Part 3

40.2K 1.2K 17
                                    

Hai all readers......

Terima kasih ya yang sudah kasih vote dan komennya. Semoga cerita ini gak bikin bosen. Dan tetep jangan lupa untuk kritik dan sarannya. Karena kalianlah aku jadi semangat untuk menulis cerita meskipun gak bagus-bagus amat seperti author2 lain yg udah hebat nulisnya.

Jangan lupa ya.....

Votenya.....

Komennya............

Enjoy reading guysssss.................

*****************************************************************

Saat laki-laki itu menyebut dirinya adalah Bara, hal pertama yang ada dalam otakku bukanlah semua hal tentang fisik laki-laki itu yang telah diceritakan oleh Sinta tadi pagi. Sosok yang tampan, keren, kaya, dan entah apalagi sebutan untuk laki-laki itu. Bukan. Melainkan sikapnya yang sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah sedikitpun dari raut wajahnya.

Aku menelengkan wajahku, menatapnya dengan terkejut. 

"Oh, jadi kau pemilik mobil merah itu." ujarku sinis. Aku menghela napas kesal. "Tidak bisakah kau lebih menghargai kami, para pengguna jalan lain? Lihatlah, apa yang telah kau perbuat padaku!" Aku berkata sembari menunjuk ke tubuhku sendiri, memperlihatkan bajuku yang masih nampak kotor terkena cipratan air bercampur tanah.

Bara memandang bajuku lalu beralih ke wajahku. Sudut bibirnya ditarik ke atas.

"Ah, kasihan sekali kau." katanya lalu tertawa tertahan.

Aku menatapnya dengan kesal. Apalagi aku juga mendengar tawa gadis yang bersama Bara. 

"Bukannya minta maaf, kau malah menertawakanku?" dengusku.

Bibir laki-laki itu masih berkedut-kedut menahan tawa.

"Salahmu sendiri kenapa kau berjalan kaki. Bukankah lebih baik kau naik mobil supaya kau tidak seperti ini?" 

Kata-kata Bara itu membuatku mengernyitkan dahi. Kau pikir aku ini orang kaya sepertimu? Kemana-mana naik mobil? Bah! Sombong sekali kau! Gerutuku dalam hati. 

"Dia itu bukan level kita, sayang. Lihat saja tampang culunnya itu." Sahut gadis itu sambil berjalan mendekati Bara lalu melingkarkan sebelah tangannya ke pinggang laki-laki itu. 

Cih! Benar-benar tidak tahu malu.

Aku memandang mereka muak. Apalagi gadis itu. Benar-benar tidak tahu malu. Tidak tahu etika. Dan laki-laki itupun nampaknya sama saja dengan gadis itu. Apakah kelakuan orang-orang kaya seperti itu? Tapi aku bukanlah gadis lemah seperti sangkaan mereka. Aku mendongakkan wajahku memandang mereka. Entah darimana datangnya keberanian itu. Selama ini aku tidak pernah berdebat dengan orang lain hanya karena masalah sepele. Mungkin karena masalah harga diri. Yeah, mungkin saja.

"Aku memang tidak selevel dengan kalian. Tapi setidaknya aku lebih tahu etika dari pada kalian." Ucapku tanpa ragu sedikitpun dan rupanya malah membuat wajah gadis itu memerah.

Gadis itu melepas tangannya dari pinggang Bara lalu mendekatiku dan menatapku dengan tajam. Aku tak bergeming.

"Kau tahu apa soal etika, hah? Kau itu cuma gadis miskin." Geram gadis itu dengan menggertakkan rahangnya. Kedua tangannya berkacak pinggang sambil mencondongkan tubuhnya ke arahku. 

Untuk urusan soal kaya atau miskin, rasa-rasanya aku harus membela diri. Tidak seharusnya gadis itu membedakan orang lain karena taraf hidupnya. Aku heran, dimanakah mereka belajar soal etika selama ini? Apakah orang tuanya tak pernah mengajarinya di rumah? 

Saat rasa itu datangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang