Bab 7

8 0 0
                                    

Bab 7 : Neraka dalam Rumah

*

Sejak pagi, Yogi tidak keluar kamar, rasanya malas untuk berinteraksi atau sekadar bertatap muka dengan ayah dan ibunya. Kini, ia tengah duduk bersandar tembok di kamarnya, menyalakan musik dengan volume sangat kencang. Di tangannya juga ada gadget yang menyala. Kepalanya mengangguk dan menggeleng sesuai irama musik, lagu-lagunya The Beatles mendominasi ruangan 4x5 meter tersebut.

Dari luar kamar, Pak Jhoni-ayah Yogi-mengetuk pintu kamar sang anak. Wajahnya terlihat tidak sedap, dari ketukannya pun tampaknya beliau sedang marah. Yogi mendengar ketukan itu, tetapi ia malas membuka pintu. Yogi sudah tahu apa yang akan terjadi jika pintu itu terbuka. Ya, pasti Pak Jhoni akan mengamuk.

"Yogi!! Buka pintunya!!" Untuk kesekian kalinya Pak Jhoni berteriak agar Yogi mau keluar kamar.

Yogi benar-benar malas. Namun, jika tidak dibuka, makhluk di luar kamar itu akan terus-menerus mengganggu ketenangannya.

Setelah pintu terbuka lebar, Pak Jhoni memasang wajah sinis di depan Yogi. Namun, Yogi hanya santai menghadapi pria tambun itu. Sudah menjadi makanan sehari-hari bagi Yogi mendapat kemarahan seperti ini. Jadi, ia tak akan kaget lagi.

"Kecilin suaranya!" titah sang papa.

Yogi menurut, dia berjalan malas mengecilkan suara tape-nya, lalu ia kembali ke ambang pintu. Rasa malas bertemu sang papa masih menjalari dirinya.

"Kenapa kamu gak sekolah?"

Sudah Yogi duga sebelumnya, pasti Pak Jhoni anak menanyakan hal tersebut.

"Males." Yogi memasukkan kedua tangannya ke saku celana. Gadget yang dia pegang tadi sudah ia letakkan di atas tape bluethoot miliknya sejak mengecilkan suara musik.

"Mau jadi apa kamu, ha?! Sekolah tinggal sekolah aja malas! Kalau sampai kamu gak naik kelas, Papa gak segan-segan kirim kamu ke luar negri!!" ancam Pak Jhoni. Dia sudah sangat geram pada Yogi. Menurutnya, anak sulungnya itu susah sekali diatur.

"Peduli apa Papa sama Yogi?" Dengan entengnya Yogi menjawab ucapan sang papa.

Tentu saja hal itu membuat Pak Jhoni naik pitam.

"Kamu semakin hari semakin kurang ajar aja! Berani kamu melawan Papa? Mau jadi apa kamu?!" Mata Pak Jhoni sudah membuka sempurna.

"Jadi kayak Papa." Lagi-lagi Yogi asal saja menjawab. "Yang gak pernah peduli dengan anaknya, yang selalu mendahulukan emosinya daripada kasih sayangnya, yang selalu menomersatukan pekerjaan daripada keluarga, dan yang selalu mendewakan uang dan harta daripada harus memperhatikan anak-anaknya!"

PLAKK!!
Sebuah hadiah tamparan dari Pak Jhoni, tepat mengenai pipi kiri Yogi atas perkataan pedas yang sang anak lontarkan barusan. Pak Jhoni naik pitam mendengar ucapan lancang Yogi. Tak menyangka bahwa sang anak bisa seberani itu padanya.

"Papa yang selalu bertindak kasar pada anaknya. Papa yang gak pantas disebut dengan sebutan P A P A!!"

PLAKK! PLAKK!
Lagi dan lagi Yogi mendapatkan hadiah tamparan dari Pak Jhoni. Kali ini sudut bibir Yogi yang menjadi sasaran sampai robek dan mengeluarkan sedikit darah. Sepertinya, cincin yang berada di jari Pak Jhoni telah melukai wajah sang anak.

"Ini yang kamu dapatkan di sekolah, iya?! Papa menyekolahkan kamu biar kamu jadi anak baik. Bukan kurang ajar seperti ini!! Tapi apa? Kamu malah berani melawan orang tua. Anak macam apa kamu?!!" Pak Jhoni berkacak pinggang.

Yogi tak berkata, ia hanya bergeming dengan tatapan murka pada Pak Jhoni sambil memegangi sudut bibirnya. Selama ini, ia selalu diam mendapat ketidakadilan atas dirinya dan sang adik. Namun, kali ini ia lega telah mengungkapkan segala beban yang telah ia pendam bertahun-tahun lamanya. Meskipun akibatnya ia akan mendapat pukulan, tetapi dia senang. Lega.

"Anak gak tau diuntung kamu!! Masih bagus Papa ngasih kamu fasilitas dan uang. Ini cara kamu hormat sama Papa? Susah-susah Papa sekolahin kamu, tapi-"

"Papa, udah siang. Jadi keluar kota, gak? Ngapain, sih, di atas?" teriak mama Yogi, membuat kata-kata Pak Jhoni terhenti.

"Iya, Ma. Sebentar!" jawab Pak Jhoni. Sepertinya, Bu Lena sudah tak menjawab lagi. "Papa tidak suka kamu jadi anak bandel seperti ini. BRUTAL!!" Pak Jhoni mengakhiri perdebatannya dengan Yogi. Beliau berlalu meninggalkan sang anak dengan sejuta rasa perih yang Yogi rasakan.

"Yogi gak akan lupa dengan hari ini, Pa. Yogi gak butuh uang dan harta Papa, Yogi cuma butuh perhatian dan waktu kalian."

Kali ini Yogi memang sangat kecewa dengan perlakuan sang papa. Sungguh keluarga yang hancur. Sama sekali tidak ada keharmonisan di dalam rumah itu, yang ada hanyalah; pertengkaran, adu mulut, makian, dan bentakan. Yogi mengepalkan tangannya, menyalurkan segala emosinya pada kepalan tersebut. Berharap sakit dalam hati itu mampu lenyap seiring kuatnya ia mengepal dan melayangkan pukulan ke tembok.

*

Liliana duduk manis di taman sekolah sembari mengayun-ayunkan kaki. Pandangannya mengedar, mengusik kejenuhan. Di belakangnya ada tiga anggota geng The Monsters yang saling dorong. Tadi mereka mengikuti langkah Shella, mencoba menjelaskan pada gadis itu tentang yang sebenarnya terjadi. Shella memang marah, tetapi dia marah pada si empunya ide. Ya, Shella turut kesal terhadap Yogi yang telah kelewatan. Akhirnya, Shella memberikan ruang pada The Monsters untuk menjelaskan ke Liliana. Shella sangat menghargai niat mereka yang ingin minta maaf dan menjelaskan semuanya pada Liliana.

Namun, mereka takut dan ragu, yang akhirnya terjadilah aksi dorong-dorongan untuk menunjuk siapa yang akan maju. Reza dan Rangga kompak mendorong Ilham ke depan agar Ilham lah yang bicara pada Liliana. Kasihan, selalu saja Ilham yang menjadi korban saat ada masalah seperti ini. Tamatlah riwayatku! Raut wajah Ilham sangat kentara, bahwa dirinya takut.

"Hei ..., Li!" ujar Ilham sedikit canggung.

Liliana menoleh sinis ketika melihat Ilham berdiri di sampingnya.

"Mau ngapain lo?" ketus gadis cantik itu.

"Busset, jangan galak-galak, kenapa?" Ilham mencoba mencairkan suasana. Maksudnya, sedikit membuat suasana menjadi relaks dan tidak tegang.

Liliana diam. Ilham perlahan duduk di dekat Liliana.

"Gue mewakili The Monsters mau minta maaf sama lo, Li."

"Gak perlu!" Liliana sama sekali tak menatap Ilham.

"Lo harus tau, Li. Kita semua gak ada niat buat mempermalukan elo."

"So what? Menurut lo gue cewek macam apa, Ham? Disudutin ke tembok oleh cowok yang bertelanjang dada. Terus gue dicium, dan lo ... lo sama temen-temen lo ngerekam gue, ngambil foto gue sama Yogi. Menurut lo gue cewek apaan? Gue punya harga diri, Ham! Gue bukan cewek cabe yang semudah itu disentuh cowok!!"

"Gue ngerti, Li. Tapi-"

"Udahlah. Gue males bahas ini. Mending, lo pergi dari sini!"

"Li. Lo harus tau, Yogi itu-"

"Apa lagi? Gue tau, kok. Yogi mau mempermalukan gue, 'kan? Dengan adanya foto dan video itu, dia bisa aja nyebarin ke orang-orang. The Monsters itu berengsek! Ngerti, lo?!" Liliana menekan kata-katanya, lalu pergi.

LILIANA (Ketika Cinta Mematikan Rasa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang