17' Hanya Zio

34 5 0
                                    

Shelin tidak bisa berkata apapun ketika Dito menatapnya serius, mengisyaratkan bahwa kata-katanya juga serius. Lelaki itu tidak sedang mengeprank dirinya.

"Kalo kamu serius, aku minta maaf, Dit," ucap Shelin setelah berhasil memahami situasi.

Dito terlihat memaksakan senyumnya. "Aku yang minta maaf, Shel. Seharusnya aku nggak bilang ini ke kamu sekarang, di saat kemarin-kemarin aku udah buat masalah di hidup kamu. Tapi aku nggak bisa nahan, ternyata..." Terdengar tawa hambar di akhiran.

Membuat Shelin mengernyit, merasakan perasaan bersalah yang besar kepada Dito. "Kukira kita bisa temenan baik sampai kita lulus nanti." Tetapi Shelin harus mengutarakan yang sebenarnya.

Walaupun, pastinya Dito akan merasa lebih sakit.

Lelaki itu melirik sepasang sepatu gadis di sisinya yang bergerak di atas lantai teras Alfamart.

Ingin sekali rasanya Dito menanyakan tentang perasaan gadis itu. Tetapi Shelin begitu lembut, sehingga Dito tidak ingin membuatnya terluka. Shelin bukan seperti gadis-gadis yang hanya ada lelaki dan lelaki saja di pikirannya. Pastinya Shelin bingung, tapi tetap berusaha menenangkan dirinya dengan baik.

"Ayo, kuantar pulang." Dito menyesal. Tetapi membayangkan bahwa perasaannya tidak dia ungkapkan tak menjamin dia tidak akan menyesal.

Maka Dito hanya mampu membantu Shelin sebatas ini, karena dia tidak ingin melihat Shelin yang selalu terlihat tenang itu, kebingungan. Karena ulahnya pula.

Sepanjang perjalanan menuju rumah Shelin, mereka saling diam. Hingga gadis itu turun, mereka lantas saling mengucap sampai jumpa. Selama itu Dito masih menerka-nerka apa yang akan terjadi setelah ini, antara dia dan Shelin?

Apakah Shelin akan berubah sikap padanya?

Bagaimana kalau Shelin tidak akan berbaik hati kepadanya lagi? Bukan, bukannya Dito berniat memanfaatkan kebaikan Shelin selama ini. Hanya saja, Dito tidak bisa bila sampai Shelin memilih untuk menjauhinya...

Ah, sungguh Dito baru merasa bodoh sekarang.

Lelaki itu gundah gulana. Tiba di bengkel Edo pun, Dito masih saja memikirkan Shelin, Shelin, dan Shelin.

Sudah jelas perasaan Shelin tak sama dengannya.

Apakah gadis itu menyukai seseorang?

Zio-kah?

**

Pukul tujuh malam, Shelin bergegas menuju rumah bibi Zio. Sejak kedatangannya setelah belajar kelompok sore tadi, Shelin merasa tidak tenang.

Rasanya ingin segera ke rumah Bibi, tapi sebentar lagi akan adzan maghrib, jadi tanggung sekali waktunya.

"Bunda, Shelin ke rumah Bibi, ya?" pamit Shelin sebelum pergi.

Kania dan Wingga ada di ruang tamu saat Shelin melintasi mereka begitu saja. "Shel, bentar," panggil Kania sebelum adiknya sukses keluar rumah.

Shelin hanya menatap kakaknya bertanya lewat mata.

"Kamu aneh banget sejak pulang tadi. Kenapa?" tanya Kania langsung.

Mata Shelin mengedip. Menyembunyikan keterkejutan atas pernyataan kakaknya yang ternyata mengetahui kegelisahannya sejak tadi, cukup mudah. Tetapi jawabannya malah terlontar dengan kegugupan, "ng-nggak kenapa-kenapa. Shelin ke Zio dulu ya."

Shelin buru-buru keluar rumah setelah itu. Membuat Kania dan Wingga saling pandang. Beneran, Shelin aneh malam ini—sejak kepulangannya tadi.

Bukannya Kania curiga atas hal-hal yang buruk, tentu saja. Kania hanya khawatir Shelin tadi melewati hari yang kurang baik karena dia sempat mendengar adiknya satu kelompok dengan Dito.

Bye My First [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang