Part 10

31.5K 1K 24
                                    

Aku menggeliat dengan malas dari balik selimut. Hari ini sebenarnya adalah hari libur setelah beberapa hari berkutat dengan segala pelajaran karena ujian semester yang sedikit menekan otakku. Beberapa mahasiswa yang kebetulan berasal dari luar kota atau pulau pasti menantikan liburan ini dengan girang. Pulang kampung. Begitulah yang mereka teriakkan saat keluar dari gedung kampus yang mungkin untuk beberapa hari akan nampak lengang tak berpenghuni.

Tapi tidak denganku. Aku sudah memberitahukan pada ibu kalau aku tidak bisa pulang untuk liburan semester ini karena aku harus mengajar les privat. Terdengar desahan kecewa dari mulut ibu saat aku menelponnya kemarin. Tapi beliau tidak bisa berbuat banyak dan memaklumi keadaanku. Aku menarik napasku dengan berat menahan airmata yang mulai menggenang saat mendengar suaranya. Kerinduan itu begitu menyesakkan dada. Rindu bertemu ayah dan ibu serta Tyo, adikku.

Aku menggeliat sekali lagi dan mulai turun dari ranjang, melipat selimut yang tadi menghangatkan tubuhku. Bermalas-malasan sebenarnya bukanlah sifatku, tapi mengajar les aku lakukan di sore hari hingga aku tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk bisa tidur lebih lama dari biasanya.

Jam 07.30 saat aku lirik jam weker di atas lemari kecil. Aku membuka pintu kamar dan beranjak keluar. Melirik sekilas di kamar sebelah. Masih tertutup rapat. Tidak pulang lagi? batinku.

Aku melihat kamar-kamar lain yang juga masih tertutup rapat. 6 orang dari 10 penghuni kamar kos dimana aku tinggal sudah pulang kampung sejak kemarin. Hanya tinggal aku, Dina, mbak Isma dan Rani. Dua orang yang aku sebut terakhir bukanlah anak kuliahan seperti aku dan Dina. Mereka sudah bekerja dan menjadi senior di tempat kos ini. Mereka sangat baik dan aku menyukainya.

"Dara..."

Suara mbak Isma membuatku memalingkan wajah mencari sosoknya yang tengah berdiri di depan pintu kamarnya. Tingginya di atas rata-rata tinggi tubuh kami yang mungkin hanya mencapai 155 cm hingga 160 cm saja. Menurutku dia lebih cocok menjadi seorang peragawati yang berlenggak-lenggok di atas catwalk ketimbang berada di kos murahan ini. Kulitnya kuning langsat meski wajahnya tak secantik Dian Sastro.

"Kau ada acara?" Tanyanya sembari menyandarkan sisi tubuhnya di tembok. Aku hanya menggeleng. Lalu wajahnya berubah, terlihat dari senyumnya yang mengembang lebar. "Bagaimana kalau kita bikin rujak manis?" Tawarnya sembari berjalan kearahku.

Aku sedikit terkejut dengan tawarannya. Pagi-pagi bikin rujak manis? Tapi bukankah itu mengasyikkan?

"Aku masuk siang, jadi aku bisanya cuma pagi saja. Bagaimana?" Katanya menjawab keterkejutanku.

"Ah, baiklah." Jawabku antusias. Lalu aku melirik sekilas kamar di sebelahku. "Tapi apakah hanya kita berdua?"

Mbak Isma menggeleng. 

"Raniiiiii....." Teriaknya dengan suara lantang sampai-sampai aku menutup telinga dengan kedua tanganku sambil meringis mendengar suaranya yang menggelegar memenuhi rumah.

Tak berapa lama yang dipanggilpun keluar dari kamarnya dengan menguap lebar.

"Ada apa sih teriak-teriak?" Tanya Rani masih dengan mata setengah terpejam berjalan ke arah kami.

"Aku dan Dara mau bikin rujak manis. Kau ikut tidak?" Tanya mbak Isma.

Kedua mata Rani langsung terbuka lebar. "Rujak manis? Mau dong, kapan?" Tanyanya antusias.

"Tentu saja sekarang. Kapan lagi? Kita urunan yuk?" Jawab mbak Isma yang langsung membuat kami bertiga melesat pergi ke kamar masing-masing untuk mengambil uang.

"Dara. Kau yang belanja buah ya? Aku dan Rani yang bikin bumbunya." Instruksi mbak Isma yang kujawab dengan menganggukkan kepalaku.

"Apa saja yang musti kubeli?" Tanyaku.

Saat rasa itu datangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang