Part 03
Revan berjalan ragu ke dalam ruangan di mana sekretarisnya saat ini sedang terbaring lemas di atas ranjang. Sebenarnya Revan tidak ingin menunggunya, karena sejak awal ia hanya akan mengantarkan Bella ke ruang kesehatan, setelah tahu penyebabnya pingsan, Revan berniat pergi untuk makan siang.
Saat berada di dalam, Revan hanya menghela nafas hingga pipinya menggembung. Sekretarisnya itu masih asyik di alam bawah sadarnya, Revan tak yakin akan mendapatkan informasi tentang Bella dari orangnya langsung, mengingat tadi pagi mereka baru bertemu untuk pertama kalinya.
Sekarang Revan justru bingung akan melakukan apa di sana, sedangkan pekerjaannya juga masih banyak yang belum ia kerjakan. Tidak ingin membuang-buang waktu, Revan memutuskan untuk menghubungi Pak Habib, karyawan setia papanya. Kebetulan kemarin Revan meminta nomor ponselnya, kalau-kalau ingin menanyakan sesuatu hal atau menyuruhnya untuk menemuinya."Halo, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" Suara Pak Habib terdengar dari seberang sana, menandakan pria itu selalu sigap saat bekerja.
"Apa Bapak bisa membawakan saya dua makanan dan minuman ke ruang kesehatan? Pakai uang Bapak dulu, nanti saya ganti."
"Bisa, Pak. Apa cuma itu saja, Pak?"
"Bawakan laptop saya juga. Saya membutuhkannya untuk bekerja."
"Baik, Pak. Akan saya bawakan sekarang juga."
"Terima kasih."
Setelah mengucapkan kalimat itu, Revan memutuskan sambungan teleponnya. Matanya sempat teralih ke arah Bella yang tak kunjung sadar. Lagi-lagi Revan menghela nafas, dagunya berpangku telapak tangannya seolah sedang berpikir. Memikirkan kenapa ia harus sepeduli ini pada sekretarisnya? Entahlah, Revan sendiri juga ingin tahu kenapa ia harus memiliki hati selembut ini. Padahal keluarganya selalu menganggapnya lelaki usil yang tak punya hati saking banyaknya kericuhan yang ia ciptakan, tepatnya dulu.
Cukup lama menunggu, membuat Revan bosan juga, itulah kenapa tangannya kini mulai beralih ke ponselnya, bermain game ringan untuk mengalihkan pikiran kacaunya.
"Permisi, Pak. Maaf saya lama."
Akhirnya suara Pak Habib terdengar di telinga Revan, meski nafasnya terdengar ngos-ngosan namun Revan yakin bila pria itu juga tidak ingin membuatnya menunggu."Iya, Pak. Tidak apa-apa. Ini uangnya untuk ganti makanan." Revan memberikan dua lembar uang berwarna merah ke arah pria itu, namun ekspresinya justru terlihat bingung.
"Harga makanannya tidak sampai seratus ribu, Pak. Anda memberikannya terlalu banyak." Habib tersenyum hangat, namun Revan justru terkekeh mendengarnya.
"Tidak apa-apa, kembaliannya buat Bapak. Anggap saja sebagai bayaran untuk jasa Bapak yang sudah lari-larian membawakan pesanan saya. Terima kasih ya, Pak." Revan memberikan uang itu pada Habib sembari tersenyum hangat ke arahnya.
"I-iya, Pak. Sama-sama. Saya juga berterima kasih. Kalau begitu, saya permisi dulu." Habibi tersenyum kaku lalu berjalan menjauh setelah matanya sempat melirik ke arah Bella yang masih belum sadarkan diri.
Revan berjalan ke arah sisi lain ruangan untuk duduk di sofa, lalu meletakkan makanan dan laptopnya di atas meja. Sebelum melanjutkan bekerja, Revan memakan makanannya. Ia benar-benar lapar sekarang, terlebih lagi Revan memang tipe lelaki yang suka sekali makan.
***
Habib, pria paru baya itu kini berjalan ke arah ruangannya, namun matanya justru memicing heran saat mendapati para karyawannya tengah bergerombol seolah sedang membicarakan sesuatu hal. Sebagai penanggung jawab mereka, tentu saja Habib merasa tidak suka dengan sikap mereka yang mengobrol di jam kerja, padahal waktu istirahat dan makan siang sudah selesai beberapa menit yang lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
in bed boss (TAMAT)
Romance"Temani saya tidur, saya akan membayar untuk itu." Revan, seorang boss perusahaan yang dikenal ramah, namun siapa sangka di balik wajah tenangnya, Revan menyimpan trauma? Kisah masa lalunya, membuatnya tidak bisa tidur sendiri, ia harus ditemani, at...