Chap 2 - hidup penuh rintangan

101 85 111
                                    


"Kak Hesti!" teriak salah satu anak muridnya yang membuat Hesti menoleh dengan cepat karena sedikit terkejut. Hesti berlari dengan segera setelah melihat Jandu yang teriak tadi terjatuh. Teman-teman yang lain hanya mengerubungi tanpa niat menolong.

Hesti segera mengangkat tubuh Jandu yang masih tergeletak di atas tanah. Wajah Hesti menunjukan kepanikan yang sangat dominan, Jandu yang tadinya hanya diam setelah melihat wajah panik Hesti menjadi menangis dengan kuat. Teman-teman yang lain pun ikut panik bahkan berlarian-tanpa arah.

Hesti menggaruk rambut kepalanya dengan bingung, dia berusaha mengecek keadaan Jandu untuk memastikan bahwa anak itu baik-baik saja setelah terjatuh.

"Jandu nggak apa-apa kan? ada yang luka nggak?" tanya Hesti dengan sebisa mungkin lembut dan pelan, walaupun nadanya sedikit meninggi. Jandu menggeleng tapi masih sedikit terisak karena tangsian kuatnya tadi. Siti yang melihat kegaduhan tersebut berusaha membantu Jandu untuk Hesti.

"Jandu nggak apa-apa Kak." Bukan Jandu yang menjawab itu. Melainkan, Siti mencoba menenangkan Jandu dengan mengatakan hal itu pada Hesti. Siti memegang tangan Hesti, mengisyaratkan untuk menjawab yang bisa membuat Jandu reda dari tangisnya.

Hesti mengerti isyarat itu, dia mengangguk dan memeluk Jandu dengan erat terisak dipelukan Hesti, punggung jandu di elus dengan pelan. Teman-teman Jandu pun yang tadinya hanya melihat saja mulai mendekati mereka berdua dan satu-persatu mengatakan obat penenang jandu.

Hesti tersenyum dengan lembut, hatinya terguncang. Sejak dulu dia tidak tau rasanya bagaimana menyanyangi dan disayangi.

Tapi, semenjak dia mulai memasuki dunia baru dan mengenal mereka, Dunia yang awalnya dijalaninya dengan enggan dan seadanya kini dia mulai nyaman, apalagi mereka anak-anak polos yang diusianya sekarang sangat membutuhkan seseorang untuk memberikan pengajaran dan sedikit ilmu yang Hesti punya, untuk bagaimana cara menjalani hidup yang baik. Mereka hanya korban-korban para orang tua yang tidak bertanggung jawab dan orangtua yang harus meninggalkan mereka karena takdir.

Hesti mengangkat kepala jandu dan mengusap air mata yang sudah mereda itu.

"Jandu, jangan nangis ya. Ayo, usap air matanya. Jandu kan cowok jadi, jandu kuat ..." ujarnya dengan nada semangat dan senyuman hangat, teman-teman yang lain mengiyakan sambil melompat dengan riang. Jandu menganguk lalu ikut lompat dengan riang, melupakan rasa sakit yang mendera dibadannya tadi. Hesti berdiri, membersihkan celana panjang nya dan berjalan mengambil tasnya yang disandarkannya pada kursi kayu.

"Kakak pulang ya." Mereka yang tadi sibuk lompat riang mulai menoleh pada Hesti dan menghampiri gadis bertubuh tambun itu. Angin sore itu bersemilir membuat rambut panjangnya beterbangan mengikuti arah angin berhembus. Satu per-satu kakinya dipeluk oleh anak-anak itu sebagai salam perpisahan.

"Tapi kakak kesini lagi kan nanti?" Hesti mengangguk dengan pasti.

"Hati-hati ya kak."

"Jangan kenceng-kenceng larinya."

"Kenapa?" tanya Hesti dengan usil.

"Nanti kakak jatuh kayak Jandu, siapa yang mau angkat kakak?" Hesti tergelak, jawaban tanpa pikir panjang lagi. Polos yang sebenarnya. Tertawaan itu terdengar, mereka menikmati gelak tawa atas tidak langsung menahan Hesti yang berbadan besar.

***

Tangannya bergerilia dengan lincah diatas keybord laptopnya, tugas yang membuatnya harus menyelesaikan dengan cepat dan segera. Dia lupa jika minggu kemarin diberi tugas oleh dosennya dan baru malam ini dia berusaha dengan cepat untuk menyelesaikan semuanya.

Tangannya aktif membuat kata perkata asalkan nyambung dibaca, tangan satunya menyomot keripik singkong yang dibelinya tadi di supermarket terdekat. Dia sudah men-stok banyak jajanan untuk menenamaninya bermain pada kata-kata dan menonton oppa - oppa kesayangannya.

Hey, I'm Yours - ON GOINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang