IV

1.5K 348 35
                                    

Leon sampai di kantor guru, mendapati Ms. Dhina, wali kelasnya, ada di meja, dengan Pak Irwan tengah bicara padanya. Keduanya kompak mendongak menyadari kehadiran Leon. Entah kenapa Pak Irwan menghela nafas tampak lega melihat anak berkacamata itu.

"Bapak sudah cerita sama Ms. Dhina?" tebak Leon tanpa sungkan.

Pak Irwan mengangguk, membenarkan.

"Sebenarnya saya ingin bertanya," kata Leon tersenyum pada dua gurunya. Senyuman yang gurunya paham menyimpan sesuatu sebagaimana Leon biasanya.

"Apa alasan Damar bisa ada di kelas kami? Saya tahu dia tidak masuk lewat jalur prestasi. Dan jelas dia anak yang sulit diatur, tidak mungkin lulus ujian kuesioner. Jadi, bagaimana bisa?"

Ms. Dhina menunduk seraya menarik napas dalam, sudah tahu saat seperti ini pasti akan datang.

"Dan Damar yang disandingkan semeja dengan saya, saya yakin karena Ms. Dhina mau saya mengawasinya," tambah Leon mengungkapkan analisanya.

Ms. Dhina tersenyum hambar dan mengangguk membenarkan analisa Leon.

Leon diam saja, sejujurnya dia tidak sedang membutuhkan pembenaran. Dia hanya inginkan penjelasan bukan hal lain.

"Sebelumnya saya akan minta maaf, Leon," kata Ms. Dhina membuat Leon berkerut alis, semakin penasaran.

"Damar ada di kelas kita, itu karena perintah kepala sekolah."

Leon semakin heran. Sepenting apa seorang Damar sampai kepala sekolah saja ikut memperhatikannya? Leon yakin anak seperti Damar, anak yang sulit diatur dan semaunya sendiri pasti ada banyak di sekolah ini.

________

Leon kembali ke kelas dengan pikiran melayang. Entah hal ini bagus ataukah buruk. Damar ada di kelas MIPA 1 karena Leon ada di sana. Berandalan yang sulit diatur itu rupanya cucu pemilik yayasan dan atas permintaan kakeknya itulah kepala sekolah menempatkan Damar satu kelas dengannya. Kepala sekolah memercayakan Damar pada Leon, untuk bisa mengawasi dan akan lebih baik kalau bisa merubah sikapnya juga.

Leon mendengus kesal. Mungkin bagus dipercaya para guru sampai sejauh ini. Tapi, jujur saja Leon justru merasa jengkel. Dia tak lebih dari seorang siswa, harusnya dia hanya harus sibuk memikirkan pelajaran. Mendidik dan mengurusi kepribadian anak lain harusnya bukan urusannya.

Akan tetapi, perasaan Leon terasa tak enak telah mengatakan kalimat penutupnya pada Ms. Dhina tadi.

"Kami berharap kamu bisa membantu, Leon," kata Ms. Dhina dan Leon langsung saja memotongnya.

"Sejak kapan seorang siswa harus ikut ambil pusing dalam mengurusi seorang berandalan begini Miss? Misalnya pemilik yayasan punya lima cucu dan semuanya berperilaku seperti Damar, Ms. Dhina akan menanggungkan mereka semua pada saya begitu?" tanya Leon dengan kacamata sudah tak lagi menggantung di wajahnya.

"Maaf, saya tak ingin ikut repot. Tak ingin mengecewakan dan yang pasti tak ingin urusan ini mengganggu belajar saya. Saya yakin Ms. Dhina paham kalau jelas sekolah harusnya tidak membebankan hal seperti itu pada seorang siswa. Saya datang ke sekolah untuk dididik, bukan untuk mendidik. Permisi."

Leon langsung keluar dari ruangan, meninggalkan Ms. Dhina dan Pak Irwan di sana.  Ia tahu betul apa yang dikatakannya tidak salah. Ia tahu betul kalau kedua gurunya  itu paham siapa yang berada di pihak yang benar dan siapa yang ada di pihak yang salah. Tapi Leon juga tahu, mungkin harusnya bisa ia tahan sebentar emosinya. Bagaimanapun ia sedang bicara dengan gurunya, bukan?

Leon kembali mendengus dengan kesal dan duduk di bangku depan kelas. Ia ingin cerita pada seseorang. Kalau ia cerita masalah ini pada mamanya pasti mamanya bisa membuat ia merasa lebih baik. Tapi, kalau hal ini sampai ke telinga papanya, ia pasti akan langsung dipindahkan ke sekolah lain. Tahu betul bahwa papanya lebih protektif daripada mamanya sendiri.

ChameLeonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang