Jungkook merasa bingung pada dirinya sendiri mengapa ia harus merasa emosi ketika melihat Jimin yang terlihat begitu bahagia saat mendapatkan pelukan dari Eunwoo yang notabenenya merupakan sahabat masa kecilnya. Ingin rasanya Jungkook berlari dan membuat pelukan kedua orang itu terlepas saat itu juga.
"Jimin, kalau begitu aku pulang dulu ya" ucap Eunwoo yang diiringi dengan senyuman manis yang dimana jujur hal itu masih menjadi salah satu dari sekian banyaknya daftar hal yang mampu membuat hati Jimin melemah. Jimin suka melihat senyuman pria itu dan mungkin senyum manis itu akan menjadi hal favoritnya mulai hari ini.
"A-ah iya, kalau begitu selamat malam Eunwoo" Jimin memberikan balasan yang sama pada pria itu yakni sebuah senyuman manis khas miliknya yang dimana mampu memikat hati siapa saja orang yang melihatnya saat itu juga.
Pelukan mereka berdua terlepas begitupun juga dengan tautan tangan mereka. Jimin membiarkan pria itu pergi dari hadapannya setelah sebelumnya meminta ibunya agar masuk ke dalam rumah terlebih dahulu mengingat saat ini udara Seoul sedang dingin-dinginnya. Jimin hanya tidak ingin ibunya jatuh sakit karena terlalu lama berada di luar rumah terlebih saat ini ibunya hanya mengenakan sweater rajut tipis. Tidak ada mantel ataupun pakaian-pakaian hangat lainnya yang melekat di tubuhnya hingga membuat Jimin sedikitnya merasa khawatir dengan kesehatan wanita yang telah membuat dirinya terlahir ke dunia ini.
Jimin baru akan masuk ke dalam rumahnya dan menyusul ibunya jika saja ia tidak mendengar suara seseorang yang memanggil namanya dari arah belakang.
"H-hei...Jimin, bagaimana bisa kau meninggalkanku disini begitu saja? Apa kau setega itu membiarkan aku kedinginan diluar?" Jungkook berkacak pinggang. Menatap sinis Jimin yang kini memutar bola matanya ke aranya. Benar-benar pria yang manja, pikir Jimin. Padahal Jungkook bisa saja langsung pergi dari tempat itu tanpa harus menunggu sesi pembicaraannya bersama Eunwoo berakhir.
"Kenapa kau masih ada disini? Bukankah tadi aku sudah menyuruhmu untuk pulang duluan?"
"Iya, harusnya tadi aku langsung pulang saja. Tak perlu mendengar ibumu yang mengatakan
Kau akan mengantarku sampai keluar lorong." Jimin mengerutkan dahinya, apa benar ibunya mengatakan hal itu tapi kenapa ia tidak mendengarnya sama sekali. Atau jangan-jangan itu hanya akal-akalan Jungkook saja agar bisa lebih banyak menghabiskan waktu bersama dengannya. Sungguh, bukannya Jimin tak ingin mengantarkan pria itu sampai ke depan lorong tapi saat ini udara di luar begitu dingin dan itu benar-benar membuat Jimin malas untuk bepergian kemana-mana."Kenapa telingamu jadi merah begitu, apa kau kedinginan? jika benar begitu kau tidak perlu mengantarku. Biarkan aku jalan sendirian saja." Jimin menggelengkan kepalanya kemudian mengambil jalan satu langkah lebih cepat dari pria yang ada di belakangnya.
Bohong jika saat ini Jimin tidak sedang kedinginan tapi mau bagaimana lagi, mantel satu-satunya yang ia miliki masih berada di jemuran dan itu belum kering sama sekali. Jika orang lain di luar sana memiliki begitu banyak pakaian hangat maka lain halnya dengan dirinya yang hanya memiliki satu mantel saja. Sebuah mantel coklat kebesaran yang ibunya belikan di sebuah pusat perbelanjaan bertepatan dengan hari ulang tahun Jimin yang ke enam belas waktu itu.
Yang dimana sampai kapan pun itu akan tetap Jimin kenakan karena memang mantel itu adalah pakaian kesukaan Jimin hingga saat ini."Tidak, siapa bilang aku kedinginan. Lebih baik percepat langkahmu itu karena aku ingin segera pulang ke rumah." Jimin baru saja akan menolehkan wajahnya ke belakang namun tiba-tiba tangannya langsung di tarik untuk berlari dengan pria itu. Jimin ingin melepaskan tangannya tapi Jungkook justru semakin mengeratkan tautan tangan mereka berdua.
"Jangan protes, ok?" bagaimana bisa pria itu tahu jika Jimin sempat ingin mengajukan protes padanya padahal sejak tadi Jimin hanya diam di tempatnya dan tidak mengatakan apapun pada Jungkook.
KAMU SEDANG MEMBACA
FIRST LOVE
Fanfictionsejak kecil Jimin telah banyak memperoleh perlakuan tidak mengenakkan dari orang- orang di sekitarnya dan karena Hal itulah ia tumbuh dengan penuh kebencian di dalam hatinya. Hanya ada satu orang yang ia percayai di dunia ini, orang yang kemungkina...