Chapter 8

103 10 7
                                    

Jika menjadi buta warna adalah karena takdirnya. Maka Ryosuke tidak pernah menyukai takdirnya.

Bertemu dengan Yuto, dia mulai percaya tentang hal abstrak bernama takdir. Namun di saat yang sama, dia juga merasa betapa takdirnya mempermainkannya. Untuk kehilangan warna dunia hanya karena sesuatu bernama soulmate. Untuk mengalami segala perjuangan hidup hanya karena soulmate yang bahkan dia tidak tau siapa, tidak kenal siapa, tidak tahu seperti apa rupa dan sifatnya. Untuk jatuh cinta pada orang yang menggenggam warna dunianya. Bukankah takdir terlalu lucu.

Cinta tidak seharusnya ditentukan oleh hal bodoh seperti itu. Dia tidak pernah percaya cinta pada pandangan pertama. Baginya sesuatu sepenting rasa cinta adalah sesuatu yang perlahan ada dan kau sadari. Bukan sesuatu yang tiba-tiba ada dan memenuhi.

Untuk sesuatu bernama takdir menentukan siapa yang akan jatuh cinta padanya, siapa yang akan dia cintai. Seolah dia akan tau dalam sekali lihat bahwa orang itu ditakdirkan untuknya. Menurutnya hal seperti itu sangatlah bodoh. Dia tidak ingin jatuh cinta hanya karena 'soulmate'-nya mengembalikan warna dunia nya. Hanya karena takdir tentukan untuknya.

Untuk itu dia tidak bisa mempercayai rasa suka Yuto padanya. Menurutnya Yuto hanya kebingungan, dibutakan oleh kebahagiaan ketika warna dunia kembali padanya.

Ryosuke akui dia sangat bahagia ketika dia kembali bisa melihat warna. Saking bahagianya sampai dia tidak bisa mempercayainya, berkali-kali berharap bahwa itu bukanlah mimpi. Perasaan itu sangat menggebu-gebu, memenuhi dadanya hingga terasa penuh.

Namun untuk jatuh cinta, untuk menafsirkan perasaan itu sebagai cinta. Rasanya berlebihan.

Apakah Yuto menarik?

Ya. Dia sangat menarik. Parasnya sangat tampan, yang lagi-lagi walaupun Ryosuke juga laki-laki, harus diakuinya memang Yuto terlalu tampan. Badannya yang tinggi juga sangat proporsional yang kadang Ryosuke tak bisa menahan untuk tidak melirik sekali lagi pada tinggi pemuda itu.

Yuto juga asik diajak bicara dan punya sense humor yang sejalan dengannya. Sikapnya menarik sampai Ryosuke tidak mengerti kenapa Yuto tidak punya pacar. Jika dia yang suka main-main dan melucu seperti itu, bukankah gadis-gadis akan mengejar-ngejarnya. Ditambah dengan parasnya, bukankah dia ada di ranking terbaik untuk ingin dijadikan kekasih.

"Aku menyukaimu."

Itu lagi.

Berhenti Yuto.

Yang kau rasakan mungkin bukan cinta.

Ingin sekali Ryosuke mengatakannya, membuat Yuto paham tentang kesalahpahamannya. Tapi menolak seseorang dan menolak perasaan seseorang adalah dua hal yang berbeda. Menolak pernyataan Yuto berarti dia tidak menyukai Yuto. Tapi menolak perasaan Yuto seperti yang dilakukannya sekarang, mengatakan bahwa perasaannya salah, bukankah itu terlalu menyakitkan.

Jadi Ryosuke hanya diam. Berharap dengan dia menolaknya, suatu saat Yuto akan sadar dengan sendirinya.

Setidaknya itulah yang dipikirkannya.

Setidaknya itulah yang dipikirkannya sampai dia mengantar Yuto pulang kemarin.

Detik ketika Ryosuke menyalakan lampu apartemen Yuto. Pemuda chubby itu membeku di tempat. Tangannya yang digunakannya untuk membantu menopang Yuto mulai gemetar.

Entah berapa menit dia hanya berdiri diam, memandang entah berapa banyak foto tergantung di apartemen Yuto.

Ketika sadar pemuda chubby itu segera membantu Yuto ke tempat tidurnya. Jantungnya berdegup kencang. Setelah memastikan Yuto masih tertidur, dia berjalan cepat, hendak segera keluar dari apartemen.

The Eyes and The HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang