"Allunaaaa," teriak seorang lelaki yang baru saja menghentikan motor sportnya di depan rumah kawannya. Ahmad Fajri Maleia, seorang mahasiswa di sebuah universitas ternama di kotanya. Postur tubuhnya yang tinggi dan atletis sedikit terlihat tidak seimbang dengan wajahnya yang tampan, tetapi menggemaskan.
"Tunggu, Jiii," sahut Alluna Kirania—sahabat Fajri sejak kecil, yang langkah kakinya terdengar seperti terburu-buru dari dalam rumahnya.
Alluna meraih helm dan sepatunya yang terletak di garasi rumahnya, kemudian memakainya secara bergantian.
"Hayuk atuh, Al," Fajri tidak ingin terlambat sampai kelas pagi ini. Berkali-kali ia melirik ke jam yang berada pergelangan tangannya, memastikan dirinya belum terlambat.
"Yuk," Alluna naik ke motor Fajri tanpa aba-aba, hampir saja mereka berdua jatuh kalau saja Fajri tidak terbiasa sigap dengan kelakuan Alluna yang selalu tiba-tiba.
"Kebiasaan," desis Fajri. Fajri mulai melajukan motornya meninggalkan pekarangan rumah Alluna.
"Al, ntar sore temenin gue di cafe lagi ya?" pinta Fajri. Fajri mengambil pekerjaan part-time di sebuah cafe, dan bukan hal yang baru Alluna dimintai Fajri untuk menemaninya. Yaa hitung-hitung sebagai balas budinya kepada Fajri karena selalu memberinya tumpangan.
"Siap, Jii, lo traktir gue ga?" jawabnya setengah bercanda.
"Satu gelas latte gulanya jangan kebanyakan sama mille crepes yang rasa red velvet gapake whipped cream tapi diganti sama cream cheese kan?" ucap Fajri panjang.
"Aji, gue bercanda anjir. Tapi bener nanti pesenin itu ya, sama lo mau apa ntar gue yang bayar kok,"
"Kesambet apa lo tiba-tiba mau nraktir gue?" ungkap Fajri curiga.
"Suudzon banget lo sama gue, Ji. Ya gapapa kali, lagian duit gue abisnya di lo juga,"
"Apaan abis di gue,"
"Iya makannya itu, gue kan gapernah bayarin bensin lo selama ini, jadi gue yang traktir lo makan hari ini, kalau perlu bensin bulan ini gue yang bayar, deal?" jelas Alluna.
"Boleh deh, asal lo ga keberatan aja,"
"Aduh, Ji. Lo kayak baru kenal gue aja hahaha,"
"Iya iya, All, makasih ya," ucap Fajri dengan senang hati sambil kembali fokus menyetir motornya.
Tak lama mereka berdua tiba di kampus, tepatnya di dekat gedung fakultas Alluna. Ah iya, aku belum memberitahu kalian. Alluna dan Fajri tidak mengambil jurusan yang sama, tapi karena kelas mereka pagi hari ini hanya berjarak sekitar 30 menit, Alluna mengiyakan ajakan Fajri untuk berangkat bersama.
"Lo kelar jam berapa?" tanya Fajri
"Jam 2 lebih deh kayanya, nanti gue kabarin lo deh," jawab Alluna saat melepas helmnya. "Jadwalnya di tas lupa ngecek," sambungnya sambil bercermin di spion Fajri untuk merapikan rambutnya.
"Yaudah jam 2 gue tunggu di kantin fakultas lo ya, gue udah bubaran jam segitu," Fajri meraih puncak kepala Alluna dan mengacak rambut Alluna gemas. "See ya, Al," Fajri mengambil helm Alluna dan mengaitkan di motornya sebelum meninggalkan Alluna.
"AJI LO NGESELIN BANGET, RAMBUT GUE UDAH RAPI TADI," kegiatan yang sia-sia bukan? Berteriak kepada Fajri, padahal Alluna tahu Fajri tidak akan semudah itu memutar balik motornya hanya untuk meminta maaf dan merapikan rambut Alluna. Alluna menghentakkan kakinya kesal, Ia pun buru-buru ke toilet untuk kembali merapikan rambutnya. "Udah hampir 15 tahun tapi tetep ngeselinnya gak berubah," gerutu Alluna.
***
Fajri memasuki ruangan kelasnya, dirinya menemukan Fiki duduk sambil memandangi selembar kertas. Fiki nampaknya sedang serius membaca isi kertas tersebut. Tak lama kemudian Fiki menyadari keberadaan Fajri.
"Ji," sapa Fiki. Fajri duduk di sebelah Fiki, kemudian menyilangkan tangannya dan menghadap ke Fiki, mengisyaratkan temannya ini boleh lanjut bicara."Ikutan gue yuk," lanjut Fiki sambil menyerahkan selembar brosur yang semula ada di tangannya kepada Fajri.
Di brosur tersebut tertulis "Komunitas Videografi" yang tentu saja berisikan kalimat bersifat promosi, syarat-syarat, serta tata cara pendaftaran untuk komunitas tersebut.
"Komunitas videografi?" Fiki mengangguk. "Lo salah orang deh, Fik, gue mana ada ikutan kaya gini?"
"Ayolah, Ji, biar gue ada temennya juga," ah Fajri jadi kesal harus berpikir untuk menuruti keinginan Fiki yang satu ini. Fiki meminta padanya dengan wajah yang cukup memelas, hingga Fajri menjadi tidak tega seketika.
Tiba-tiba saja Fajri teringat sesuatu,
"Lo nanti ikut ke cafe mau ga?" tanya Fajri.
"Ah lo jawab pertanyaan gue dulu kali, Ji,"
"Gue jawab lo, kalau lo ikut gue ke cafe. Gue gabisa jawab sekarang, lagian bentar lagi kelas mulai,"
"Iya deh nanti gue ikut lo," Fiki mengangguk pasrah. "Jam berapa? Langsung dari kampus kan,"
"Iya langsung aja," jawab Fajri. "Eh iya, nanti gue send alamat cafenya ke lo aja deh, soalnya gue nunggu temen yang mau nebeng,"
Fiki mengangguk paham. Sesuai prediksi Fajri, tidak lama setelah itu dosen mereka memasuki ruangan dan memulai kelas pagi ini.
***
Di seberang sana, Alluna masih saja menggerutu soal ulah Fajri. Padahal Fajri dan Alluna sudah sedekat itu, tapi entah rasanya mood Alluna kurang baik pagi ini. Sepertinya bukan soal Fajri, tapi ada sesuatu yang mengganjal hingga membuat moodnya cukup buruk.
Alluna menatap refleksinya di cermin toilet yang cukup besar itu. Melakukan kontak mata pada dirinya sendiri, seperti mencari jawaban di kepalanya.
"ASTAGA!" untung saja Alluna mengingatnya, semalam Ia tertidur dengan laptop yang menyala, sedangkan pekerjaannya juga belum selesai. Masih ada sekitar 30 menit sebelum kelasnya dimulai.
Alluna bergegas mencari tempat yang nyaman untuk melanjutkan pekerjaannya itu. Perpustakaan? Ah terlalu jauh, lagian juga harus hening di sana, Alluna tidak terlalu suka keheningan. Oke, tujuan selanjutnya adalah ke kantin. Bukan tempat yang cocok sih, tapi ya setidaknya Alluna dapat mengisi perutnya di sana.
[What If]
Haiii! Ketemu lagi di Bab 1. Gimana gimana? Belum kelihatan serunya ya hehe. Jangan lupa tinggalkan jejak ya. Aku juga nerima kritik dan saran kok. Sampai jumpa di bab selanjutnya!
—kaaye
KAMU SEDANG MEMBACA
What If | UN1TY
Hayran Kurgu[Slow Update] Terkadang dunia emang sebegitu bercandanya dengan kehidupan. Belum lagi ketika kamu sadar tentang kenyataan yang menyakitkan, dimana temanmu menginginkan hal yang lebih, orang yang kamu anggap kakak justru menjadikan dirimu objek obses...