chapter 4

1K 22 0
                                    

***

Kantung hitam tersamar melekat samar di bawah mata Prilly, ia sedikit mendesah ketika pantulan bayangannya terlihat melalui kaca bening, dress biru polos selutut dengan lengan spaghetti menyelimuti seluruh area tubuh Prilly, wajahnya yang tadi lusuh kini sedikit ia lukis dengan lip gloss peach dengan bedak yang biasa ia gunakan.

Tas berlengan miliknya yang berwarna biru kehitaman bersifat jeans sudah ia letakkan siap untuk ia genggam, berlahan ia tersenyum dengan dirinya sendiri, membimbing matanya agar terus melihat arah dunia, bola mata coklat berbening, bulu mata lentik juga alis hitam legam tebal miliknya membuat karisma wajahnya bertaut begitu indah.

Satu kata saja jika dunia bisa berbicara ‘cantik’ itu pasti katanya.

Prilly dengan semangat berjalan keluar dari area kamarnya, hanya sederhana kamarnya itu, 1 katil springbed bermotif bunga tulip bermekaran, 1 meja rias yang biasa juga Prilly gunakan sebagai penyimpanan benda lainnya, dan juga 1 lemari plastik yang ia isi dengan pakaian-pakaian miliknya, juga pakaian yang kekasihnya berikan.

Berkata dengan kekasih membuat sedikit hati Prilly berubah, ia rindu akan senyum sosok itu, rangkulan mesra milik tangan kekar yang biasa diletakkan di pinggang, rindu akan candanya, rindu akan jejak telapak tangannya di ubun-ubun rindu pula dengan suara mirip desisan cinta zat maha agung.

Sudah hampir 1 minggu ini Prilly tak menemui sosok itu, hanya saja Prilly selalu membenamkan namanya di setiap hati Prilly berdesis, tak bisa di pungkiri lagi jika ia akan tenang dalam kondisi seperti ini, ia tak bisa melihat segala bentuk wajahnya, bahkan kabarnya saja Prilly tak pernah mengerti. Ya maklumlah tak ada alat komunikasi yang bisa Prilly gunakan, sekecuali surat pos.

Ternganga jelas jika Prilly merindukan sosok yang jauh itu, kini sosok itu sedang mengunjungi mamanya dalam belahan dunia berbeda, bagaimana Prilly bisa menghentikan jika semua itu demi kebahagiaan kekasihnya terlalu sulit melakukannya.

Yang Prilly ingat ia pergi bersama di sebuah bandara dalam 1 taksi, berpelukan perpisahan, tertawa bersama, saling membalas senyum, menghapus air mata dengan lawan jermari, serta mengecup ubun-ubun Prilly. Hanya itu saja! Selanjutnya semua tandas.

“Prilly..” panggil suara serak dari ujung kamar samping Prilly, dengan segera Prilly bangkit dan menghapus khayalannya bersama Fremond-kekasihnya-.

“Iya ayah, ada apa?” ucap Prilly setelah tepat melangkah memasuki area kamar ayahnya. Ayahnya kini tersenyum manis di hadapannya, dengan baju yang masih melekat rapi, badannya pula masih bisa ia dudukan walaupun bersandar dengan bantuan bantal dan tembok putih.

“Kau belum berangkat nak? Ini sudah sangat terik, apa tidak di tegur oleh atasan mu? Ayah khawatir kepada mu” Prilly mulai mendekat kearah ayahnya, duduk di samping ayahnya dan masih dengan senyum supernya itu “Ayah tenang saja, Prilly bisa menjaga diri” jawabnya.

“Baiklah. Sekarang berangkatlah, ayah sudah lebih baik”

“Iya, ayah jaga diri baik-baik” aku mulai mendaratkan ciuman ku di telapak tangannya, lalu menciumnya lagi di pipinya. Itu sudah sebagai tradisi ku menjadi sosok anak untuk hero ini.

***

“Pekarangan rumah yang damai” gumam sosok itu.

Kini ia sudah tepat berada di samping rumah Prilly, memandang Prilly yang kian lama sudah tak menampakan diri itu. jarak dirinya dan jarak rumah Prilly mungkin memang sedikit jauh, hanya sekitar 20 langkah saja, namun tak apa baginya yang terpenting ia bisa melihat gadis mungil itu muncul.

Tik..tok..tikk…tok

Suara jarum jam masih bertapak-tapak berundingan, suaranya masih seperti gemuruh yang tak ada hentinya. Lama! Hanya itu kata yang terlintas dari pikiran sosok pria itu.

Mobil sport hitamnya sudah berhenti menetap di atas aspal dekat dari pekarangan rumah gadis itu, namun sayang sejak tadi yang di tunggu tak kunjung membuat dunia gempar.

Anak rambutnya bertebrang menari mengikuti irama nada angin, likuk tubuhnya terlihat sempurna, wajahnya terpoles sederhana terkesan murni nan cantik, biru menyala terbalut begitu istimewa di tubuhnya, highless hitam polos 5 cm sudah ia pakai.

Entahlah gadis itu sedang akan menuju kemana? Namun terlihat seperti akan menghadiri acara pentingnya.

Gadis itu sudah keluar dari pekarangan rumahnya, ia menuju sebuah jalan besar keluar dari KPR pekarangan, mungkin ia sedang menunggu kendaraan. Dan benar kendaraan biru yang biasa di sebut taxsi kini berhenti tepat di hadapannya, mensilahkan gadis itu untuk duduk dalam kursi penumpang.

Dengan cekatan pria itu mengikuti arah mana taxsi berjalan. Beruntung jalanan tak begitu runcam atau ramai, tidak pula di sebut sepi, hanya mungkin ini memang sudah pukul 8 jadi para pengguna kendaraan sudah kerja di sebuah kursi besar miliknya.

Likuan jalan, belokan jalan, lampu merah dan sebagainya sudah terlintas, kini tinggal sebuah gedung tinggi yang tak lain itu gedung sudah agak tua. Tertulis di papannya ‘COURTLAND’ sedikit terlintas di papan pikiran otak besar milik pria itu, sepertinya tidak asing namun sayang atmosfer di pikirannya sedang bodoh kali ini.

Kini posisinya tepat berada di depan gedung itu, namun bodohnya gadis itu tak melihat ada mobil sport menguntitnya dan itu membuat pria semakin ingin terus mengamatinya. Cara berjalan bagaikan gadis cantik, berirama pula halus lembut nan bermakna jauh istimewa. Dengan sekejap gadis itu sudah masuk di dalam gedung tua terdesign indah-memang- namun jeleknya sepertinya sang pemilik gedung itu sudah enggan menghormati jeri payahnya, itu hal bodoh!.

Drtt..Drttt..

Ponsel milik lelaki itu bergetar lalu berirama menandakan ada sebuah panggilan masuk, segeralah tangan milik pria kekar itu memencet tombol hijau.

“Ya halo…Sial! harus sekarang? Tak bisa diundur?...baik-baik satu jam kedepan aku sudah ada untuk pria sialan itu…iya aku dengar!”

Ohh shit! Harus sekarang dan itu sangat mendadak, suara geram pria itu masih terus berputar di mobil sport hitam. Matanya masih jeli menatap sosok yang sudah tak terlintas, sudah hampir 10 menit ini gadis itu tak nampak, kini saatnya pria itu pergi meneruskan jalannya yang sibuk, mungkin lain waktu tangannya akan menggenggam gadis itu kembali.

“Prilly kau harus untukku! Lihat saja nanti!” desisinya seakan percaya diri itu.

***

Thanks readers!

Yee maaf ya yang kemarin protes genre dewasa chapter 3 kurang seger, ya maklumlah Vina kemarin yang buat dan Nian dengan jahatnya cuman kasih alurnya plus teks rumpang saja, dengan susah payah vina ngembangin sendiri katanya biar hadi genre 17+ yang sedap, tapi sayang sedikit belum berhasil. Hihi maaf vina umurnya baru berjalan menuju 15 tahun, maafkan Nian ini ya Vina.

Kemarin sih mau next tapi Vina sibuk sama novel BUMI by Tere Liye dan Nian lagi asik sama novel terjemah yang uhhh keren sumpah- I WAS HERE by Gayle Forman

Nahh ini makannya buatnya sedikit, nanti malam insyaallah next lagi kalau lagi gak asik sama novel. Wkawka :D

Salam cantik ala Nian J

WHEN LOST (dimana aku kembali?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang