Mungkin apa yang dikatakan Bara tentangku ada benarnya kalau aku adalah seorang pembangkang. Hari ini, di dalam perpustakaan yang hening tanpa suara, aku sedang duduk berhadapan dengan Ryan. Laki-laki tampan yang ada di depanku ini sedang menunduk membaca buku yang tadi diambilnya dari rak. Penampilannya selalu perlente. Tanpa cacat.
Bla mengingat apa yang dikatakan Sinta tentang Ryan, bahwa laki-laki ini adalah playboy cap kampung, rasa-rasanya aku kurang setuju dengannya. Selama aku mengenalnya, dia tak pernah sekalipun nampak berduaan dengan seorang gadis. Tentu saja aku hanya tahu tentangnya di kampus. Aku tak pernah tahu bagaimana kehidupan laki-laki itu diluar kampus.
Tapi aku tidak peduli dengan cap yang menempel padanya. Selama ini Ryan cukup baik denganku meski ia selalu mengingatkanku untuk menjauhi Bara.
Aku heran dengan dua laki-laki ini. Mereka sama-sama menyuruhku untuk menjauhi satu sama lain. Aku tidak tahu apa alasan mereka. Melihat mereka saling menarik urat saraf saat di kantin dulu, membuatku menebak-nebak apakah mereka punya dendam?
Ryan berdehem dan agak gelisah. Aku baru memperhatikannya karena tadi aku juga sibuk dengan buku bacaanku.
"Ada apa?" Bisikku.
Dia tergeragap dan menggelengkan kepalanya.
"Tidak ada apa-apa." Jawabnya dengan berbisik juga.
"Tapi sepertinya kau ingin berkata sesuatu?" Tebakku.
Ryan membetulkan letak duduknya senyaman mungkin. Sesekali dia mencuri pandang ke arahku. Bibirku berkedut geli dengan tingkahnya. Ada apa denganmu? batinku.
"Dara."
Aku mendongakkan kepala saat Ryan memanggilku. Tatapannya kali ini sungguh berbeda dengan biasanya. Atau perasaanku saja yang aneh. Tapi kalau dilihat dari mimik wajahnya yang.....bagaimana aku mendeskripsikannya ya? Yeah...aku sering melihat mimik-mimik wajah seperti itu dalam film-film romantis. Tunggu dulu! Apakah ia akan menyatakan sesuatu kepadaku tentang...Ah, tidak mungkin.
"Bicara saja." Bisikku sambil meringis menahan rasa penasaranku. Aku melipat ujung buku yang tadi kubaca sebagai pertanda dimana aku harus mulai membaca lagi nanti. Kulipat kedua tanganku di atas meja dan siap-siap mendengar apa yang ingin dibicarakan Ryan.
Ryan menggeser tempat duduknya lebih merapat ke meja. Tatapannya tetap mengarah padaku.
"Kita sudah kenal cukup lama, hari dimana pertama kali aku bertemu denganmu di sini." Dia berhenti sejenak tanpa melewatkan sedetikpun untuk menoleh ke arah lain. "Sebenarnya aku tidak suka basa basi, tapi aku juga tidak ingin tiba-tiba saja membuatmu terkejut." Dia mengedikkan bahunya sekilas sambil tersenyum. Otakku sudah mengirimkan sinyal bahwa aku sudah bisa menebak ke arah mana pembicaraannya.
"Aku menyukaimu, Dara." Tak urung akupun terkejut dengan pernyataannya meski aku sudah tahu. "Aku ingin bisa lebih sering bersamamu. Menemanimu. Di sini, maupun di luar kampus. Dan aku..."
Tubuhku berjengit saat kedua telapak tangannya menarik tanganku dan menggenggamnya erat. Jantungku berdetak tak karuan. Tapi ada sesuatu yang berbeda. Aku tidak tahu apa yang membuatnya berbeda. Dan di saat seperti ini kenapa bayangan wajah Bara malah melintas di otakku?
"Aku tidak akan memaksamu untuk memberi jawabannya. Tapi aku berharap tidak mendengar penolakan darimu."
Aku hanya terdiam. Untung saja meja yang ada di seberang sana kosong. Kalau ada beberapa atau satu orang yang duduk di sana, aku pasti sudah melepas genggaman tangan Ryan. Malu kan?
**********
Dina menyembulkan wajahnya dari balik pintu. Dia segera masuk dan tak lupa menutup pintunya setelah aku menyuruhnya masuk. Wajah gadis itu tak seperti biasanya. Murung dan sedikit pucat. Pipinya nampak lembab. Sepertinya dia baru saja menangis.