***
Ya masih menyengat hangat mentari pagi ini, Prilly mulai melangkah keluar dari dalam taxsi yang ia kendarai, berlahan ia sudah sampai pada gedung Tujuannya.
Terpampang nyata tulisan di papan warna putih itu, ‘COURTLAND’ Prilly tersenyum sejenak, ia puas sangat puas ketika nama ayahnya masih terbesit di sana, ya walaupun suatu saat nanti semua akan hilang, mungkin tak lagi tersisa.
Bisa kalian katakan itu sebuah gedung pabrik, namun salah besar, itu bukan pabrik besar itu gedung hanya sebuah tempat para pengusaha kecil yang ingin berkarya. Seperti berkarya pakaian, membentuk permainan dari bahan apapun, membuat makanan dari bahan yang ringan, dan segalanya yang terpenting tidak merugikan banyak orang namun menguntungkan semua orang.
Terlihat mewah? Besar? Pasti pemiliknya kaya?
Kadang pula bisa tertawa jika kalian mengerti apa maksud si pemilik ini membangunnya.
Memang besar, tapi tempatnya hanya beberap saja yang di pakai bekerja, yang area belakang terisi beberapa banyak kamar, tempat belajar, tempat berkumpul atau sekedar tempat bermain. Untuk apa? ya, untuk para pegawai di sana.
Ayah Prilly sengaja membangun tempat itu di sebuah Desa Indonesia, entahlah itu desa apa yang terpenting desa itu seperti keberadaan dalam sebuah hutan di Kalimantan Timur. Tempatnya terkenal menyeramkan, hanya pohon-pohon tinggi, pula tumbang tersayat di sana. Sekelilingnya hanya terdapat bangunan rumah sederhana yang terkenal kecil namun hangat nan damai.
Dulu ia ingat betapa berharganya dirinya di saat banyak gelimpahan uang, Inggris kota asli ia lahir, lahir dari rahim malaikat tak bersayap, ibunya. Ya ibunya kini entah ada di mana, entah masih ada atau menghilang, semua seakan tak lagi ada. Tak bermakna, tak berarti, meninggalkan sesak tak ada arti.
Perusahaan itu hanya bekerja jika ada yang menyuruhnya bekerja, siapa lagi yang menyuruhnya jika bukan uang hasil penghasilannya? Papa Prilly atau pula Prilly, hanya menggenggam uang sebesar 30% dari saham itu. sisanya sekitar 50% untuk puluhan keluarga pegawai yang hidup di sana, dan 20% untuk keluarga kaya yang tinggal di ujung desa, setiap hari keluarga kaya itu pula yang bisa membuat perusahaan itu naik menunjang pula turun terdangkal.
Tak ada yang istimewa bukan? Yang istimewa adalah kebahagiaan.
Prilly mulai memuatari tempat awal ruangan itu, namun nihil semua senyap, semua tak ada kehidupan.
Ruangan kedua yang dekat dengan ruangan utama, juga terlihat teramat sepi. Kemana? Atau ia minggat setelah hampir 1 bulan ini pemilik perusaan tak pernah menginjakaan kaki. Ya tuhan bodoh sekali bukan.
Prilly dengan sedikit lesu menaiki tangga menuju lantai 2, suara sayuan angin menderu rusuh di sana, entahlah angin itu dari mana yang jelas teramat terasa.
1 2 3 4 5 6 7 8 anak tangga Prilly tarungi dan “Kakak cantik” seru suara kecil dari anak tangga terujung sana.
Matanya bulat kecoklatan, sama seperti Prilly. Rambutnya ia gelung sampai tak ada lagi yang menjuntai ke bawah, senyumnya terpanjang sampai membekaskan rahang pipinya, alisnya tebal pakaiannya pula masih terlihat sempurna walau noda 1 atau 2 terkenali di sana.
“Hey manis” ucap Prilly spontan, lalu mulai mendekat ke arah gadis kecil itu “Kau cantik hari ini, apa kabar mu? Jarang sekali kita bertemu bukan?”
Prilly mulai mengulurkan tangannya untuk menggandeng gadis mungil itu, dengan senang hati gadis mungil mulai menyamakan jemarinya untuk Prilly, pula membalas senyum Prilly “Aku merindukan kakak, kita semua bahkan. Kakak kemana saja?” suaranya mengecil seakan ia menahan suatu kepiluan yang tak berujung. Mungkin begitu.
KAMU SEDANG MEMBACA
WHEN LOST (dimana aku kembali?)
Teen Fiction[FA_] sebersit ungkapan dewasa. Dia yang dulu mencintai ku. Dia yang dulu selalu ada untuk ku. Dia yang dulu lentera bagi ku. kini semua hangus, semua lenyap, semua terbakar seperti kayu termakan api. tak tersisa! sungguh aku bersumpah akan menggan...