Pagi yang cerah. Sinar matahari yang kuning menerobos di sela-sela bangunan rumah-rumah yang padat penduduk. Udara pagi ini sedikit menghangat setelah semalaman hujan turun dengan derasnya, menyisakan bau tanah yang khas. Jalanan beraspal pun masih belum kering dan nampak berwarna sangat hitam.
Aku sudah terbangun sejak subuh tadi. Air hujan masih deras kala itu. Memandang langit-langit kamar kos-kosan ku yang tak terlalu besar. Hanya sebuah kamar berukuran 3m x 2,5m saja. Sebuah tempat tidur hanya untuk satu orang dan sebuah lemari kecil untuk menyimpan pakaian dan buku-buku yang aku bawa untuk kuliah.
Yah, aku baru saja menjadi mahasiswa baru di sebuah perguruan tinggi yang terkenal. Aku bisa masuk dengan mudah karena aku termasuk siswi berprestasi di bidang akademik. Memilih perguruan tinggi ini dengan serangkaian tes yang aku lalui dengan mudahnya, dengan nilai paling tinggi dari sekian ribu calon mahasiswa baru yang mendaftar.
Aku datang ke kota ini sendirian. Aku benar-benar nekat, meskipun ibu lebih menginginkan aku untuk kuliah yang dekat-dekat saja dengan tanah kelahiranku. Tapi aku menolak. Dan sikap keras kepalaku ini memang membuat ibu akhirnya mengijinkanku untuk pergi.
"Tapi kau jangan lupa untuk mengabari kami yang ada di rumah." Begitu pesan ibu yang selalu didengung-dengungkan sebelum aku berangkat. Tyo, adik bungsuku yang masih SMA, mengantarku ke terminal bis dengan wajah muram. Kujitak kepalanya saat aku menaiki bis yang bersiap-siap akan berangkat. Bibirnya yang tipis memberengut kesal sambil mengusap-usap kepalanya. Aku tertawa, sekaligus mataku berkaca-kaca saat Tyo melambaikan tangannya sambil berkata "hati-hati" dari mulutnya yang tanpa suara di balik kaca bis. Aku menganggukkan kepalaku.
Dan di sinilah, di ruangan yang tak terlalu besar ini aku terdampar. Aku mendapatkan tempat kos ini setelah seharian aku hampir putus asa karena tidak menemukan tempat kos yang murah. Sedikit jauh dari tempat kampusku, tapi tak apa-apa. Yang penting aku tak kehujanan maupun kepanasan saat aku pulang dari kampus.
Aku menatap wajahku dari balik kaca cermin yang tak terlalu besar yang menempel di dinding. Rambut keritingku ini sedikit menyusahkanku hingga aku hanya menarik rambutku kebelakang dan aku ikat jadi satu dengan karet gelang. Beberapa rambut yang terlepas aku biarkan saja sedikit menutupi wajahku. Aku hanya membubuhkan bedak tipis di wajahku yang memang putih dan sedikit sentuhan lipgloss supaya wajahku tak terlalu pucat.
Aku memandang sebuah foto keluarga yang aku bawa dari rumah. Rasa haru melingkupi hatiku. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir rasa rindu yang hinggap di dada setiap kali memandang foto ayah dan ibu serta adikku tyo.
Hari ini aku kuliah pagi. Setelah sarapan hanya dengan segelas teh dan setangkup roti, aku menyambar tasku dan segera keluar dari kamar. Aku menutup pintu dan menguncinya lalu melemparkan kunci itu ke dalam tasku. Aku melirik sekilas ke kamar sebelah yang masih tertutup rapat. Sudah keluar ataukah masih di dalam? tanyaku dalam hati. Sebenarnya aku ingin mengetuk kamar sebelah itu, tapi aku mengurungkan niatku. Beberapa penghuni kamar lain rupanya juga sudah bangun. Beberapa dari mereka terdengar cekikikan di belakang. Ada yang baru saja keluar dari kamar sambil menyampirkan handuknya di pundak, berjalan ke belakang dengan menguap lebar. Aku hanya tersenyum.
"Kau kuliah pagi, Dara?" tanya seseorang dari ujung kamar menyapaku.
Aku menganggukkan kepala. "Iya mbak. Aku harus buru-buru nih, biar nggak telat." sahutku.
"Baiklah. Hati-hati ya, diluar licin."
Aku hanya tersenyum mendengar perhatian dari Isma, perempuan yang baru saja menyapaku. Ia termasuk senior di tempat kos ini karena sudah lebih dari 3 tahun Isma menjadi penghuni kos-kosan. Isma bukanlah anak kuliahan sepertiku, ia bekerja di sebuah mall terkemuka. Tapi aku juga sedikit heran, kenapa ia mau tinggal di tempat kos yang murah ini? Pertanyaan itu sedikit menggangguku tapi aku tak pernah menanyakannya langsung kepada Isma. Aku takut dia tersinggung.
Udara dingin membuat tubuhku sedikit menggigil saat kubuka pintu rumah kos. Tapi itu tak berlangsung lama. Sinar matahari yang menyeruak mulai menghangatkan tubuhku saat aku berjalan keluar. Aku menyunggingkan senyum dan menarik napasku dalam-dalam, menghirup udara segar sebanyak mungkin karena sebentar lagi aku tak akan bisa menikmatinya lagi. Asap dari knalpot pasti akan memenuhi jalanan yang sebentar lagi akan macet.
Masih kurang setengah jam lagi, batinku sembari melirik jam tanganku. Gedung kampus nampak terlihat begitu megah dari kejauhan. Aku mempercepat langkahku. Jalanan masih nampak becek di sana-sini.
Hup! Aku melompat saat kulihat ada genangan air yang cukup besar di depanku. Tapi...
Craattt!!!!!!
Aku membeku ditempatku berdiri sambil memejamkan mataku. Dan saat aku membuka mataku...
"Oh Tuhan...bajuku?" teriakku sambil memandangi kemeja warna putih gadingku yang kini telah ada titik-titik noda berwarna kecoklatan. Aku mendongakkan kepalaku menatap sebuah mobil sport warna merah yang berlalu begitu saja memasuki gedung kampus. Mobil itulah yang telah membuat lukisan kecoklatan itu di atas bajuku.
"Sialan! Apakah kau tidak punya mata?" makiku pada pemilik mobil yang tentu saja tidak akan mendengar umpatanku. Aku menatap sedih bajuku. Aku menoleh ke belakang. Kalau aku pulang, maka aku akan ketinggalan pelajaran pagi ini. Tapi kalau aku tidak pulang, bagaimana dengan bajuku yang sudah kotor ini?
Sejenak aku merasa bimbang dengan keputusanku, tapi akhirnya aku memutuskan untuk membiarkan saja baju kotor ini melekat di tubuhku daripada aku harus absen dari pelajaran Prof. Arman.
Aku semakin mempercepat langkahku dan pertama kali yang harus aku lakukan adalah ke toilet. Setidaknya aku harus membersihkan noda-noda kecoklatan ini dari bajuku.
"Hai, Dara...tunggu!"
Sebuah teriakan membuat langkahku terhenti. Seorang gadis melambaikan tangannya kepadaku dan berlari kecil menghampiriku.
"Kau mau kemana?" tanya gadis itu setelah berdiri di depanku.
"Aku mau ke toilet membersihkan ini." jawabku sambil menunjuk bajuku yang kotor.
"Aiiihhh...kotor sekali bajumu?" Gadis itu memandang bajuku dengan pandangan ngeri.
Hah! Kau pikir aku begitu mengerikan hingga pandanganmu seperti itu? batinku sebal sambil mengerucutkan bibirku kepadanya.
"Ini...Ini gara-gara mobil tadi. Dasar tidak punya mata!" sungutku dengan marah.
"Lalu?" tanya gadis itu.
Aku hanya mengedikkan bahuku. "Aku harus membersihkannya dulu." jawabku sambil berlalu dari hadapannya.
"Aku ikut ya..." teriak gadis itu sembari berjalan menjajariku. Aku hanya mengangkat bahuku. Tiba-tiba...
"Hei...mobil inilah yang membuat bajuku jadi seperti ini." teriakku sembari menunjuk sebuah mobil sport warna merah yang terparkir dengan rapi diantara mobil-mobil mewah lainnya.
"Kau yakin?" tanya gadis itu sembari ikut memandangi mobil yang aku tunjuk.
Aku mengangguk dengan mantap. "Aku yakin sekali. Aku hapal nomer plat mobil ini." jawabku sambil melihat plat mobil yang sempat aku hapal di luar kepala saat mobil itu berlalu begitu saja setelah meninggalkan noda di bajuku.
"Benar mobil ini?" tanya gadis itu sambil menatapku dengan mengerutkan dahinya.
"Kau meragukanku, Sinta?" tanyaku pada gadis bernama Sinta itu. Sinta menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.
Sinta adalah teman satu kelas denganku. Dia anak yang periang. Tingginya hampir sama denganku. Wajahnya manis. Ia suka meniup poninya jika gugup.
"Kau tahu siapa pemilik mobil itu?" tanya Sinta saat aku berusaha menghilangkan noda kecoklatan itu dari bajuku di depan wastafel.
Aku hanya menggelengkan kepala tak acuh. Saat ini yang aku pikirkan adalah bagaimana cara menghilangkan noda ini, bukan siapa pemilik mobil yang telah membuat bajuku kotor.
"Mobil itu milik Bara." teriak Sinta yang kini sudah berdiri di sampingku sambil menatapku dengan wajah berseri-seri. Aku memandangnya dengan heran lalu mengacuhkannya dan kembali konsentrasi dengan bajuku.
"Siapa Bara?" tanyaku sambil lalu.
####################################################