I

2.5K 483 54
                                    

"Lo slalu dateng sepagi ini, Njel?" tanya Leon, ramah seperti biasanya.

Angel tersenyum, meletakkan tasnya di meja.

"Aku sengaja datang lebih awal supaya bisa bersihin kelas," jawabnya.

Agaknya Leon cukup terkejut, hingga mengalihkan perhatiannya dari ponsel, kepada Angel. Tertawa pelan tampak terkesan.

"Kita bersihin bareng-bareng aja nanti, waktu temen yang lain udah dateng," kata Leon.

Angel balas menatap sang ketua kelas dan tersenyum saja menjawabnya. Gadis itu bangkit, bahkan mulai menaikan kursi ke meja, satu persatu supaya lebih mudah untuk membersihkan lantai di bawahnya.

"Njel," tegur Leon cukup lembut.

Angel menghentikan aktivitasnya, lalu menatap Leon. Ia tahu ketua kelasnya itu tak suka dibantah, tapi kembali Angel hanya tersenyum.

"Hari ini pengurus kelas mungkin diganti sama Ms. Dhina." Angel tetap saja melanjutkan aktivitasnya. "Pagi ini mungkin jadi saat terakhir aku menjabat seksi kebersihan. Jadi ...."

Angel tidak melanjutkan, menatap Leon, berharap laki-laki itu bisa mengerti maksudnya hanya dari sedikit penjelasan saja.

Leon tetap berdecak kesal.

"Gue tau, kebersihan itu tanggung jawab lo. Tapi, tugas lo itu cuma mengkoordinir, bukan ngerjain sendirian. Lo seksi kebersihan, Njel, bukan petugas kebersihan."

Angel tetap saja tersenyum, tanpa menatap Leon ia menjawab, "Aku tahu, aku cuma memulai, aku gak ngelarang siapa pun buat bantuin kok."

Leon tertawa menyadari sindiran yang Angel lontarkan padanya, akhirnya bangkit juga dari kursi.

"Okay," kata Leon, "lo ambil sapu aja, biar gue yang angkat kursinya."  Leon mulai mengangkati kursi.

Angel mengangguk dan menurut, berjalan menuju sudut kelas untuk mengambil sapu. Sesaat kemudian seseorang memasuki kelas. Angel dan Leon kompak menoleh padanya.

Irfan memekik terkejut melihat keduanya. Ia berhenti berjalan sambil memegangi dadanya.

"Lo berdua ngapain?" tanyanya.

Angel tersenyum saja, tidak menjawab, lebih memilih untuk mulai menyapu. Sedangkan Leon, menatap Irfan dan tersenyum setengah jengkel.

"Kelihatannya ngapain?" tanya Leon balik, "mojok?" tambah Leon dengan kesal. Kesal karena sudah jelas ia dan Angel sedang bersiap membersihkan kelas, sedangkan Irfan masih bertanya, bahkan seolah-olah curiga.

"Woy! Masih pagi, Njir. Vulgar amat bahasan lo." Irfan kembali berjalan. "Kita bisa ngebahas itu nanti, Yon. Gue siap ngeladenin dengan senang hati," lanjut Irfan ketika menurunkan tasnya dari gendongan.

"Lo yang ngeselin," dengus Leon, lanjut mengangkat sebuah kursi. "Udah tahu kita mau bersih-bersih, masih pake nanya."

Irfan terkekeh, lalu bergabung untuk mengangkati kursi di deretan lainnya.

"Yah, abis gimana ya. Ngeliat cewek sama cowok berduaan di kelas bikin gue mikir aneh-aneh." Irfan mengangkat satu kursi lagi.

"Pikiran lo emang isinya aneh terus," gumam Leon.

Irfan berdecak, lalu mencebik.
"Yang aneh itu kalian berdua," katanya, mengarahkan jari pada Angel dan Leon secara bergantian.

"Udah dapet kesempatan buat berduaan, bukannya ena-ena malah bersihin kelas," komentar Irfan kesal sendiri.

Leon menggeleng tak habis pikir. Teman terdekatnya itu memang "mencengangkan" seperti biasanya. Entah karena terlalu sering menonton bokep, main sabun, atau bagaimana.

"Yon, lo masih normal, kan?" Irfan melirik Leon penuh selidik.

Leon menghentikan aktivitasnya. Tersenyum menatap Irfan, benar-benar tak percaya temannya itu melontarkan pertanyaan gila padanya.

"Maksud lo apa?" tanya Leon, ia berkacak pinggang setengah tertawa.

"Gimana bisa lo berduaan sama Angel dan gak tergoda sama dia? Dia cewek paling cantik di kelas, Bro. Body-nya bagus dan menggoda ...."

"Hey, hey ... Jaga omongan lo!" Leon masih setengah tertawa. "Lo nyeplos kayak Angel gak ada di sini aja. Padahal jelas-jelas dia bisa denger lo juga, Fan."

Irfan lalu menatap Angel dengan terkejut, setengah khawatir.

"Njel, lo denger juga?" tanya Irfan dengan bodohnya.

Angel menoleh lalu tersenyum saja menjawab itu.

"Lo denger waktu gue bilang lo cewek paling cantik di kelas, punya body bagus dan menggoda?" Irfan memperjelasnya.

"Heh bego!" potong Leon, tertawa sambil menepuk dahinya sendiri. "Misalnya Angel tadi gak denger, akhirnya jadi tahu juga gara-gara lo sebutin semuanya di pertanyaan lo," jelas Leon.

Irfan tertegun sesaat, kemudian tertawa setelah menyadarinya.

"Ogeb," gumamnya merutuki diri sendiri. Setelah itu melanjutkan kegiatannya—mengangkati kursi.

"Tapi, Njel. Lo gak tersinggung, kan? Itu tadi sebenernya pujian dari gue?" kilah Irfan, sembari masih mengangkat kursi.

Angel menoleh, lalu tersenyum dan mengangguk.

"Terima kasih," katanya.

Irfan menghentikan aktifitasnya lagi. Lalu menatap langit-langit kelas, menerawang sambil menghela napas panjang.

"Wah ... dia bilang makasih sama gue," gumamnya, yang lagi-lagi bisa didengar oleh semua orang. "Kalau iman gue lemah, gue pasti udah jatuh cinta sama Angel," lanjutnya.

Leon tertawa pelan. "Iman apaan," cibirnya, "lagian cowok mana yang jatuh cinta cuma karena dapat ucapan terima kasih?" Leon kembali mengangkat sebuah kursi.

Irfan tertawa menyadari itu juga.

"Yah ... tapi pesona Angel emang susah buat dicuekin gitu saja, Yon," kata Irfan, "menurut lo dia mau gak, Yon, kalo gue ajak pacaran?" tanya Irfan, lagi-lagi bersikap seolah Angel tidak ada di sana, padahal bisa mendengar semuanya.

Leon tertawa saja menggelengkan kepala, lagi-lagi tak habis pikir dengan tingkah temannya.

"Angel. Lo mau gak jadi pacar gue?" tanya Irfan kemudian, tanpa basa-basi.

Angel menoleh dan lalu tersenyum saja menanggapinya.

"Waah ... dia cuma senyum," gumam Irfan masih menatap Angel yang tak lagi menggubrisnya.

"Bukannya itu berarti 'iya', Yon?" lanjutnya menatap Leon.

Leon hentikan aktifitasnya, lalu menatap Irfan.

"Itu artinya 'enggak', tapi Angel gak enak ngomongnya," jawabnya.

"Ah, kejam amat dah," keluh Irfan pelan, meratapi penolakannya.

"Lo bilang itu kejam? Kalau jadi Angel, udah gue gampar lo dari tadi," balas Leon.

Irfan bergidik jijik. "Kalau Angel kayak lo, gue juga gak sudi ngegodain," balasnya.

Leon tertawa, sebentar setelahnya melepas sepatu dari kakinya, lalu melempar itu kepada Irfan sekeras-kerasnya. Irfan berkelit, berhasil menghindar.

"Masih pagi udah ngajak tawuran lo ya?" kata Irfan. Buru-buru ia pungut sepatu itu lalu melemparkannya balik hingga mengenai kaki Leon. Tak berhenti di sana, ia melepas sepatunya juga sebagai amunisi selanjutnya.

Dua anak berwajah nyaris sama memasuki kelas, segera saja histeris menemukan apa yang terjadi di kelas mereka.

"PERANG SEPATU!!" seru anak kembar itu, buru-buru melepas sepatu untuk bergabung dalam permainan.

__________

Bersambung ...

Pendek aja ya.. baru pemanasan :v

Cerita ini adalah spin off dari cerita kelas A. Kisah Leon waktu dia masih kelas XI.

bagi yang belum baca kelas A silahkan cek di list karya. Tidak pun kurasa tidak apa ya, masih bisa mengikuti ceritanya tanpa bingung. Lagian ini spin off bukan sequel.

ChameLeonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang