BOOM!

479 103 30
                                    

Ikhsan harus merelakan tangannya dipenuhi bau bandot. Tumpukan daging kambing yang sudah dipotong-potong itu tidak bisa berpindah ke tusuk sate sendiri. Bila ia melalaikan tugas, lantas malam bakar-bakar mereka—Ikhsan dan teman-teman satu kelasnya saat SMA—tidak akan terlaksana. Perut-perut keroncongan itu perlu segera di isi.

"Bau banget anjrit," keluh Lukas, disampingnya sedang melakukan hal yang sama.

"Ya mau gimana lagi, Kas. Mending nusuk sate atau nyalain api?" tawar Revano, memberikan potongan-potongan daging yang baru saja menjadi dadu.

Lukas menunjuk si sate, sebuah konfirmasi bahwa ia akan berusaha bekerja lebih ikhlas.

Malam itu pesta bakar-bakar diadakan di rumah Mark, dalam rangka memperingati kambing babehnya yang baru beranak. Terdengar aneh memang untuk merayakan hal kecil tersebut, tapi Mark keburu menjawab, "Ya gapapa kalau kambing lahiran artinya keluarga gue dikasih rejeki kambing yang lebih banyak, makanya kita pesta. Apalah arti satu kambing kalau gantinya ada?'

Yang lain manggut-manggut saja, kemudian menyetujui konteks berkumpul. Toh, mereka memang tidak ada kerjaan. Beberapa masih menjalani masa gap-year, beberapa yang lain sudah magang, dan sisanya jadi maba. Hitung-hitung nostalgia masa SMA, sembari buang tenaga demi sate kambing gratis.

"Hoooi, hooi. Siapa tadi pesen es teh?" teriak Ariana sambil membopong satu ceret besar yang terisi penuh oleh minuman berwarna cokelat. Serempak para pria yang baru bekerja sedikit banyak omongnya mengaku. "Minum dulu, minum! Nanti lanjutin lagi kerjanya."

"Ahhh, seger!" komentar Desy, si perempuan dengan kepang dua, setelah meneguk segelas.

"Enak, Ri. Tapi kurang manis," tambah Abin, lelaki si pemegang kipas sate.

"Biar manis liatin gue, Bin," sahut Ariana.

"Dih? Males."

Mereka sejenak berkumpul di tengah es teh dan Ariana, mengobrol untuk menambah alasan menunda pekerjaan. Lukas yang tadi berteriak kelaparan pun tidak lagi menunjukkan sifat loyonya; sudah pergi jauh ditelan bersamaan dengan si es teh.

"Eh, Chan. Lo gak mau minum dulu apa?" celetukan Abin membuat semua menoleh. Hanya Ikhsan sendiri yang masih berjongkok di lantai semen teras sambil menusuk-nusuk sate.

"Gak usah, gak aus," jawabnya sambil tersenyum, dengan telaten mengerjakan daging-daging itu sampai separuhnya selesai. "Kas, dari pada lo ngobrol mulu mending bantuin gue. Mau makan kagak?"

Lukas menjatuhkan pundak, kembali loyo. "Iya, iya. Gue bantuin dah." Langkah gontai itu menuntun sampai sisi Ikhsan juga.

"Chan, bener gak haus?" tanya Ariana memastikan.

"Beneeeer," jawab Ikhsan yakin.

"Ih, tapi nanti kalau lo gak minum, es tehnya keburu habis sama Vano."

"Lah, kok gue mulu?" jawab yang punya nama, menenggak es teh ketiganya.

"Ya lo liat aja dong, No. Itu perut udah gelembung air semua," tambah Desy sambil menepuk lemak Vano yang ikut bergoyang.

Ikhsan terkekeh, kemudian menyahut santai, "Habisin aja, gapapa. Gue nanti minum aqua."

"Yah, Chan. Jangan gitu dong! Satu minum ya minum semua," tutur Ariana. Dengan es teh yang tersisa Ariana mengisi penuh gelas bening, kemudian memasukkan sedotan. Ia mendatangi Ikhsan dan ikut merjongkok di sebelahnya, tidak peduli dengan bau kambing yang sempat dihindari beberapa saat lalu. "Nih, ayo diminum."

"Gak usah, Ri. Tangan gue masih bau kambing," elak Ikhsan lancar.

"Ih, minuum!" paksa Ariana.

"Enggaaaak. Bau ini tangan tuh... bau." Ikhsan mendorong si gelas menjauh dari wajahnya, dan mendekatkan sumber aroma tidak sedap itu mendekat pada sang perempuan setengah bercanda.

Ichan & Ina's Infinite PlaylistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang