'Jika sesuatu ditakdirkan melekat pada diri seseorang, lalu untuk apa keberadaannya bila semata-mata hanya untuk ditentang?'
••••
Axelle baru membuka mata setelah bermenit-menit lalu sempat kehilangan kesadaran. Liam segera mendekat, mengikuti sang ibu yang lebih dulu menggenggam tangan lemah putrinya. Riak muka Liam begitu khawatir. Meski terlihat tenang, jauh di lubuk hatinya begitu cemas sehabis melihat Axelle kesusahan bernapas sampai pingsan. Adiknya kini butuh alat bantu sebagai penunjang pernapasannya. Entah untuk sementara, atau justru untuk seterusnya.
Tiba-tiba ketakutan merongrong dada Liam. Dia takut melihat kondisi Axelle yang mendadak anjlok seperti ini. Kalau saja kecelakaan waktu itu tidak pernah terjadi, Axelle tidak akan menderita. Axelle tidak akan meringkuk di kursi roda dan terjebak di tempat ini—meski ia tidak bisa menyalahkan perihal usus buntu juga. Kondisi adiknya bahkan belum mendapat kepastian yang jelas. Hal itu membuat amarahnya naik ke permukaan. Siapa pun yang membuat Axelle menderita, akan ia buat menderita pula, bahkan kalau itu harus membuatnya melakukan hal kotor sekalipun.
Liam ikut duduk di sebelah sang ibu sembari menatap wajah Axelle yang dihiasi selang oksigen. Tadi pagi, Axelle menjalani pemeriksaan fisik, melakukan berbagai tes yang diperlukan: tes urin, tes darah, CT scan, dan lainnya. Hasilnya belum keluar, tetapi melihat bagaimana Dokter Han bereaksi sudah menunjukkan bahwa adiknya tidak sedang baik-baik saja. Hal itu membuat rasa cemasnya makin menjadi-jadi. Seolah lumpuh saja belum cukup, kini malah ditambah kemungkinan adanya infeksi. Infeksi yang bisa membuat genggamannya pada Axelle terlepas. Dia sudah mencari tahu semalam, dan itu berhasil membuatnya tak bisa tidur.
"Kamu udah bangun, Nak?" tanya Desi, ibu Axelle dan Liam. Tangannya mengusap tangan sang putri lembut setelah memencet sebuah tombol yang tersedia di sana. "Dokter sebentar lagi ke sini," sambungnya.
"Kamu nggak apa-apa, El?" Kini giliran Liam bertanya. Wajah pucat Axelle membuatnya tak tenang bila harus diam saja.
"Aku nggak apa-apa, Bang," balas Axelle sambil mencoba mengulas senyum. Namun, ekspresi wajahnya tak bisa bohong. Liam sangat tahu ketika Axelle berbohong. Dia bisa melihat bagaimana Axelle menahan rasa tidak nyaman yang menjalar di tubuh.
Belum juga Liam melontarkan pertanyaan lagi, Dokter Han datang dengan seorang perawat, tersenyum sambil menyapa. Pria 30-an itu segera memeriksa kondisi Axelle, sedang wanita muda paruh 20-an yang berdiri di sampingnya terlihat mencatat sesuatu di lembaran yang dia bawa.
"Bagaimana kondisi Axelle, Dok?" tanya Desi. Ekspresi cemasnya ditekan sedemikian rupa agar tetap terlihat tenang di depan anak-anaknya.
Dokter Han melepas kacamata. Napasnya berembus perlahan. Pria itu melirik Axelle, lalu Liam, dan terakhir adalah Desi. Senyum ramahnya sempat tersungging sekilas, tetapi air mukanya tidak bisa dijelaskan. Liam semakin tegang. Ekspresi macam apa itu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Written in the Stars
Novela JuvenilNatalia Jade selalu berharap bisa berdiri di panggung Teater Bolshoi, Moskow, menampilkan balet Swan Lake, diiringi musik gubahan Tchaikovsky yang tersohor itu. Memerankan Odette di panggung yang megah gemerlap, meliuk indah bersama Pangeran Siegfri...