-Ada saat kita harus melawan, dan saat dimana semua harus dipendam.-
- - -
Kring Kring Kring
Jam waker mini milik seorang gadis berambut panjang dengan postur badan mungil berdering diatas meja kecil yang terletak disamping ranjangnya.
Ia menggeliat sambil mengerdip kan matanya berulang-ulang.
"Ini kenapa baju-baju kamu belum dicuci?!"
"Punya anak gak ada yang bisa di andelin!!"
Risa menghela nafas panjang ketika mendengar omel-omelan Ibunya pagi itu. Tanpa lama-lama, ia merapikan tempat tidurnya dan langsung bergegas keluar kamar untuk mandi dan pergi ke sekolah.
"Risa kamu anak saya perempuan satu-satunya! Bisa gak sih bahagiain saya sekali aja?! Jangan kayak abang-abangmu itu! Kerjanya makan tidur mulu. Saya capek cari duit diluar sana buat makan kalian disini malah duduk manis aja!" omel Rina membuat Risa cuma bisa mengangguk pelan. Sebelum kemudian berjalan kembali ke kamar mandi.
Tok! Tok! Tok!
"Bentar, lagi mandi!" sahut suara dari dalam kamar mandi.
"Geri! Cepetan aku juga mau mandi!" teriak Risa sambil menggedor-gedor pintu.
Pintu terbuka menyisakan Geri dengan seragam putih abu nya. Dengan cepat Risa pun mendorong Geri agar tak menghalangi jalan.
"Uhuk! Uhuk! Uhuk!"
"Geri kenapa bau ro--"
"Sst! Diem ntar Ibu denger!" desis Geri sambil membungkam mulut Risa.
- - -
"Evan, gimana kamu? Udah niat sekolah?" singgung Rina pasal anak sulungnya yang sangat bebal itu.
"Bisa gak sih Ibu gak bahas itu?" jawab Evan sambil menatap kosong kebawah.
"Makanya jadi anak tau diri dikit, Evan! Disekolahin gak mau malah bolos aja kerjanya!"
"Ya terus gimana Bu? Untuk apa saya sekolah kalau saya gak niat? Sama aja buang uang Ibu." jelasnya lirih.
"Evan! Ibu gak pernah kurang buat menuhin semua kebutuhan kalian!" bantah Rina sambil menggeplak meja keras.
"Kenapa siiih Ibu egois?" Evan memelas.
"A-apa? Hahah kamu bilang saya egois?"
Plak!
Satu tamparan mendarat dipipi kanan Evan. "Evan kamu anak paling besar, kasih contoh buat adik-adikmu! Jangan hidupnya bengong aja!" Evan hanya diam, melawan pun percuma. Ibu nya itu selalu saja merasa paling benar.
"Kevin Dimas Geri apalagi kamu Risa. Kamu itu anak perempuan satu-satunya dikeluarga ini! Angkat derajat Ibu Bapak naak!" lirih Rina bola matanya tergenang air.
"Kita bukan keluarga kaya. Mikir."
"Bertahun-tahun Ibu nanggung sakitnya kehidupan. Apa diantara kalian gak ada niat buat ngangkat sedikit aja derajat keluarga ini?!"
"Kalian liat anak Bu Ziva! Pada sukses! Ada yang jadi dokter, tentara, bea cukai!"
"Bisa gak sih Ibu gak banding-bandingin kita?! Kita juga gak mau hidup susah, Bu! Dari segi ekonomi juga kita gak mendukung! Ibu mau maksa?!"
"Setidak nya kamu bisa jadi sarjana! Terserah mau kerja apa. Dari pada kerja dibengkel mu itu?! Buang-buang waktu! Seharusnya dari dulu kamu sekolah!!"
"EMANG IBU PUNYA UANG?!" bentak Evan keras.
Hening. Tak ada jawaban. Rina pun bungkam dan sekarang lagi dan lagi ada genangan dimatanya.
"Kalian gak pernah belajar dari kesalahan. Bapak kalian juga begitu! Sekarang apa?! Susah!!" Setelah itu Rina melenggang pergi tak tau kemana. Risa meringis tatkala tadi Ibu nya menampar abangnya itu.
Evan mengatur nafasnya yang tak teratur. Ia melirik kepada adik-adiknya yang diam ketakutan.
"Makan. Jangan sisa, terus berangkat. Jangan ada yang bolos sekolah! Awas aja." ujar Evan.
- - -
Sampai di pertigaan. Kevin dan Dimas berbelok kesimpang sebelah kanan, Geri dan Risa berbelok kesimpang sebelah kiri.
Sebelah kanan adalah SMK Putra Bangsa yang menjadi sekolah Kevin dan Dimas. Hanya Geri dan Risa yang dimasukkan ke SMA yaitu, SMA Bagaskara.
"Sekolah yang benar." ujar Geri ketika sampai di gerbang utama sekolah.
"Memangnya kamu mau pergi kemana?" tanya Risa sambil mengernyitkan dahi.
"Aku nggak bolos pokoknya," ujar Geri sambil berlari kearah belakang sekolah.
Risa menghela nafas panjang. Ia berjalan memasuki gerbang utama SMA Bagaskara. Sudah ramai.
"Bawakan tasku!" tas mendarat tepat dipelukan Risa.
"Mengapa saya harus membawakan tas mu?" Charoline jelas melotot dengan jawaban Risa.
"Berani sekali si cupu ini membantah." Charoline mengepalkan kuat tangannya.
"Kenapa senang sekali merundungku? Apa kamu juga diajarkan begitu oleh orang tua mu?"
"Berengseeeeek!!"
Plak!
"Sssh" erang Risa sambil memegangi pipi nya yang memerah.
"Bawa dia!"
- - -
Disinilah tempat yang sudah bosan Risa jalani. Setiap hari begitu, di rundung, di usik, di caci dan dimaki.
Mungkin bangku-bangku dalam gudang adalah saksi bisu perlakuan keji itu berlangsung.
"Heh orang miskin! Kamu bosan hidup, ya?" caci teman Charoline.
"Makanya kalau mau ngelawan liat-liat dulu orangnya!!" teman Charoline satunya lagi menimpali.
Giliran Charoline, "Harga diri kamu itu gak bakal ada kalau kamu terus bantah saya!" Air dingin mengalir dari ujung rambut sampai ujung kaki Risa. Charoline selalu menyiapkan jerigen berisi air untuk persiapan tatkala Risa berani berbuat sesuatu.
"Dasar haram! Bapak mu saja tak pernah menampakkan wajahnya di sekolah ini!" timpal Charoline sambil menendang Risa.
"Bapak saya masih ada!" bantah Risa karna kelemahannya dibawa-bawa. Risa sangat lemah jika bersangkut paut kepada orang tua.
"Tapi gak pernah ada bodoh!" geram Kirana teman Charoline sambil menjambak kepala Risa.
"Kata siapa?! Bapak saya masih ada!!" Risa terisak sambil terus membantah perkataan Charoline dkk.
Plak!
Plak!
Plak!
Plak!
"Rasakan bebal!" Satu detik sebelum tangan nakal itu kembali memberi serangan ke pipi Risa,
"Woi!"
- - -
See u next part!
Jangan lupa vote and coment ya!
KAMU SEDANG MEMBACA
AZARO
Ficção AdolescenteBenar-benar ajaib. Sekali jatuh aku nyaris larut seumur hidup. Hidupku benar-benar seperti bunga tak disiram air. Seperti bumi tanpa matahari, dan seperti malam tanpa bintang-bintang. Tak ada yang tinggal kecuali udara yang mengelus seluruh tubuhku...