Bab 10

2 1 0
                                    

Bab 10 : Duka Terdalam

Yogi mengembuskan napas antara kesal dan bosan. Ya, setiap kali masuk rumah, yang ia harapkan adalah sambutan atau sapaan manis dari kedua orang tuanya. Namun, lagi-lagi rumah sepi seperti tak berpenghuni.

Yogi melangkah santai menuju ruang tengah, dari sana ia melihat Chiko tengah bermain sambil berlarian di tepi kolam. Senyum Yogi mengembang sekilas, lalu ia kembali melangkah menuju kamarnya. Sebenarnya, melihat sang adik tertawa seperti itu, membuat hati Yogi perih. Bagaimana tidak? Bocah malang tersebut harus bahagia dengan caranya sendiri.

Hari ini benar-benar melelahkan. Yogi melempar tasnya ke kasur, disusul tubuhnya yang ia hempaskan begitu saja di samping tas. Kasur yang empuk itu tampak memantul ketika tubuh Yogi menindihnya.

Sementara itu, di bawah terdengar samar-samar dari kamar Yogi bahwa Chiko tengah dibujuk oleh pengasuhnya. Ketika sudah asyik bermain, Chiko memang susah untuk makan.

"Enggak mau, Mbak. Chiko kenyang!"

"Nanti Mama marah, Den."

"Enggak mau. Taruh aja di meja."

"Mbak suapin, ya?" Pengasuh Chiko masih berusaha agar bocah itu mau makan.

Chiko tetap kukuh menolak.

"Dikit aja, Den." Pengasuh ini membawa sesendok nasi ke depan mulut Chiko.

"Nggak mau!" tolak Chiko mentah-mentah.

Bocah kecil itu terus berontak. Pengasuhnya mulai kelelahan dan memutuskan untuk meninggalkan Chiko. Sepiring nasi diletakkan di meja makan, berharap Chiko memakannya nanti.

"Jangan lupa dimakan, ya, Den!"

"Iyaa!!"

Chiko asyik bermain dengan perahunya setelah bosan dengan pesawat tempur. Ia menarik benang yang ada di belakang mainan perahunya, agar perahu tersebut bisa berlayar sendiri di air. Tak lupa, Chiko mengambil hiu, lalu ia letakkan di sekitar perahu. Seolah berada di tengah laut lepas dengan ancaman pemangsa mematikan itu.

"Awas!" Chiko berteriak sendiri. Seolah ia benar-benar dalam bahaya.

Yogi sampai tersenyum dari balik jendela kamarnya. Ingin rasanya ia seperti Chiko; tertawa lepas, mengekspresikan suasana hati, dan tak terbebani konflik batin seperti ini. Namun, Yogi tak mungkin bersikap seperti Chiko. Ia sudah dewasa, ia tak mungkin semudah itu tak memikirkan atau bahkan melupakan masalah di keluarganya. Ia sudah bisa merasakan sakit hati akan sikap tak acuh kedua orang tuanya.

Gue pengen kayak elo, Chiko. Gue pengen tertawa, gue pengen bahagia. Bukan kek sekarang, gue cuma bisa tertawa dalam kebohongan untuk nutupin masalah gue. Tuhan, kapan gue bahagia? Gue muak, Tuhan!

Senyum Yogi memudar saat ia berbalik badan. Kakinya mengayun ke meja kecil di dekat lemari pakaian. Ia membuka laci, sebuah kotak putih sudah ada di tangannya. Perlahan, kotak itu ia buka. Sebuah kalung mainan dari benang dengan liontin Spiderman berikut sarangnya.

Yogi teringat akan peristiwa sepuluh tahun yang lalu, di mana kebahagian itu masih dapat ia rasakan. Tawa bahagia masih merajai kehidupannya. Kalung usang itu adalah pemberian terakhir dari sang ayah sewaktu mereka jalan-jalan ke pasar malam. Namun, kini Yogi bahkan sudah lupa bagaimana rasanya bahagia itu, dan bagaimana rasanya tertawa lepas. Sungguh pilu. Iris cokelat karamelnya terlihat sendu, tanpa terasa, buliran bening itu mencair di pipinya.

Tiba-tiba ....

"Tolong! Tolong! Tolong!"

Teriakan samar itu terdengar sampai kamar Yogi. Suara kecil seperti suara Chiko. Yogi meletakkan kalungnya begitu saja, lalu ia melongok ke jendela. GOD! Chiko tenggelam! Yogi melangkah seribu sambil berteriak memanggil pembantu dan pengasuhnya.

LILIANA (Ketika Cinta Mematikan Rasa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang