Prilly mulai berlari ketika ia tahu matahari sudah menunjak ke atas langit, kakinya yang ia langkahkan memang sakit tapi menurutnya lebih sakit apa yang kini ayahnya rasakan. Sudah 2 tahun silam ini ia berdiri di atas tanah bersama ayahnya, sejak 10 tahun lalu ia tak pernah mengenal siapa mamanya, siapa keluarganya, ia hanya mengenal jika ayahnya lah keluarga satu-satunya.
Kini dirinyalah yang bekerja, untuk kepentingan pribadi pula kepentingan keluarganya, tak ada yang salahkan jika ia terus berlari, jika ia pula yang akan hidup dan mati. Tuhan memang adil memberikan 1 keluarga, memberikan daya tubuh yang kuat, memberikan pekerjaan yang minimalis dan tuhan sangat adil ketika ia tahu ayahnya sosok yang kuat melawan apa saja.
Di sanalah Prilly sekarang berada, tempat kusam yang menjijikkan bagi kalangan masyarakat tinggi, jika boleh memilih ia juga jijik dengan keadaan itu, tapi siapa dia? Siapa dunianya? Ia hanya manusia kecil yang tak berarti, halnya daun kering yang sudah duduk di tepi jalanan.
“Prilly” panggil sosok tinggi berkaca mata, pula rambutnya yang ia gerai menunjang ke arah punggu lebarnya “Iya, ada apa Vel?” sahut Prilly yang masih fokus pada tumpukan piring di depannya.
Memang hanya Velin saja yang mau berteman dan menerima Prilly apa adanya, walaupun orang tua Velin melarang tapi Velin selalu bertindak keras. Velin yang cantik tapi kuper karena sejak kecil tak pernah mengenal dunia luarnya, kecuali café yang sekarang orang tuanya miliki dan juga tempat Prilly kerja sebagai buruh cuci piring atau juga sebagai pengantar pesanan, tak apalah bekerja apapun yang penting ada uang ada pahala, bukankah begitu segalanya?.
“Boleh aku membantumu, aku lelah dengan guru home scolling ku! huh..” katanya dengan wajah yang ia kerutkan, pula hembusan nafas kasarnya.
“Hey kau ini mau mencari masalah ya? tidak tidak usah!”
“Ya tuhan Prilly, aku hanya mencucui saja, oke lah kalau begitu bagaimana jika aku yang membasuh piring gelas itu dengan serbet, mana serbetnya?”
Prilly nampak diam, tangannya yang masih bergerak mencucui piring namun pikirannya kosong. Ia nampak bingung kenapa harus Velin korban dirinya mintai sesuatu? Kenapa harus Velin yang merasakan buruknya hidup ini? dan kenapa harus Velin yang sudah masuk dalam dunia gelapnya tanpa bisa keluar lagi? Kenapa?
“Ayolah princes, mama papa ku sedang keluar dia tidak ada di café ini, lagi pula karyawan itu tidak pernah mengetahui jika akulah Velin terhormat, bukankah begitu?” mohon Velin dengan wajah memelas babynya.
“Oh oke, baik-baik” umpat Prilly dengan segera mengambil serbet kering untuk membersihkan piring dan gelas dari tetesan air keran.
Velin memang gadis yang tak pernah di percayai karyawan jika ia anak dari pemilik café ini, tapi menurut Velin itu hal yang bagus dari pada harus mengerti jika ia sosok terhormat, ia tak ingin reputasinya di kekang kesekian kalinya.
“Gadis hey gadis…” panggil sosok di sebarang sana, yang entah siapa dia.
Hening. Tak ada yang menjawab kecuali klontangan piring, gelas, sendok, dan garpu atau gemercik air yang mengalir di bawah keramik putih cucian piring.
“Hey! Aku berbicara dengan kalian, kalian tulis?” geram sosok itu kembali.
Tidak lagi ada yang menyahut. Prilly dengan santainya malah bernyanyi dengan merdu, pula Velin juga masih memfokuskan matanya dengan gadget tablet miliknya, ya begitulah kebiasaan Velin yang hanya memegang tablet atau handphone lalu kembali menjadi siswa rumahan, dan seterusnya.
Dengan gusar lelaki itu mulai melangkah mendekati gadis yang sibuk bekerja, dan dengan gemasnya ia memeluk Velin dari arah belakang “Sayang aku rindu padamu”
“Ouh, ini menggelikan sayang” balasnya sedikit gelagatan.
Entah apa yang mereka berdua itu katakan, dengan gelisah Prilly mulai menjauh membenakan peralatan itu di atas rak, melihat sedikit gerak gerik yang manja milik mereka berdua. Tidak adakah kata jijik di kamus mereka? ini tempat umum dan banyak orang, lalu kenapa mereka dengan percaya diri gelagatan seperti kucing yang tergelitik? Ouhh jangan sebarkan virus itu untuk dunianya.
“Pri..Prill” rancaunya tak jelas, sedang sosok pria kekar itu masih tak bergerak kecuali memeluk Velin dari arah belakang, denagn kepalanya yang ia tumpangi di punggungnya.
“Iya, aku di sini”
“Pril aku kembali ke atas dulu ya, maaf pekerjaan ini belum selesai”
“Itu sudah biasa, selamat bersenang-senang ya, hahaha “
Setelah adegan tadi tercuplikan mulailah keheningan muncul lagi, kali ini lebih hening dan sangat menyebalkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
WHEN LOST (dimana aku kembali?)
Teen Fiction[FA_] sebersit ungkapan dewasa. Dia yang dulu mencintai ku. Dia yang dulu selalu ada untuk ku. Dia yang dulu lentera bagi ku. kini semua hangus, semua lenyap, semua terbakar seperti kayu termakan api. tak tersisa! sungguh aku bersumpah akan menggan...