Jomblo Dilarang Masuk!

878 134 21
                                    

Undang-undang Universitas Sabda Palon Pasal 11 Ayat 2 berbunyi, "Setiap mahasiswa dilarang menunjukan bentuk afeksi antara lawan jenis yang membuat masyarakat resah di wilayah kampus." Namun, ketika Hari Kasih Sayang telah datang, peraturan itu seperti tidak berlaku.

Mungkin 14 Februari adalah satu-satunya hari dimana mereka yang mempunyai hubungan spesial merasa merdeka. Tidak ada tatapan aneh dari orang-orang dengki ketika mereka bergandengan tangan dan menunjukkan afeksi secara general. Panggilan-panggilan sayang mulai dikumandangkan antara dua sejoli. Bahkan para dosen sendiri pulang lebih cepat untuk merayakan bersama istri dan suami mereka.

Bagi makhluk individualis (re: jomblo), ini adalah neraka. Untungnya, pemberian cokelat gratis dari klub-klub sebagai bagian dari marketing bisa sedikit menghidupkan hati mereka. Walau perlu diakui sangat mengenaskan, mendapat cokelat karena jadi korban promosi, bukan dari crush sendiri.

Katarina mungkin satu-satunya yang punya otak dagang. Dia menerima semua cokelat promosi itu dan mengumpulkannya. Batangan demi batangan tertumpuk di meja kafe perpus sampai hampir sejajar dengan kepalanya. Dia memakan sebuah dengan satu tangan, sementara tangannya yang lain sibuk mensketsa gambar asal dalam tablet mini.

"Buset, Ket. Lo mau jualan, kah?" sapa suara sudah duduk di seberang meja berbentuk bundar. Perempuan berambut pirang dengan segelas caramel latte panas, pesanan andalannya.

"Enggak. Gue mau simpen aja buat di makan sendiri," jawabnya. Katarina lalu mengangkat kepala, melihat kawan satu SMA-nya itu berbalut jas almamater khaki yang belum seharusnya mereka punya. Di dadanya, name tag bertuliskan 'Sarah M. Douma' tertulis jelas, menandakan bahwa almet itu memang punya Sarah. "Loh, emang almet udah dibagiin, Sar?"

"Lah, lo gak baca grup angkatan, kah?"

Katarina menggeleng. Dia mengangkat tablet untuk menunjukkan sketsa kartun anjing yang menjulurkan lidah. Lucu, tapi belum diwarnai. "Lagi kelarin ini, buat nambah koleksi stiker di pintu kamar."

"Awww, lucu banget! Mau satu!" pinta Sarah sambil memajukan dirinya ke arah gambar itu.

"Bayar."

"Pelit."

"Ini namanya berbisnis."

Salah satu kegiatan Katarina, selain tidur di rumah dan membaca buku-buku Jostein Gaarder, adalah membuka sebuah komisi kecil-kecilan. Dia sudah mulai menggambar sejak tahu kalau warna warna merah dan biru jika dicampur akan mengeluarkan ungu, dan beralih ke digital saat dia sudah cukup mengerti cara kerja tablet elektronik. Sebenarnya, pekerjaan ini tidak terlalu serius. Dia tidak punya blog besar untuk publikasi, kliennya lebih suka datang karena rekomendasi mulut ke mulut. Tapi perlu diakui, Katarina mengerjakan desainnya dengan sungguh hati. Melayani setiap pelanggan seperti melayani presiden.

Sisi buruk dari kurangnya niat adalah, Katarina jadi mengambil setiap kesempatan yang ada sebagai bentuk promosi, seperti apa yang dia lakukan kepada Sarah tadi.

"Lo mau gue temenin ngambil almet, gak?" Sarah bertanya, tapi tidak kunjung bangkit dari kursinya meski Katarina sudah mengemas seluruh barangnya. Tawaran palsu, pikir Katarina.

"Gak usah. Lo kayaknya gak bisa diganggu gitu, udah pacaran sama bangku."

Sarah melengos. "Yeee, gak gitu. Kalau mau dianterin nanti aja sorean. Sekarang deket balai masih banyak anak-anak tongkrongan. Suka rese mereka. Males."

Katarina mengangkat lengannya, jam yang melingkar sudah menunjukkan pukul setengah dua lewat. "Aduh, gak bisa kesorean gue," dia menatap sahabatnya khawatir, "mau marathon anime."

Sarah sudah terbiasa dengan daftar prioritas Katarina yang memang berputar antara lelaki 2D dan karakter fiksi. Bagai dua sisi koin, Sarah tidak pernah mengerti mengapa teman dekatnya lebih memilih mendekam di rumah bersama orang asing dalam kotak, tapi demi kebaikan, dia mencoba menerimanya. Karena kalau Katarina terlewat barang dua episode saja serial Jepang favoritnya itu, dia akan uring-uringan.

Ichan & Ina's Infinite PlaylistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang