10' Jangan Terlibat

24 6 0
                                    

Shelin balas menyapa Dito dengan tenang. Hal yang membuat mata laki-laki itu bergetar, sikap Shelin cukup menjadi alasan ia terkejut dan tidak menyangka-nyangka.

Shelin benar-benar mudah melupakan masalah itu. Atau memang Shelin benar-benar lupa.

Untuk beberapa saat mereka tetap harus berhenti. Padahal sebelumnya, tidak pernah terlihat antara satu sama lain saat mereka tidak sengaja berpapasan. Mungkin, dulu terlalu banyak orang, sehingga keberadaan satu sama lain bukan merupakan hal penting untuk lingkungan itu.

Dito sudah merenungkannya. Jika Shelin memang sudah lupa, ia juga harus tidak lagi mengungkitnya. Ia beralih pada sosok tinggi di sisi Shelin. Ia perkirakan mereka seumuran, tingginya lima senti lebih dari tingginya, dan wajahnya sama sekali bukan wajah pribumi.

“Pasti teman kamu yang nggak aku kenal itu, kan?”

Dito mendapat jawaban beserta eye-smile dari Shelin. Ia sampai yakin di balik masker gadis itu tersungging senyum yang menyenangkan.

Di sisi Shelin, Zio mengerti laki-laki di hadapannya tengah menimbang-nimbang hendak bagaimana berkenalan, atau setidaknya menyapa.

“Namaku Zio,” ucapnya, meruntuhkan tembok transparan yang semula membatasinya dengan Dito.

“Wah, bisa bahasa Indonesia!” Sekarang Dito tidak ragu menunjukkan kekagumannya secara terang-terangan. “Dito, teman sekelas Shelin,” lanjutnya memperkenalkan diri. “Kamu jelas bukan orang Indonesia, kan?”

Zio mengangguk dan merasa geli. “Aku dari Korea.”

Kali ini Dito mendesah kagum saja. Mereka berbincang sebentar, kemudian melanjutkan langkah masing-masing setelah Dito tahu Shelin sudah mengambil modul, dan sebaliknya, Shelin tahu Dito belum usai dengan urusannya.

“Sejuknya,” Zio menghela napas panjang. Ia dan Shelin menunggu bibi dan ibu Zio kembali dari berbelanja dan menjemput mereka. Duduk di kursi taman dekat parkiran, tempat favorit Shelin selalu menunggu jemputan, mereka dinaungi rimbunnya dedaunan dari pohon-pohon besar di sana.

“Rasanya aku pengen sekolah di sini,” kata Zio tiba-tiba.

“Jangan,” jawab Shelin langsung.

“Kenapa?”

“Seragamnya nggak sebagus punya sekolahmu.” Jawaban Shelin yang didengar Zio membuat bibirnya berkedut menahan senyum geli.

“Kamu udah pernah lihat seragamku?” Kini sorot geli berpindah ke mata Zio.

“Belum,” Shelin tertawa ringan. Tapi ia sangat yakin sejak jauh-jauh waktu, seragam sekolah Zio pasti bagus, seperti yang biasa ia lihat dalam drama.

“Mau lihat?” Zio menawari dan selanjutnya mendapat anggukan semangat dari Shelin.

Mata Zio memancar senang saat tidak butuh waktu lama telah berhasil menemukan fotonya bersama teman satu kelas berseragam di galeri ponselnya. Shelin lebih mendekat untuk melihat itu.

“Wah, sudah kuduga, pasti bagus,” decak kagum Shelin sangat jelas. Sampai-sampai, untuk pertama kalinya, Zio melihat di mata Shelin terpancar keinginan yang besar. Ia tidak menyangka dari sekian banyak hal, Shelin begitu menginginkan seragam sekolahnya.

Zio tiba-tiba memberikan ponselnya ke tangan Shelin. Tanpa perlu kata-kata, keduanya dapat berkomunikasi dan mengerti maksud satu sama lain.

Shelin mendapat izin dari Zio untuk melihat-lihat isi galerinya. Kemudian, ia melakukannya dengan senang hati.

“Cantik-cantik... mereka idol, ya?”

Zio tertawa. “Ada yang mantan trainee. Ini,” tunjuk Zio pada salah satu foto temannya. Tunggu, Zio menunjuk wajah laki-laki.

Bye My First [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang