#. Eight

972 123 10
                                    




Tidak ada yang salah dengan yang namanya jatuh cinta. Namun semua itu akan berubah menjadi kesalahan besar jika seorang Jungkook yang mengalaminya. Menjadi satu-satunya calon penerus perusahaan keluarga membuat kehidupan Jungkook tidaklah leluasa seperti kebanyakan orang lainnya. Dapat melakukan apapun yang diinginkan dan juga jatuh cinta pada siapapun itu. Dan Jungkook sama sekali tidak pernah mengalami hal-hal itu di dalam kehidupannya. Tidak ada kata kebebasan jika semua itu menyangkut tentang nama baik perusahaan.

"Sebaiknya sekarang kau pulang duluan." Setelah sekian banyaknya waktu yang terbuang karena  kecanggungan di antara mereka berdua, akhirnya Jungkook memberanikan diri untuk membuat topik pembicaraan yang baru. Tidak enak juga jika harus berlama-lama dalam posisi yang terlalu intim seperti ini. Jimin yang tersadar dari lamunannya seketika langsung menjauhkan dirinya dari jangkauan pria di depannya. Merutuki diri sendiri tentang bagaimana bisanya ia senyaman itu berhimpitan di tembok bersama dengan pria yang bahkan baru beberapa hari ini ia kenal itu. Dan jangan lupakan juga dengan apa yang baru saja mereka lakukan tadi, ciuman? yang benar saja. Jimin bahkan sampai memalingkan wajahnya ke samping hanya untuk menepuk-nepuk bibirnya. "dasar Jimin bodoh. Bagaimana bisa kau membiarkan pria itu menciummu" ucapnya dengan suara yang lirih sambil sesekali menengok ke arah Jungkook untuk memperhatikan perubahan ekspresi pria itu.

"Bagaimana aku akan pulang ke rumah jika aku sendiri saja tidak tahu tempat apa ini." menepuk dahi saat menyadari lupa membawa beberapa lembar uang untuk sekedar berjaga-jaga jika sewaktu-waktu ia membutuhkannya. Jungkook yang peka kemudian menggelengkan kepalanya, merogoh saku mantelnya lalu mengeluarkan beberapa lembar uang dari dalamnya.

"Ini ambillah, aku akan menemanimu  menunggu taksi di depan sana." Ucapnya seraya menunjuk ujung lorong  yang dimana itu terhubung langsung dengan jalan raya yang berada tak jauh dari tempat persembunyian mereka saat ini.

"T-tidak usah, biar aku pulang sendiri saja. Lagipula aku bukan anak kecil yang harus di temani pulang agar tidak tersesat di jalan." Bibirnya mengerucut sebal. Sedikit gemetaran namun tetap berusaha untuk menyembunyikan hal itu dari pria yang sejak tadi tidak berhenti memperhatikan dirinya.

Jimin baru saja akan melangkahkan kakinya namun sebuah tarikan di tangannya membuat tubuh mungilnya mau tak mau ikut tertarik ke belakang dan kemudian menubruk bagian depan tubuh Jungkook. "Akh...apa yang kau pikir sedang kau lakukan?" Jimin ingin memberontak namun sepertinya hal itu tak seharusnya  ia lakukan saat ini karena kini Jungkook bahkan rela melepas mantel berbulu itu dari tubuhnya dan kemudian menyampirkannya di bahu mungil Jimin. Mencegah agar udara  tak lagi masuk dan membuat tubuh yang lebih kecil gemetaran karena saking kedinginannya.

"K-kenapa kau malah memberikan..." ucapan itu tak lagi bisa Jimin teruskan ketika melihat wajah Jungkook yang  kini mendekat ke arahnya. Jimin hanya bisa membeku di tempatnya, mengangguk patuh ketika Jungkook memintanya untuk lebih merapatkan diri satu sama lainnya. Ini jauh lebih baik daripada yang sebelumnya namun tetap saja Jimin merasa tidak enak harus membiarkan pria itu menahan dinginnya udara malam hanya demi untuk menjaga dirinya tetap hangat dalam waktu yang lama.

"Jangan protes lagi, ok? Sekarang ikuti aku dan biarkan aku memanggilkan taksi untukmu." tangan mereka saling bertautan dengan Jimin yang senantiasa menatap wajah pria itu dari arah samping karena merasa sedikit khawatir setelah melihat pakaian jenis apa yang saat ini di kenakan oleh Jungkook. Itu hanya sebuah jacket hitam dengan bahan tipis yang Jimin yakini tidak akan mampu menghalau udara malam yang dingin.

"Seharusnya kau tidak perlu  melakukan hal ini padaku. Apa kau tidak takut masuk angin?" Jungkook menghentikan langkahnya saat di rasa mereka telah sampai di depan halte bus.

"Tidak ada hal yang perlu di takuti di dunia ini." Jimin membalikkan tubuhnya untuk kemudian sepenuhnya menghadap ke arah Jungkook saat ini. Melihat bagaimana kosongnya tatapan pria itu sedikit banyaknya menimbulkan pertanyaan di dalam benak Jimin. Apakah Jungkook baik-baik saja, apa ia tidak sedang dalam masalah yang besar saat ini?

"Taksi!" Saking larutnya dalam pemikiran membuat Jimin tidak menyadari jika pria itu sudah memberhentikan sebuah taksi di depan mereka. " katakan pada sopirnya dimana alamat rumahmu dan dia akan mengantarmu pulang ke rumah." Jimin mengangguk patuh namun sebelum dirinya masuk ke dalam mobil ia lebih dahulu melepaskan mantel milik pria itu dari tubuh mungilnya dan mendekat ke arah Jungkook untuk kemudian memasangkan mantel itu kembali ke tubuh pria itu.

"Terima kasih untuk semua hal yang kau lakukan hari ini untukku. Dan lagi tak ada salahnya menjadi seorang penakut di dunia ini. Berusaha menjadi pemberani yang kemudian pada akhirnya berakhir menjadi seorang pengecut justru akan membuat orang-orang menertawakan dirimu. Jadi jika kau takut akan sesuatu maka jangan ragu untuk mengatakannya.  Memendamnya sendirian hanya akan membuatmu sakit." Jungkook mematung di tempatnya, tak ingin membenarkan namun juga tak berniat untuk menyangkal. Memang seperti itulah dirinya selama ini. Menjalani hidup sebagai seorang pemberani namun nyatanya di balik itu semua ia dengan mati-matian harus menyembunyikan rapat-rapat perasaan takutnya akan dunia yang teramat kejam ini. Dunia yang sama dengan yang membuat dirinya harus merasakan kehilangan figur seorang ibu bahkan di saat usianya masih sangatlah muda. Terlalu belia untuk bisa memahami seberapa dalamnya arti kehilangan itu sendiri.


Taksi yang membawa Jimin pulang melaju cukup kencang, ada sedikit kekhawatiran namun berusaha untuk ia telan untuk dirinya sendiri. Tak mungkin juga pria mungil itu akan bisa memahami dirinya lebih daripada ibunya yang kini tak lagi hidup dan tinggal di dunia yang sama dengan dirinya.



🌸🌸🌸


Cukup lama menantikan kepulangan sang anak, membuat ibu Jimin kini hanya bisa duduk di depan rumah. Tidak lagi peduli pada udara yang dingin ataupun larutnya malam. Karena baginya bisa melihat putranya pulang dalam keadaan sehat dan tak kekurangan suatu apapun justru adalah bagian terbaik dalam hidupnya.

"Kenapa kau belum pulang juga, nak? Apa terjadi sesuatu saat di perjalanan?" Ucapnya sambil melihat titik-titik salju yang mulai berjatuhan dan membuat bagian depan bajunya  basah. Memilih untuk melanggar anjuran dokter dengan membuat tubuh ringkihnya itu tetap berada di luar ruangan.

"Aku tidak boleh lemah seperti ini. Bagaimana aku akan menjaga Jimin jika hanya dengan menjaga diriku sendiri saja aku tak mampu melakukannya." Air matanya menetes, pandangannya mulai memudar sedikit demi sedikit.  Hawa dingin berhasil menguasai diri dan membuat tubuh kurusnya itu terjatuh ke bawah lantai. Serangan hipotermia mendadak adalah hal yang sangat sering dialami oleh ibu Jimin selama beberapa bulan belakangan ini namun sayangnya hal itu belum pernah terjadi dan di lihat secara langsung oleh putra semata wayangnya Jimin. Dan lagi segala bentuk gangguan dan juga penyakit yang diderita oleh ibu Jimin selalu berhasil di sembunyikan entah dengan cara apa namun hal itu tak pernah sekalipun di ketahui oleh Jimin.

Sementara itu Jimin yang baru saja sampai di rumah lantas segera berlari saat melihat ibunya pingsan di depan halaman rumahnya.

"Ibu, maafkan aku. Ini semua salahku karena terlalu lama meninggalkan ibu sendirian di rumah. Hiks...hiks...ibu kumohon buka matamu, bangunlah. Hiks...hiks..."


Tbc.




Untuk next chapter bakal di up besok ya😊

FIRST LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang