Bab 1 : Hidup Baru

15 6 4
                                    

"Kak Ellen, yuk kita berangkat! Mobilnya sudah siap tuh," ajak Ethan sambil mendekatiku  berdiri di tengah dapur yang kosong.

"Iya, bentar," sahutku tanpa menolehkan kepala pada Ethan yang berdiri di belakangku.

Pandangan Ellen menyapu ruang dapur yang telah kosong. Bayangan mamanya yang tengah sibuk memasak di dapur, seolah ada di depan matanya. Ellen mengerjapkan matanya menahan air mata yang hendak keluar.

Dengan langkah gontai, Ellen berjalan ke ruang tengah, tempat ia biasa bercanda dengan mama dan Ethan, adiknya. Bayangan mama yang tertawa masih sangat jelas dalam ingatannya. Namun kini, mama telah tiada. Serangan jantung yang tiba-tiba dua Minggu lalu, membuat mama pergi meninggal dunia seketika. Tak terasa air mata yang sejak tadi ditahannya mengalir begitu saja di pipinya.

"Kak, sudahlah. Ayo kita berangkat, kita mulai hidup baru, oke?!" Ethan menggenggam tanganku seolah menguatkan.

Kini hanya aku dan Ethan saja, mamaku meninggal 2 Minggu lalu karena serangan jantung. Padahal selama ini mama tidak pernah memiliki riwayat penyakit apapun dan kondisi kesehatannya baik. Tapi entahlah, Ellen tidak yakin karena masih merasa janggal akan kematian mamanya. Sementara papa juga sudah lama meninggal, saat aku masih remaja dan Ethan masih kecil.
Ethan kembali menarik tanganku, membuat aku tersadar akan lamunanku.

"Ayolah Kak," ajak Ethan lagi sambil menggandeng tanganku keluar dari rumah yang penuh kenangan ini.

Keluar dari rumah ini membuat air mataku semakin deras mengalir. Dengan berat hati, aku masuk ke dalam mobil yang akan membawaku dan Ethan ke rumah Oma Dini, nenekku.

Perjalanan menuju rumah Oma Dini memakan waktu hanya satu jam saja. Tapi walaupun begitu, kami jarang sekali mengunjungi Oma Dini. Bisa dibilang, kami tidak dekat dengan nenek kami sendiri, bahkan mama yang adalah anaknya pun juga tidak dekat.

Mobil yang kami tumpangi memasuki kawasan elit dan berhenti di rumah nomor 7. Pagar besi tinggi yang tertutup menyambut kami. Rumah Oma Dini memang indah, megah dan besar. Desain rumah Eropa klasik dengan cat warna putih, taman yang terawat dengan berbagai bunga dan tanaman menghiasi, membuat rumah tampak asri dan nyaman untuk ditinggali. Tapi tidak denganku.

"Wow, rumah Oma Dini jadi semakin bagus. Berbeda sekali dengan rumah yang waktu dulu," kata Ethan berdecak kagum.

Memang rumah Oma Dini ini masih baru. Mungkin baru sekitar 2 tahun lalu ia pindah. Aku dan Ethan belum pernah datang ke rumah ini, mama hanya pernah mengajak kami ke rumah lama Oma Dini yang mungkin kini telah dijual.

Pak Dudung, sopir kami, membukakan pintu mobil. Dengan perlahan aku dan Ethan keluar dari mobil. Ethan dengan raut wajah kagum, antusias untuk segera masuk ke dalam rumah.

"Terimakasih, Pak," ucapku pada Pak Dudung, sopir Oma Dini yang menjemput kami.

"Sama-sama, Non," kata Pak Dudung sambil menganggukkan kepalanya dan pergi untuk mengembalikan mobil ke dalam garasi.

Aku dan Ethan melangkahkan kaki ke teras yang luas. Hanya berdiri beberapa saat, hingga akhirnya pintu besar terbuka sebelum aku mengetuknya. Seorang wanita paruh baya keluar menyambut kami dengan senyum ramahnya.

"Non Ellen dan Mas Ethan sudah datang, ayo langsung masuk saja. Oiya, panggil saya Bik Ratih saja," ucap Bik Ratih mengembangkan senyuman ramah.

"Terimakasih, Bik. Ehm ... Oma Dini ada, Bik?" tanyaku sambil mengikuti langkah Baik Ratih memasuki rumah. Ethan hanya diam, sibuk mengagumi interior rumah.

"Nyonya Dini belum pulang kalau hari masih sore seperti ini. Biasanya Nyonya pulang sekitar jam 7 malam," jelas Bik Ratih yang mengantarkan kami ke lantai 2.

Kutukan Rambut IblisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang