Jimin dan ibunya tinggal di lingkungan di mana orang-orang sekitar mereka memiliki kehidupan yang serba berkecukupan. Kemana-mana selalu menggunakan kendaraan pribadi dan juga pakaian dari brand ternama. Tidak seperti halnya Jimin dan juga ibunya yang hanya bisa bepergian kesana kemari menggunakan bus kota ataupun kereta bawah tanah.
Jarak rumah Jimin hingga ke pusat kota memanglah tidak terlalu jauh namun bila uang jajan yang ia miliki cukup banyak maka sesekali Jimin akan memilih untuk menaiki taksi ke sekolahnya. Bukan karena Jimin merasa malu ataupun gengsi naik bus tapi ia hanya merasa penasaran dengan sensasi saat menaiki taksi tanpa harus berdesak-desakan seperti saat ia menaiki bus kota yang dimana mau tak mau membuat bagian-bagian tubuh tertentu miliknya harus bergesekan dengan penumpang bus lainnya. Apalagi Jimin jarang sekali menempati kursi saat sedang berada di dalam bus karena ia lebih memprioritaskan orang yang lebih tua agar bisa menempati tempat duduk yang nyaman dan bukannya berdesakan seperti penumpang lainnya yang memilih berdiri di dalam bus.
Jimin benar-benar terlarut di dalam khayalannya hingga tidak mendengarkan suara supir taksi yang ada di depannya yang sedari tadi memanggil-manggil namanya.
"nak Jimin, sudah sampai."
sang supir yang tidak lain dan tidak bukan merupakan ayah dari temannya, Yoongi itu pun berbalik dan menyentuh pundak Jimin.Jimin yang baru tersadar dari lamunannya itu pun segera turun dari taksi, menepuk dahi ketika menyadari pintu gerbang sekolahnya sudah hampir tertutup.
"Paman, maaf jika uangnya kurang. sisanya akan Jimin berikan pada paman sepulang sekolah nanti, ok?" ucapnya sambil menyodorkan beberapa lembar uang yang ia simpan di dalam tas ransel sekolahnya.
Sementara Pria paruh bayah itu hanya bisa tersenyum dan mengucapkan kata 'tidak apa-apa' pada Jimin. Ayah Yoongi dan Ibu Jimin memang sudah lama saling mengenal namun hal itu sama sekali tidak bisa di jadikan acuan untuk membuat kedua anak mereka melakukan hal sama. Bahkan saat di sekolah Yoongi sama sekali tidak ingin berdekatan dengan Jimin dan lebih memilih untuk menghindari pria mungil itu karena ia memandang Jimin sebagai anak yang aneh dan juga miskin hingga tak pantas untuk bergaul dengannya. Padahal jika di lihat dengan seksama, kehidupan mereka tidaklah jauh berbeda. Mereka berdua tidak berasal dari keluarga kaya raya melainkan hanya anak yang tumbuh dan besar di lingkungan yang serba sederhana.
.
.
.
"Ini bukan kali pertamanya kau terlambat, Jimin. Harus berapa kali lagi bapak memperingatkanmu agar kau lebih disiplin. Bapak pikir kau cukup tahu diri untuk tidak melanggar peraturan sekolah. Apa kau mau beasiswamu itu di cabut, hmm? memangnya sekolah mana lagi yang mau menampung siswa miskin yang tidak tahu diri sepertimu."
Jimin hanya bisa menundukkan kepalanya, ia pikir hari ini ia tidak akan terlambat lagi tapi kenapa jam masuk mereka justru di percepat dari hari-hari sebelumnya? apa mungkin sudah ada pemberitahuan sebelumnya, tapi kenapa ia tidak tahu? apa itu karena Jimin yang tidak memiliki ponsel sama seperti murid-murid lainnya. Apakah sungguh karena itu? Jangankan untuk membelikannya ponsel, Ibunya bahkan tidak mampu untuk membayar biaya makan siang Jimin saat di sekolah dan karena hal itulah Jimin harus rela bangun pagi-pagi buta hanya untuk membuat bekal makan siang untuk dirinya sendiri.
Jimin memang sudah terbiasa melakukan semuanya sejak ia masih duduk di bangku sekolah dasar. Jadi apapun pekerjaan itu selama ia masih bisa mengerjakannya sendirian maka ia tidak akan merepotkan Ibunya.
Jimin merasa tidak enak jika harus terus bergantung pada Ibunya, apalagi Ibu Jimin sudah cukup lelah bekerja sebagai buruh harian lepas dan malamnya sepulang kerja ia masih harus mengurus kebutuhan Jimin, seperti membuatkan makan malam dan memberi teguran jika dirasa sudah cukup lama anaknya itu berdiam diri di dalam kamar, melewatkan jam makan malamnya hanya untuk sekedar mengerjakan tugas dari sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
FIRST LOVE
Fanfictionsejak kecil Jimin telah banyak memperoleh perlakuan tidak mengenakkan dari orang- orang di sekitarnya dan karena Hal itulah ia tumbuh dengan penuh kebencian di dalam hatinya. Hanya ada satu orang yang ia percayai di dunia ini, orang yang kemungkina...