Part 5

31.7K 1.1K 21
                                    

Aku melempar tubuhku ke ranjang dan membenamkan wajahku ke bantal. Menangis mungkin bukan jawaban dari masalah ini, tapi itulah satu-satunya yang bisa aku lakukan sekarang. Kejadian di kafe itu benar-benar membuatku shock. Aku tak menyangka kalau Bara akan melakukan hal yang menjijikkan itu kepadaku. Sampai saat ini bibirku masih berdenyut-denyut akibat ulahnya. Aku benar-benar benci padanya. Mungkin sekarang kadar benci itu sudah melampaui batas.

Aku tidak tahu apa yang telah merasuki otak Bara tadi. Mulutnya pun tidak berbau alkohol. Bukankah berarti dia dalam keadaan sadar sepenuhnya? Lalu kenapa dia melakukan hal itu? Menciumku dengan liar dan kasar. Apakah dia mempunyai kelainan? Bukankah aku dan dia baru bertemu dua kali? Logikanya dia tidak akan berbuat kurang ajar pada orang yang baru dikenalnya, bukan?

Kedua tanganku mengepal sangat erat. Marah, kesal, dan perasaan benci bercampur jadi satu untuk laki-laki itu. Bara.

Laki-laki yang tidak tahu sopan santun. Tidak tahu etika. Tidak tahu...arrrggghhh, geramku sambil menggeleng-gelengkan kepala mencoba menghilangkan bayangan-bayangan kejadian tadi.

Setelah sekian lama, akhirnya aku berhenti menangis. Kupikir-pikir, buat apa menangisi hal yang mungkin bagi Bara itu adalah hal biasa. Laki-laki itu sekarang pasti sedang tertawa puas dengan kelakuannya. Aku mengatupkan gerahamku.

************************************************************

 “Kenapa semalam kau meninggalkanku?” Tanya Sinta saat aku bertemu dengannya di depan gerbang kampus.

“Maafkan aku.” Jawabku sembari menundukkan wajah menatap ujung sepatuku yang sedikit kotor. Rasa sesal merayapi hatiku.

“Apa yang sebenarnya terjadi?” tanyanya lagi dengan nada menginterogasi.

Aku mendongakkan wajah menatapnya ragu. Haruskah kuceritakan kejadian semalam? Kejadian yang sangat memalukan. Menjijikkan. Keningku berkerut saat mengingat hal itu.

“Tidak ada apa-apa.” Jawabku mengelak. 

“Kau jangan bohong.” Kata Sinta masih dengan tatapan yang menyelidik. “Semalam aku melihatmu keluar dari kafe dengan tergesa-gesa. Kupikir kau hanya keluar sebentar. Lalu aku melihat Bara juga keluar. Aku menjadi penasaran dan mengikuti kalian.”

Aku mendesah, mencoba mengatur detak jantungku yang tiba-tiba saja berdenyut lebih cepat saat Sinta menyebut nama Bara. Aku mengalihkan pandanganku melihat gedung kampus yang nampak megah.

“Kita masuk yuk. Sebentar lagi ujian dimulai.” Ucapku menghindari segala pertanyaan yang mungkin akan diajukan Sinta kepadaku. Aku menarik tangan Sinta tapi Sinta segera berbalik mencekal tanganku.

“Tidak, tidak, tidak. Pasti ada sesuatu yang tidak beres denganmu.”

Aku menoleh memandangnya. Wajah Sinta benar-benar serius. “Sungguh, tidak ada kejadian apapun dan aku minta maaf padamu karena aku meninggalkanmu begitu saja.” 

“Oh ayolah, Dara. Aku melihatmu naik taxi dan Bara nampak marah-marah saat melihatmu pergi.” dengus Sinta kesal karena aku mengelak terus.

Aku mengernyitkan dahi heran. Bara marah-marah? Tapi kenapa laki-laki itu marah? Bukankah seharusnya aku yang marah? Lagipula kenapa dia mengikutiku? Seharusnya kan dia  tertawa puas dengan apa yang telah diperbuatnya padaku?, batinku bertanya-tanya.

“Itu tidak penting, Sinta. Aku tidak tahu kenapa Bara mengikutiku.” Elakku.

“Aduh, kau ini!” Sinta menghentakkan kakinya ke tanah dengan jengkel. “Aku menelponmu semalaman dan kau mengatakan itu tidak penting? Kau membuatku kuatir, tahu?”

Saat rasa itu datangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang