01

43 1 0
                                    

"Raka."

Pria berperawakan tinggi dengan surai hitam itu hanya menoleh sekilas saat mendengar namanya dipanggil seseorang. Meski ia tau orang yang memanggilnya adalah orang yang melahirkannya. Bukan karena ia tak suka pada mamanya, hanya memang sifat pendiam yang menempel pada dirinya terlalu kuat. Memang bukan sifat aslinya, karena sebenarnya Raka orang yang hangat.

Sang mama berjalan mendekat. Perlahan ia mengusap lembut kepala anak bungsunya.

"Nak, sampai kapan kamu terus tenggelam di luka ini? Kamu harus bangkit. Buka hatimu untuk seseorang di luar sana!"

Pria itu masih tak bergeming. Ia tetap fokus pada laptop di depannya. Ya, pekerjaan memang yang mampu mengalihkan ingatannya pada kejadian itu. Hari dimana yang harusnya ia merasakan bahagia berubah menjadi sebuah luka yang sulit disembuhkan.

Sejak hari itu pula Raka memutuskan keluar dari perusahaan keluarga dan memilih membangun usahanya sendiri. Ia tidak lagi memimpin Bintara Group mendampingi kakaknya, Arsen. Kini ia memiliki Ardhias Corporation, usaha yang ia bangun sendiri bersama kedua sahabatnya.

Linda —mama Raka dan Arsen— hanya mampu diam melihat anak bungsunya. Ia juga merasa sedih mengingat kejadian itu. Tetapi ia juga bersyukur mengetahui niat busuk calon menantunya sebelum resmi menjadi keluarga.

Arsen datang bersama Melati—istrinya— menghampiri Linda. Melati memeluk pundak Linda lembut kemudian mengajaknya duduk di sofa yang menghadap kearah Raka. Arsen menyusul mereka dan duduk di samping mamanya.

"Ma, biarkan Raka seperti itu dulu!" seru Arsen sembari mengusap lembut lengan mamanya.

"Sampai kapan, Ar? Sampai kapan adik kamu harus seperti itu? Kamu tak ingin melihat adik kamu seperti pria lain?"

"Ma, kita semua ingin melihat Raka seperti yang dulu, tapi kita juga tau kejadian itu sangat melukainya. Bahkan untuk kita pun masih sulit menerima seseorang yang dekat dengan Raka."

Linda menangis sesenggukan dalam pelukan Melati. Dengan sabar Melati mengusap punggung mertuanya untuk menenangkan.

Raka sedikit gelisah. Satu hal yang menjadi alasannya, suara tangisan mama. Raka sangat menyayangi mamanya meski ia selalu terlihat cuek padanya. Sejak kepergian papanya, Raka memang lebih dekat dengan mamanya bila dibandingkan Arsen. Itulah kenapa ia tidak bisa melihat mamanya menangis. Rasanya hati ikut teriris mendengar tangisan itu. Hal itu pula yang membuat kejadian yang telah lalu itu sangat membekas di hatinya. Kejadian yang membuat mamanya menumpahkan air mata kesedihan.

***

Pagi yang cerah dengan hangatnya sinar matahari membuat dua perempuan yang baru saja selesai joging pagi itu menghabiskan air mineral dalam sekali minum.

"Udah panas aja ini hawanya," keluh salah satu dari mereka yang memiliki rambut sebahu.

"Emang udah waktunya kali, lo aja yang lembek," ejek perempuan yang memiliki rambut hitam sepunggung.

"Belum aja lo, Fel."

"Belum apa, Cha?"

"Belum tumbang seperti biasanya."

"Nyumpahin gue? Awas lo ya!"

Mereka pun berakhir dengan kejar-kejaran seperti anak kecil sampai di rumahnya. Sampai di halaman rumahnya atau lebih tepatnya rumah kontrakan, mereka disambut seorang wanita paruh baya yang baru saja selesai menjemur baju.

"Echa, Felly, berhenti!" teriak wanita itu. "Kalian ini sudah besar masih aja mainnya kejar-kejaran."

"Ya dari pada main hati kan, Bu."

"Bahagia enggak, sakit sering."

"Tawa jarang, nangis tiap jam."

"Kenyang enggak, yang ada harapan."

"Endingnya gantung diri di kamar depan."

Mereka berdua tertawa terbahak-bahak. Itulah Felly dan Echa. Anak slengean yang selalu santai. Saking santainya membuat Bu Marni, ibu mereka, sering mengelus dada. Bagaimana tidak, mereka berdua sudah lulus kuliah, sudah mendapat pekerjaan yang bagus pula, tapi tingkahnya masih kekanakan. Meski begitu Bu Marni tetap sabar karena ia tau apa yang tidak orang luar tau dari kedua putrinya.

"Kalian berdua mau sampai kapan berdiri di sana? Sudah jam berapa ini? Kalian gak kerja?" sindir Bu Marni.

Keduanya kompak melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangan masing-masing. Dan seketika mata mereka membulat sempurna saat sadar tiga puluh menit lagi sudah masuk waktunya kerja. Mereka pasti tidak mau terlambat kan, dan yang lebih parah jika harus berurusan dengan atasan mereka yang super dingin plus kejam tingkat iblis. Tetapi mempunyai wajah super tampan.

"HUWAAA, IBU KENAPA BARU BILANG KALO UDAH SETENGAH DELAPAN!"

Keduanya langsung lari terbirit-birit ke dalam rumah. Melakukan ritual super singkat sebelum akhirnya keluar dengan pakaian rapi ala kantor dan helm di tangan masing-masing.

"Bu, kita langsung berangkat ya," pamit Echa.

"Kalian gak sarapan dulu?" Ibu Marni menghampiri mereka yang sudah siap di atas motor.

"Gak sempat, Bu. Kalo kita sarapan dulu yang ada nanti malah langsung dibikin sarapan si Bos kutub itu," cerocos Felly yang memang suka mengatai bosnya.

"Kamu ini, gak baik ngomong gitu. Udah sana berangkat sebelum terlambat."

Keduanya langsung mencium punggung tangan Bu Marni bergantian.

"Hati-hati bawa motornya, jangan ngebut! Pelan-pelan aja asal selamat sampai tujuan."

Nasihat Bu Marni dibalas anggukan oleh keduanya. Mereka pun mulai melajukan motor melewati jalan yang lumayan sepi. Mungkin karena mereka yang terlalu siang hingga jalan yang biasa ramai saat mereka lewati kini tampak agak lenggang.

"Alhamdulillah, kita sampai juga," ucap Echa sambil melepas helmnya lalu menaruh helmnya di kaca spion.

"Iya alhamdulillah bisa sampai kantor sebelum bos kutub datang!" seru Felly enteng.

"Siapa yang kamu sebut 'bos kutub'?"

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Baru nih gais, baru belajar nulis maksudnya😢😂
Kuy mampir, siapa tau naksir☺️

RAFELWhere stories live. Discover now