bukan menyebutnya dengan—teman Shelin.

Ia mengira-ngira siapa yang datang sepagi itu sambil beranjak meninggalkan kamar. Minggu pagi yang cerah, jadi ia tidak belajar bersama di rumah bibi Zio.

Shelin sampai di teras dan bertemu seorang gadis yang tampak sebaya dengannya. Ia lebih tidak berekspresi, hanya sedikit tergurat raut heran karena seseorang yang tidak dikenalnya tiba-tiba datang, sepagi itu.

“Siapa, ya?” Pertanyaan Shelin disambut dengan tatapan tidak menyenangkan yang Shelin tidak tahu apa artinya.

Karena yang ditanya hanya diam saja, otak Shelin jadi bekerja lebih keras, memikirkan sepertinya wajah itu tidak asing baginya. “Duduk dulu, ada perlu apa, ya?” Shelin masih berusaha bersikap sopan karena bagaimanapun seseorang dengan raut wajah yang semakin tidak enak dipandang itu tetaplah tamu. Ia mempersilakan.

Shelin sudah bertekad tidak akan mempersilakan dua kali. Jadi, ia sudah hampir memecah suasana tidak menyenangkan pada pagi hari itu dengan berkata, bila tidak ada keperluan—meskipun itu terdengar aneh, lebih baik gadis itu pergi.

Akan tetapi, udara yang Shelin hirup seperti masuk ke awang-awang saat tiba-tiba gadis di hadapannya menerjang maju dan sebuah tamparan keras mendarat di bagian kiri wajahnya.

“Kamu berhadapan sama orang yang salah, kalau berani godain Dito!”

Tanggapan Shelin keluar secara spontan, “hah?”

Kalimat gadis itu sukses membuat Shelin bengong. Saat itu, pikirannya terlempar pada ingatan tentang gadis di hadapannya, yang ia ingat sekarang sebagai siswi satu angkatan dengannya, tapi berbeda kelas. Dan, wajah gadis itu yang pernah ia lihat di akun media sosial milik Dito.

Shelin seperti sedang tidak menginjak bumi. Dibanding keheranannya pada kejadian yang masih belum dapat ia cerna dengan sempurna saat itu, ia lebih terkejut dengan jeritan menggelegar dari dalam rumah—tepatnya ruang tamu.

Itu Kania. Kakaknya yang datang dengan wajah memerah siap menyemburkan amarah. Shelin bisa merasakan kengerian dan itulah yang selalu terjadi setiap Kania siap untuk mengamuk.

Kania sedikit menarik adinya ke belakang, menggantikan posisinya dengan berhadapan dengan gadis kemarin sore yang ia anggap gila itu. Bagaimana ia tidak dapat berpikir seperti itu saat tiba-tiba orang yang tidak dikenal datang dan memukul adiknya. Apalagi, Kania mendengar kalimat gadis itu, dan ia langsung dapat memahami bahwa kejadian cringe pagi itu adalah sebuah akibat dari sisi anak muda yang terlalu berlebihan dalam menanggapi hal sepele.

Kania berdiri menjulang dengan tatapan tajam mematikan. Hanya dengan begitu saja, lawannya menciut seketika. Gadis itu menunduk setelah tahu ia sudah cari masalah bukan dengan orang yang tepat.

“Bilang sama saya, apa salah Shelin sampai kamu pukul dia kayak gitu?” Kalimat Kania mengandung nada yang berhasil menyesakkan kerongkongan gadis di hadapannya. Ia tercekat, rasa malu dan takut menumpuk di dadanya.

Di belakang Kania, Shelin sudah mendapatkan dunianya kembali dan mencerna sepenuhnya kejadian pagi itu. Ia merasa iba karena gadis itu pasrah sekali menghadapi Kania. Alih-alih menenangkan sang kakak, Shelin sendiri bahkan takut setiap kali Kania marah. Ia dan gadis itu sama-sama mengerut seperti plastik kepanasan.

“Saya lihat dari awal Shelin tanya baik-baik kamu nggak jawab, sekarang kamu mau saya tanya kamu pakai marah-marah?”

Gadis itu mulai terisak. Shelin tergugu melihat Kania. Kakaknya sangat cocok menjadi senior yang membimbing mental di masa orientasi siswa.

Bye My First [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang