Bab 3

10 3 0
                                    

Bab 3 : Inikah yang Disebut Keluarga?

Lakukanlah apa yang ingin lo lakukan. Selama itu benar, kenapa tidak?

*

The Monsters pulang paling akhir. Mereka senang pulang belakangan karena mereka ingin mengerjai teman sekolahnya. Tidak peduli teman kelas ataupun adik kelas, setiap ingin berbuat langsung disikat. Tak tanggung-tanggung, mereka totalitas bila menjahili siswa atau siswi di sekolah. Memang sudah tak ada rasa takut lagi bagi The Monsters melakukan hal itu. Pernah suatu hari mereka dihukum akibat ulahnya, tetapi itu sama sekali tak membuat mereka jera. Alih-alih jera, justru mereka malah membalas guru yang menghukumnya tadi. Sangat keterlaluan memang, tetapi begitulah The Monsters, tiada hari tanpa berbuat rusuh.

Suara musik selalu terdengar di mobil The Monsters, dan suaranya begitu kencang. Berkali-kali kena razia, tetapi mereka tidak pernah jera. Dua mobil sport merah dan putih itu melandas dengan kecepatan tinggi di jalanan. Namun, mobil putih itu berbelok karena rumahnya tidak searah. Sementara itu,  yang merah tetap lurus dan berhenti di tikungan. Rangga keluar dari mobil Yogi, ia sudah sampai di rumahnya, lalu Yogi kembali menginjak pedal gas dan kembali membelah jalanan. Jarak rumah Yogi dengan Rangga cukup jauh.

Kaki Yogi mengayun santai ke dalam rumah. Tak lupa ia memencet remote-lock mobil, kemudian melenggang dengan menyampirkan jas sekolah di pundak.

"Baru pulang kamu?" Suara berat itu terdengar dari ruang tengah saat Yogi ingin menginjakkan kaki di anak tangga.

Yogi menoleh malas. Selalu seperti itu jika pria separuh baya ini memanggilnya. "Iya, kenapa?" tanyanya datar.

"Kamu itu gak ada sopan-sopannya sama orang tua!" cibir Pak Jhohan.

"Oh, maaf." Yogi meninggalkan ayahnya. Ia tidak ingin berdebat dengan sang ayah hari ini. Yogi merasa begitu malas jika berhadapan dengan pria bertubuh tambun itu.

"Yogi! Yogi! Papa belum selesai bicara! Yogi!"

Panggilan itu terus berulang, tetapi Yogi tetap tak peduli. Baginya, menghindar adalah hal yang baik, daripada harus berdebat hal tidak penting. Pemuda ini sudah paham dan tahu betul bagaimana sikap sang papa. Jadi, Yogi lebih memilih tak meladeni. Dia melenggang begitu saja tanpa memedulikan omelan sang papa.

*

"Papa, matematika Chiko dapat sembilan, lho." Anak kecil ini memperlihatkan selembar kertas hasil ulangannya tadi pagi. Namun, yang diajak bicara tak acuh. Pak Jhohan sibuk dengan santapan di hadapannya. Hari ini beliau pulang lebih awal, karena sedang tidak sehat.

Chiko tak menyerah. "Papa, liat deh, aku dapat sembilan," ulang bocah kurus ini. Dia meletakkan kertas itu di depan papanya. Di atas meja makan.

"Kamu gak liat Papa lagi apa, ha?! Papa ini lagi makan. Lagian cuma dapat sembilan aja ribut. Kalau dapat sepuluh, baru kamu bisa kasih ke Papa. Ngerti kamu?!" Mata Pak Jhohan melotot di depan Chiko.

Seketika bocah sembilan tahun ini gemetar, dia ketakutan karena dibentak sang papa.

"Mah ...," lirih Chiko memelas.

"Kamu gak denger yang Papa bilang? Kamu, sih, bandel!" ucap sang mama tak kalah sinisnya.

"Mama harusnya ajarin dia, dong."

"Kok jadi Mama yang salah? Papa juga gak mendidik Chiko, 'kan?" sanggah wanita berdandan modis di usianya yang sudah kepala empat ini.

"Alah! Papa sibuk!"

"Mama juga sibuk! Bukan Papa doang!"

Chiko hanya menangis pilu melihat kedua orang tuanya bertengkar. Dia hanya ingin sebuah perhatian, bukan malah saling menyalahkan seperti itu. Kali ini Chiko memilih pergi saja daripada harus melihat kedua orang tuanya adu argumen yang tak berujung. Hati Chiko perih. Susah payah dia berusaha mendapat nilai sembilan, tetapi tak berarti apa-apa untuk kedua orang tuanya. Di sekolah, hanya Chiko lah yang mendapat nilai tertinggi di antara teman-temannya. Namun, seolah usaha Chiko sia-sia belaka. Bocah ini tersedu sambil memeluk selembar kertas nilai ulangan.

Yogi yang sedang belajar di kamar sampai merasa terganggu mendengar perdebatan tidak penting antara mama dan papanya. "Berengsek! Selalu aja berantem! Kapan, sih, gue hidup tenang di rumah ini?! Shit!" umpat Yogi sambil melirik ke pintu kamar, seolah pandangan tajam itu terarah pada kedua orang tuanya.

Pemuda ini memutuskan memasang earphone di telinganya dengan volume full. Perdebatan seperti ini memang sering dia dengar, bahkan dia sudah bosan. Hidupnya tidak pernah damai. Salah satu cara menghibur diri adalah dengan mengerjai teman-temannya. Yah, hanya dengan cara seperti itulah Yogi dapat melampiaskan kebosanan dan kesepiannya. Kasihan bukan? Padahal dia tahu, hal itu sangat tidak berpengaruh pada suasana hatinya bila di rumah.

*

Jam pelajaran dimulai. Hari ini adalah praktikum fisika. Semua siswa berkumpul di lab. Liliana masih di kelas, ia mencari labu erlenmeyer-nya. Labu itu penting untuk praktikum, tetapi ke manakah labu erlenmeyer tersebut? Liliana kebingungan, karena sejak tadi dia tak menemukannya juga. Padahal dia ingat betul di mana meletakkan labu tersebut.

"Nyari apa, Li?" tanya Shella kebingungan.

"Labu gue gak ada, Shell. Ke mana, ya?" Gadis ini terus memeriksa tas, memgacak isinya. Nihil.

"Ketinggalan kali."

Liliana mengingatnya. Di rumah, tadi ia sudah menyiapkan gelas itu di dekat tasnya. Sial! Ia tidak bisa mengingatnya lagi setelah sudah di sekolah. Huft!

"Gue lupa naruhnya, Shell. Perasaan tadi gue bawa, kok. Gimana, dong?" Liliana tampak begitu khawatir.

Shella melihat jam tangannya. "Udah telat, Li. Ayo, buruan!"

"Labu gue, gimana?"

Liliana masih sibuk mencari labunya. Yogi melihat apa yang Liliana alami. Yogi meraih labunya, lalu lewat di dekat Liliana. Tak lupa ia meletakkan labu itu di meja belakang gadis cantik tersebut.

"Ngapain lo liat-liat?" tukas Liliana jutek. Dia tidak suka dipandang Yogi sedemikan rupa, apalagi telah terjadi permusuhan antara mereka.

Yogi tidak menjawab, ia hanya melihat saja kemudian berlalu tanpa kata-kata.

Mata Shella melihat labu di belakang kursi Liliana. Ia mengambilnya.

"Ini punya lo, bukan?" Shella membawa gelas tersebut ke depan Liliana.

Liliana menatap labu itu, aneh. "Emm ...." Dia mencoba mengingat sesuatu. Namun, baru saja dia meletakkan telunjuk dan jempol di dagu, Shella sudah membuyarkan semuanya.

"Udah, ayo! Labunya juga udah ketemu." Shella menarik lengan Liliana agar cepat bergerak. Pak Dirga tidak akan memberi ampun jika ada siswa atau siswi yang terlambat.

Semua siswa sudah berkumpul di lab. Pak Dirga juga sudah ada di sana. Beliau mengabsen para siswanya satu per satu. Ternyata, Yogi belum hadir di sana.

"Yogi mana?" tanya Pak Dirga sembari mencari keberadaan anak bandel tersebut. Mata beliau tertuju pada The Monsters, tetapi mereka pun tak melihat Yogi setelah Pak Dirga mengajak ke lab tadi.

Siswa lain pun tak menahu, termasuk Liliana. Dia pun terheran, karena tadi Yogi sudah keluar lebih awal.

"Saya, Pak, saya!" Yogi berlari masuk lab.

"Kamu telat terus. Sana, keluarkan labu erlenmeyermu! Kita praktik."

"Labu erlenmeyer apa, ya, Pak?" Yogi terlihat bingung.

"Kamu lupa atau sengaja? Kamu selalu meremehkan pelajaran saya. Sana, kamu bediri di lapangan sambil hormat ke bendera!!"

"Tapi, Pak–"

"CEPAT!!"

Yogi tak banyak membantah. Ia berlari ke luar ruangan dan menjalani hukuman. Liliana melihat labu di tangannya, kemudian melihat Yogi yang berdiri kepanasan.

Apa ini punya Yogi? batin Liliana masih dengan tatapan penuh rasa ingin tahu yang dia sorotkan pada gelas di tangannya.

LILIANA (Ketika Cinta Mematikan Rasa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang