Part 14

25.9K 1.1K 60
                                    

Hi readers.............

Maaf ya kalo sering telat upload. Kadang2 idenya mampet. Udah ditulis, gak cocok. Nulis lagi, gak cocok lagi. Jadi...harap para readers semuanya untuk bersabar ya??? Do'ain aja next chap nya cepet upload, tapi gak janji....*kabuuuuur*

Dan seperti biasa, author juga butuh VOTE dan KOMENT nya. Kritik paling pedes pun juga mau...supaya tau kesalahannya di mana.

Oke guysssss just enjoy reading yaaaaaaaaaaaa

***************************************************************

Police line berwarna kuning itu kini membentang mengelilingi rumah kos yang aku tempati. Sekitar 2-3 polisi nampak mondar-mandir di dalam rumah itu. Aku tidak tahu pasti apa saja yang mereka kerjakan. Kilatan blitz nampak berkedip-kedip dari kamar Dina. Proses evakuasi hampir selesai tapi aku sudah tidak kuat berdiri.

Aku masih sesenggukan dan berpelukan dengan mbak Isma di halaman depan rumah penduduk yang terletak di depan tempat kos kami. Pemilik rumah itu sudah berbaik hati memberi kami teh hangat untuk sekedar mengurangi rasa shock kami. 

Ada banyak orang di sini. Mereka berhamburan datang ke tempat kami saat mendengar kami berteriak histeris. Kini mereka hanya menyaksikan proses evakuasi itu dari kejauhan. Sebuah mobil ambulance sudah terparkir di depan. 2 perawat laki-laki masuk sambil mendorong brankar ambulance ke dalam untuk mengambil jasad Dina.

Aku hanya bisa memejamkan mataku dan menundukkan wajahku dalam-dalam saat jasad Dina yang terbujur kaku, tergolek tak berdaya di atas brankar dengan kain putih yang menutupi sekujur tubuhnya, yang kini siap dimasukkan ke dalam mobil ambulance.

"Dina........."

Aku dan mbak Isma hanya bisa memanggil namanya dalam bisikan. Airmata kami kembali meleleh. Seorang polisi berjalan menghampiri kami. Aku berusaha untuk menghentikan airmataku dengan mengusapnya memakai punggung tanganku tapi tak berhasil. Cairan bening itu masih saja turun di pipiku. 

"Maaf mbak. Saya ingin bicara sebentar." Kata pak polisi itu dengan sopan tapi tegas.

Mbak Isma melepas pelukannya dan berdiri di hadapan polisi itu.

"Ada yang bisa saya...eh kami bantu, pak?" 

Polisi itu tersenyum. "Proses evakuasi sudah selesai. Mohon anda berdua ikut kami ke kantor polisi."

Aku mendongakkan wajah terkejut.

"Tapi pak. Untuk apa kami ke sana?" Tanyaku dengan suara bergetar.

Kini polisi itu ganti memandangku masih dengan tersenyum.

"Jangan takut. Kami hanya meminta keterangan dari anda berdua tentang kematian teman anda itu."

Aku dan mbak Isma bernapas lega dan mengiyakan ajakan polisi itu.

************

Beberapa hari ini membuatku lelah luar biasa. Untunglah kasus kematian Dina sudah selesai diusut. Dina melakukan bunuh diri dengan menenggak racun pembunuh serangga 2 jam sebelum ditemukan tewas di kamarnya. Yang lebih menyedihkan, tentu saja janin yang ada diperutnya juga ikut tewas. 

Ibunya meraung-raung menangisi jasad Dina saat berada di rumah sakit selesai diotopsi. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Saat ini yang ingin aku lakukan adalah bertemu dengan orang yang harus bertanggung jawab dengan semua ini.

Tubuhku menegang, menahan kemarahan tak terkira dalam dadaku. Tangan kananku mengepal erat hingga membuat sebuah foto polaroid yang aku genggam terancam kusut. Aku menundukkan wajahku, melihat sekali lagi wajah yang ada di foto itu. 

Saat rasa itu datangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang