Prolog

137 17 5
                                        

Bagaimana jika apa yang kau lihat,  ditentukan oleh keberadaan Soulmate mu?

Bukankah romantis?  Atau justru...  Menyebalkan?

Yamada Ryosuke, di tahun kedua nya di universitas, akhirnya punya dugaan atas penyakit yang sedari dulu membebaninya. Penyakit buta warna yang tiba-tiba dideritanya di masa remaja, yang dokter bahkan tidak menemukan sebab nya karena tidak ada yang abnormal dari matanya. Dia bahkan sampai melakukan scan pada otaknya dan dokter tetap tidak menemukan apapun. Mereka berasumsi mungkin ada hal psikologis yang mempengaruhi mentalnya yang menyebabkannya buta warna.  Atau begitulah Ryosuke mempercayainya selama bertahun tahun.

Namun setelah bertemu dengan Chinen Yuri,  teman satu jurusannya yang suka sekali dengan hal-hal mistis dan abstrak, Ryosuke akhirnya memiliki dugaan atas penyebab buta warna nya.

Soulmate.

Begitulah yang tertera di buku yang Yuri pinjamkan padanya. Mereka bilang jika dikehidupan yang lalu kau terikat amat kuat dengan kekasihmu, dan merapal janji untuk kembali bertemu.  Maka ikatan soulmate itu akan mengingatmu dan kekasihmu dikehidupan selanjutnya. Ikatan itupun memiliki berbagai macam bentuk.  Salah satunya,  buta warna.

Jika mau meromantisasinya,  mereka bilang hidup tanpa soulmate mu seperti hidup tanpa warna. Semua terasa mirip seperti tinggal pada spektrum abu abu.  Seperti dunia yang Ryosuke lihat saat ini.  Abu abu,  tanpa warna, dia sudah lupa warna langit yang dulu sempat ia lihat.  Dia sudah lupa sebanyak apa warna di dunia yang di tinggalinya.

Bagaimana cara menyembuhkannya?  Bertemu dengan soulmate mu.  Semudah itu.

Romantis?

Dari sisi mana kelemahan seperti buta warna terdengar romantis?  Maaf saja tapi Ryosuke sudah melalui banyak kemalangan dan susah payah dalam menjalani hidup karena buta warna nya.  Contoh paling sederhana nya saja dalam memilih jurusan kuliahnya,  pilihannya tentu saja menyusut drastis jika harus memasukkan ketentuan mata normal.

Tapi setidaknya kini ada kecerahan atas penyakitnya. Dia masih belum sepenuhnya bisa mempercayainya.  Hal-hal seperti soulmate dan kehidupan sebelumnya terdengar terlalu abstrak untuknya. Seolah yang seperti itu hanya ada dalam fiksi belaka. Tidak mungkin ada di kehidupan sesungguhnya apalagi hidupnya sendiri.

Tapi beberapa tahun tak menemukan jawaban atas penyakitnya.  Dia hanya bisa mempercayainya untuk saat ini.

Setidaknya,  jika memang benar.  Maka dia harus menemukannya, soulmate nya.

Ryosuke berhenti sejenak,  menatap sekitarnya. Ia kini ada di perempatan paling ramai di dekat universitasnya.  Orang orang menunggu lampu pejalan kaki berubah hijau,  sementara Ryosuke menunggu orang-orang untuk menyeberang. Itu tidak tidak seperti dia tidak bisa melihat traffic light. Meskipun dia tidak bisa membedakannya secara warna merah kuning hijau, tapi karena setiap warna memiliki saturasi yang berbeda, dia masih bisa membedakannya. Hanya saja dia lebih suka memilih mengandalkan sekitarnya daripada penglihatannya sendiri. Rasanya,  lebih aman dari pada mengandalkan matanya.

Satu detik, dua detik, Ryosuke menatap sekitarnya.  Berfikir, apakah jika dari sekian orang dihadapannya, salah satunya adalah Soulmate nya. Tapi ada sekian banyak orang di bumi ini,  terlalu banyak sampai rasanya dia ingin menyerah sejak awal.  Bagaimana jika soulmate nya bukan orang Jepang?  Atau bahkan jika Soulmate nya bukan dari satu universitas dengannya kemungkinannya untuk bertemu sudah amat kecil.

Ryosuke menghela nafas. Orang-orang mulai menyebrang jalan,  dia mengikuti kerumunan.

Bruk!

"Aa--gomen." seseorang segera meminta maaf setelah tidak sengaja menabrak pundaknya. Dia tampak tergesa dengan tas kamera di pundaknya. Tangannya penuh membawa tripod kamera. Ryosuke hanya mengangguk pendek, mata mereka bertemu sedetik, ia berjalan pergi sebelum lampu berubah merah.

Ryosuke melirik traffic light, masih hijau. Dia masih punya waktu untuk untuk menyeberang. Kondisi buta warna nya memang membuat nya selalu was-was ketika menyeberang---

"Huh?"

Masih hijau?

Ryosuke membelalak,  kembali melihat ke traffic light. Hijau.

Dia melihatnya, hijau.

Pemuda itu sampai di seberang jalan.  Sebelum melihat sekitar.  Manik matanya masih membebelalak tak percaya.

"Huh?"

Ketika sadar, pemuda itu segera membalik badannya,  mencari keberadaan pemuda yang tadi menabaraknya. Sama hal nya dengannya,  di seberang sana pemuda itu berhenti, tertegun.  Menatap kearahnya dengan tatapan yang sama dengannya,  tidak percaya.

Traffic light berubah warna, kendaraan mulai berlalu lalang dan orang-orang yang tadi nya menyeberang sudah pergi dari sana.  Menyisakan satu dua yang akan menyeberang di giliran selanjutnya.

Ryosuke masih mematung disana.  Sama hal nya pemuda jangkung diseberang sana.  Jantungnya berdegup begitu cepat, dari rasa penasaran dan kaget. Kakinya seolah bisa berlari kapanpun keseberang sana.

Sebelum,  kesadaran mengambilnya.

"Ah, " apa yang dilakukannya? Jika orang yang diseberang sana memang soulmate nya...  jadi apa?  Mereka mungkin menjalin kasih di kehidupan yang lalu, tapi bukan berarti mereka harus bersama kembali bukan.  Lagi pula dia tidak mengenalnya. Dan matanya...  sudah kembali normal. Dia tidak punya urusan dengan sesuatu bernama soulmate lagi.

Ryosuke menghela nafas.

.

.

.

Haruskah dia berjalan ke seberang?  Atau pergi dari sana begitu saja?

The Eyes and The HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang