Anak Filsafat, Bocah Manajemen

491 118 30
                                    

Akhirnya notifikasi itu datang.

Jihan Paramitha invited you to BISMILLAH PENSI!

Jihan Paramitha invited you to MANGAT DESIGN!

Tepat sebelum Katarina mebuka pintu rumah susun yang sudah ditinggalinya selama hampir separuh hidup, kepanitiaan pensi itu benar-benar menunjukkan bukti bahwa ia diterima. Puluhan hi dan salken para maba luncurkan layaknya itu berarti sesuatu. Katarina paham semua basa-basi manusia yang bahkan tidak akan menganggap ia ada; kating-kating haus pamor, adik tingkat calon budak. Menambah saja alasan letih sebelum masuk rumah.

Pintu itu dia geret pelan, mengikuti modelannya yang seperti pintu Jepang. Hanya terbuat dari plastik triplek hijau ringkih yang akan ambruk bila kena terpaan badai. Dia menjingkat, menuju kamarnya secepat dan sebisu yang dia bisa. Tidak sampai suara berat dari perokok akut merangkap raja rusun mengagetkannya dari belakang.

"Hoi. Udah pulang?"

Nafasnya mengeluh, akhirnya seluruh badan berdiri bosan. "Udah, Pah."

"Lama banget. Kan aku bilang gak usah main dulu, langsung pulang," komentar lelaki tambun itu tanpa mata minggat dari televisi dengan layar burik berisi siaran turnamen poker. Rokok di tangannya sudah habis, begitu juga tiga yang lain dalam asbak. Tangannya berwarna kuning, sisaan serbuk chiki jagung yang lebih cocok adiknya makan. Kenalkan, ini Ayah Katarina.

"Nggak main, kelasnya selesai agak lama," jawab si anak dingin.

"Oh," pria itu mendongak dari sofa tipisnya, menatap Katarina lewat ekor mata dengan malas, "Yaudah jangan lupa masak. Abis itu nyuci sama ngepel, lantai udah kotor."

"Mau istirahat du..."

"Itu kewajiban kamu, jangan banyak alesan," serbot sang ayah cepat, tangannya sudah kembali mematik korek untuk membakar puntung kelima rokok, "Kalau capek itu risiko, kan Papa udah bilang gak usah sekolah tinggi-tinggi. Nanti juga kamu balik lagi masuk dapur."

"Tapi Mama..."

"Mamamu perempuan gak bener."

Rahang Katarina mengeras, tinjunya mengepal. Dalam kepalanya ia sudah meninju lelaki itu berkali-kali, tapi di dunia nyata dia hanya menahan tangis saja. Kenalkan, ini keluarganya. Sedikit sulit untuk dihadapi namun cukup baik untuk membuatnya tetap hidup. Ayah seorang pengangguran dengan dua anak, tidak lagi bekerja setelah ketahuan mabuk saat jam dinas. Ibu yang tidak pernah ada di rumah karena sibuk menjadi tulang punggung keluarga, menyembunyikan malu dari jalur keterunannya yang kebanyakan sukses, tidak seperti dia. Seorang anak perempuan pertama yang mengambil alih peran sang Ibu sejak ia baru mengenal mimpi, dan adiknya—perlu ditambahkan seorang mantan anak ajaib—yang masuk kamp rehabilitasi karena kecanduan narkoba.

It's just Katarina and her father around, mostly. Entah itu hal yang menyenangkan atau penderitaan. Bila sang Ibu pulang atau adiknya ada di sini, pasti rumah jauh lebih ribut lagi. Dan akan lebih banyak piring pecah untuk ia sapu.

"Pah, kakinya angkat dikit," suruh Katarina pelan, hanya kali itu saja si Ayah menurut. Setelah mencucui piring, menjemur pakaian dan memasak, mengepel adalah jadwalnya. Si Ayah belum juga bergeming dari posisi awal, meski saluran sudah berganti dengan acara gosip tanah air. Entah sejak kapan Katarina mendapati ayahnya berinvestasi dalam acara tersebut.

"Kathy, besok bikin kue, ya. Teman-teman Papa mau datang."

Teman-teman yang dia maksud ini tentu penghuni rusun sebelah, lelaki-lelaki tua pengangguran yang bau rokok juga miras. Mereka biasa memutar musik keras-keras, melakukan turnamen judi, atau kalau punya pasokan; mengisap sabu selundupan para pemilik toko kelontong China. Malam yang sangat berisik, tidur pun sulit.

Ichan & Ina's Infinite PlaylistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang