‘Diam bukan berarti memilih tak tahu dan menjadi pihak yang selalu kalah. Diam bisa jadi membunuh tanpa harus mengotori tangan dengan darah.’
••••
"Gue mau Tara suka sama gue."
Pengakuan Liora membuat Jade menautkan alis. Terkejut sekaligus kebingungan dengan maksud gadis yang sedikit lebih tinggi darinya tersebut.
"Hah? Maksudnya?" tanya Jade.
"Gue udah bilang, Jade. Masuk klub ini nggak mudah. Lo harus ngelakuin banyak tugas dari gue kalau lo mau dianggap di sini, tanpa penolakan. Salah satunya itu. Gue mau nge-date sama Tara, lo siapin semuanya," terang Liora. Masih tak dapat dimengerti Jade.
Jade terdiam sejenak. Membayangkan reaksi sahabat cowoknya jika Jade meminta berkencan dengan orang yang bahkan tidak pernah disuka. Tara pasti keberatan.
"T-tapi ... Tara orangnya sibuk, Ra. Mungkin dia nggak ada waktu untuk ini. Aku cuma takut ganggu aktivitas dia." Jade memilih kalimat terbaik yang terlintas di kepala. Ia tak mau melukai hati Liora jika gadis itu tahu bahwa Tara tak mungkin menerima.
"Ini perintah! Lo harus cari waktu yang tepat. Nggak mungkin Tara sibuk terus, ‘kan?" Liora meninggikan nada bicara. Ia sungguh benci bila perintahnya ditolak. Setiap tujuan yang dia punya harus setidaknya tercapai. Apalagi ini adalah Tara.
"Tapi Ra ...."
"Udah, deh. Lo nggak usah cari-cari alasan! Apa susahnya bujuk Tara buat nge-date sama gue. Siapa, sih, yang nggak mau nge-date sama cewek modelan gue. Gue yakin banyak cowok yang ngantre buat jadi pacar gue."
Sudah pernah dikatakan, Liora adalah gadis yang memang memiliki fisik memadai. Tubuh tinggi semampai dengan berat badan stabil. Kulit putih tanpa bekas luka sedikit pun. Parasnya cantik dengan segala hal yang diinginkan gadis lain. Dari penampilan yang selalu mewah, semua orang menganggap Liora adalah gadis kaya yang beruntung. Tidak perlu bersusah payah demi mengais tas branded keluaran terbaru edisi terbatas.
"Ya udah, sekarang lo beliin makan siang buat kami berlima. Guys, mau mi ayam, nggak? Gue traktir." Liora menoleh kepada keempat temannya.
"Asik! Mau, lah! Ya kali enggak," jawab salah satu teman Liora yang duduk melingkar di lantai ruang latihan balet.
"Gue juga mau, dong. Gratisan nggak bisa nolak. Dietnya ditunda besok aja, deh." Dan yang lainnya pun menyetujui.
"Oke, Jade, beliin mi ayam lima. Es teh lima juga, ya!" perintahnya. Liora merogoh saku seragam. Mengeluarkan selembar uang merah dan menyerahkannya kepada Jade. "Lo mau, nggak? Mumpung gue baik, gue traktir babu gue makan juga. Jarang-jarang ada majikan sebaik gue. Ya nggak, guys?" Dengan penekanan di kata 'babu', ucapan Liora berhasil mengundang gelak tawa keempat temannya. Tawa merendahkan yang sudah sering Jade dapatkan selama ia masuk di klub balet.
KAMU SEDANG MEMBACA
Written in the Stars
Ficțiune adolescențiNatalia Jade selalu berharap bisa berdiri di panggung Teater Bolshoi, Moskow, menampilkan balet Swan Lake, diiringi musik gubahan Tchaikovsky yang tersohor itu. Memerankan Odette di panggung yang megah gemerlap, meliuk indah bersama Pangeran Siegfri...