Bab 6 : Kehilangan

2 1 0
                                    

Ellen tidak mau membuang waktu. Malam itu juga ia langsung pergi ke rumah Gilang yang letaknya lumayan jauh dari rumah Oma Dini. Perjalanan memakan waktu hampir 2 jam hingga sampai di rumah Gilang. Sebelumnya Ellen sudah menelepon Gilang untuk janji bertemu karena ia tidak mau jika nanti Gilang malah tidak ada di rumah.

Ellen keluar dari mobil, mengamati rumah yang kecil namun nampak terawat dan asri dengan berbagai macam tanaman menghiasi rumah. Sudah lama Ellen tidak mengunjungi rumah sepupunya ini, mungkin 2 tahun lebih. Memang setelah kematian papanya, mama tidak punya banyak waktu untuk mengajak Ellen dan Ethan, hanya sekedar pergi, jalan-jalan atau mengunjungi saudara. Waktunya dihabiskan untuk mencari uang untuk kebutuhan hidup.
Tante Vena menyambut kedatangan Ellen dan Samuel, karena Samuel bersikeras mengantarkan Ellen pergi.

"Loh mana Ethan? Kenapa tidak diajak?" tanya Tante Vena setelah puas melepaskan rasa rindu.

"Maaf Tante, hari ini Ethan ada acara weekend di sekolahnya jadi nggak bisa ikut," kata Ellen beralasan.

"Oh ya sudah nggak apa-apa. Ayo kita langsung makan yuk, kalian pasti sudah lapar kan?!" Tante Vena langsung memandu Ellen dan Samuel menuju ruang makan.
Di sana ada Gendhis yang sedang menyiapkan makan malam. Sedangkan Gilang baru saja masuk ke ruang tamu karena ia tadi sedang mandi.

Ellen dan Gilang serta Gendhis melepaskan rasa rindu mereka karena lama tidak berjumpa.
Makan malam ini terasa menyenangkan,walaupun dengan hidangan yang sederhana namun suasana sangat akrab menjadikan Ellen sangat bahagia bisa berkumpul lagi dengan saudaranya.

Setelah acara makan malam, Ellen tidak mau mbuang waktu, ia langsung meminta ijin pada Tante Vena untuk berbicara berdua dengan Gilang. Ellen beralasan hendak menanyakan hal-hal seputar perkuliahan pada Gilang. Tante Vena pun mengerti karena memang Gilang 2 tingkat diatas Ellen.
Ellen, Samuel dan Gilang duduk bersama di teras rumah. Suasana malam yang terasa sepi dan angin dingin semilir membuat Ellen merasa betah berada di rumah ini.

"Ellen, kamu mau ngomong apa? Sepertinya ada hal serius?" tanya Gilang langsung pada pokok permasalan, ia memang sudah tahu pasti ada sesuatu yang membawa sepupunya ini datang jauh-jauh ke rumahnya.

"Ehm ... Gilang, sebelumnya aku mohon kamu dengarkan dulu semua apa yang akan aku katakan dan jangan memotongnya. Juga tolong percayalah padaku," pinta Ellen serius. Gilang hanya menganggukkan kepalanya.

"Begini Gilang, aku tahu ini kedengarannya tidak masuk akal bahkan gila tapi inilah yang sesungguhnya terjadi. Saat mamaku meninggal dunia, aku menemukan kejanggalan. Banyak rambut yang menyumbat mulut mamaku namun aku merahasiakan semuanya dari siapapun karena aku takut. Kemudian kamu tahu kan kalau aku dan Ethan lalu tinggal di rumah Oma Dini. Setelah beberapa waktu aku tinggal di sana, aku selalu diikuti oleh sesosok kuntilanak yang ternyata adalah mamaku sendiri," ucap Ellen yang terlihat kesedihan di wajahnya.

"Apa?!" Gilang merasa tak percaya.

"Itu benar, Gilang. Kemudian kuntilanak itu memperingatkan aku dan Ethan agar segera pergi dari rumah Oma Dini tapi aku harus menyelidiki kan ada apa sebenarnya. Kemudian aku menemukan hal aneh saat melihat Oma Dini melakukan sebuah ritual di kamar tersembunyi dan ada fotomu berada diatas sajen. Aku bertanya pada kakek Samuel ini yang mengatakan jika itu adalah pesugihan rambut iblis. Gilang, kamulah selanjutnya yang akan Oma Dini korbankan," jelas Ellen serius, berharap Gilang percaya.

"Itu tidak mungkin, Ellen. Oma Dini itu baik banget. Dia yang selama ini membantu perekonomian keluargaku semenjak papa meninggal," kata Gilang tidak percaya.

"Gilang, tolong percayalah! Ini memang kenyataannya. Jika kamu mau bebas dari kutukan yang telah tersemat padamu, kita akan cari jalan keluarnya." Ellen berusaha meyakinkan Gilang.

"Nggak perlu, Ellen. Aku nggak percaya secuil pun kata-katamu. Kamu hanya mengada-ada. Oma Dini sukses menjadi kaya raya itu memang hasil kerja kerasnya. Coba lihatlah bagaimana Oma Dini sampai setua ini masih terus bekerja?!"
Samuel berusa menenangkan Ellen. Bagaimana pun hal ini memang terasa tidak masuk akal, jadi Samuel mengatakan pada Ellen jika harus memberi waktu pada Gilang untuk berpikir dulu.

"Baiklah, Gilang. Kamu cerna dan pikirkan ulang apa yang semua aku katakan. Tapi tolong jangan lama-lama sebelum semuanya jadi terlambat. Tolong kabari aku dalam 3 hari ini," kata Ellen akhirnya mengalah, tidak mau memaksa.

Setelah berpamitan, Ellen dan Samuel langsung pulang ke rumah kembali. Ellen hanya berharap agar Gilang mau percaya padanya.

Hari-hari berlalu, Ellen selalu menanti telepon dari Gilang, tapi Gilang tak juga menghubunginya. Bahkan Ellen berusaha menelepon Gilang, namun Gilang selalu menolak panggilannya. Ellen merasa putus asa.
Di sisi lain, Ellen menjadi tidak betah di rumah. Jika bertemu saat makan bersama Oma Dini, rasa benci langsung memenuhi hatinya. Ia tidak menyangka jika nenek yang seharusnya melindunginya malah berubah menjadi seorang iblis pencabut nyawa. Namun Ellen berusaha tenang dan bersikap seperti biasa karena tidak mau jika Oma Dini sampai curiga. Ellen sendiri belum menceritakan hal ini pada Ethan karena tidak mau jika adiknya nanti jadi ketakutan.

Dua Minggu telah berlalu, pagi ini Oma Dini terlihat mengetuk pintu kamar Ellen. Dengan terkejut, Ellen membukakan pintu karena tidak biasanya Oma Dini mengunjungi kamarnya.

"Ellen, kamu bersiap ya kita akan ke rumah Tante Rosa sekarang," ucap Oma Dini tanpa basa-basi.

"Kenapa, Oma?"

"Semalam Gilang meninggal dunia," ucap Oma Dini sambil menghapus air matanya.

Seketika Ellen menutup mulutnya, meredam teriakan terkejutnya.
"Kenapa?"

"Katanya Gilang mengalami serangan jantung, seperti papanya," kata Oma Dini sedih. Namun di mata Ellen, kesedihan Oma Dini hanya pura-pura belaka.
Ellen, Ethan dan Oma Dini pergi melayat ke rumah duka. Ellen tidak menyangka jika nasib Gilang berujung seperti ini. Sepanjang perjalanan Ellen mengamati Oma Dini yang baginya hanya berpura-pura sedih padahal mungkin dalam hatinya ia puas telah berhasil mengorbankan keluarganya agar semakin kaya. Hati Ellen dipenuhi kebencian yang terasa menyesakkan dadanya.

Sesampainya di rumah Tante Vena, Ellen memandang peti Gilang yang telah tertutup jadi Ellen tidak bisa melihat jasad Gilang untuk terakhir kalinya. Ada berbagai macam pertanyaan timbul dalam hatinya, namun ia harus tenang agar tidak menimbulkan kecurigaan. Setelah pemakaman, Ellen mendekati Gendhis yang saat ini hanya duduk di ranjang Gilang sambil menangis. Dipeluknya tubuh mungil Gendhis.

"Aku nggak bisa mengatakan apa-apa lagi, Gendhis. Aku pun sangat sedih kenapa Gilang bisa secepat ini pergi, padahal diamasih sangat muda," ucap Ellen masih memeluk Gendhis.

"Iya, Kak. Aku juga nggak percaya Kak Gilang punya penyakit jantung."

"Aku juga sedih tadi sampai disini nggak bisa melihat Gilang untuk terakhir kalinya karena petinya sudah ditutup," ucap Ellen yang memancing Gendhis, ia tahu ada sebuah rahasia.

"Kak Ellen, maukah Kakak menjaga rahasia?"

"Tentu saja, Gendis. Memangnya ada apa?"

"Kak, sebenarnya aku yang pertama kali menemukan Kak Gilang saat ia meninggal. Di mulut dan hidungnya banyak sekali rambut. Karena tidak bisa membersihkannya, akhirnya mama memutuskan untuk merawat jasad Kak Gilang dan langsung menutup petinya. Kata mama, jasad Kak Gilang sama persis dengan jasad papaku saat meninggal dulu," ungkap Gendhis dengan air mata yang terus mengalir.

Kecurigaan Ellen terjawab sudah. Semua memang karena kutukan itu. Ellen masih terus menghibur Gendhis hingga malam hari akhirnya ia, Ethan dan Oma Dini pun pulang ke rumah.

***

Hari terus berlalu. Tak terasa sudah satu tahun terlewati. Setiap hari Ellen selalu khawatir jika dirinya atau Ethan lah yang akan menjadi tumbal pesugihan Oma Dini. Karena ia yakin jika dirinyalah yang akan menjadi tumbal berikutnya karena selama tinggal di rumah ini, Oma Dini sepertinya tidak menyukai dirinya walaupun tampaknya di depannya terlihat sayang namun ia tahu jika di dalam lubuk hat Oma Dini, ia tidak menyukainya.

Ellen pun akhirnya meminta pertolongan pada kakek Madi. Ia ingin menjalani ritual agar terbebas dari kutukan yang mungkin tertuju padanya.

Kutukan Rambut IblisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang