Bel pertanda berakhirnya pembelajaran pun berbunyi yang segera disambut suka cita tiap murid, terutama 3-8. Tanpa pikir panjang, penghuni bangku sudut paling belakang berdampingan dengan jendela pun segera memasukan semua buku yang benar-benar kosong beserta sebuah pensil ke dalam tasnya, beranjak meninggalkan kelas. Dia tidak ingin membuat sang pemilik status friend with benefits-nya hilang kesabaran, lagi.
Sesekali maniknya melirik arloji yang membelenggu pergelangan tangannya selagi kedua kakinya kian melangkah jauh, meniti tiap anak tangga, dan membuka pintu seng penghubung lokasi kegemaran mereka. Tentu saja, kedua manik itu tersuguh sosok elok di seberang sana tengah menikmati tirai biru milik tuhan sembari ditemani tiupan lembut angin. Yang mustahil tidak mengundang senyum dengan lesung pipi itu.
"Apa pemandangannya terlewat indah hingga sama sekali tak menghiraukan aku?" ia berjalan mendekat, meletakkan tasnya, dan mulai bersandar pada dinding batas rooftop. Membiarkan kedua maniknya merekam tiap sudut, celah, serta lekukan air muka Wave.
"Bosan. Tidak ada alasan bagiku untuk selalu menghiraukan pemandangan mu."
Bukan suatu kejutan lagi bagi Pang untuk menerima segala kata kasar yang dilontarkan Wave. Ia sudah sangat kebal, mungkin.
"Baiklah, aku telat 7 menit karena jika kau masih ingat, letak kelasku cukup jauh dari sini. Dan aku masih seorang Pang anak kelas 8, apakah alasanku diterima?" menjelaskan tanpa perlu alihkan pandangannya.
"Tidak. Bukankah kau punya bakat kabur dari kelas tanpa diketahui? Jika kau masih ingat, akan ada pertemuan lagi sepulang sek-" kalimat protes Wave terhenti kala Pang dengan cepat menarik dagunya dan mengecup lembut bilah ranum itu. Hanya mengecup.
"Aku tau. Aku ingat. Maka dari itu, dari pada dihabiskan oleh protesmu, lebih baik kita selesaikan urusan kita." Wave melihat bagaimana bibir itu bergerak mengikuti kalimat yang terlontar. Mengundang debar aneh pada dada kirinya yang kembali membawanya ke belaian biru nan hangat. Bagai menari dengan iring-iringan kecipak air, berputar dengan anggunnya, yang tak lupa mengikut sertakan kawan dansanya. Lantunan lagu terdengar bersahutan seiring pesta dansa. Rasa manis yang mengundang dahaga kembali menggetarkan lorong kosong itu. Sensasi pedas mulai mengikut sertakan hawa panasnya beserta ribuan peluh berselancar bebas. Kejutan asam menagih untuk terus mengecap hingga menegakkan bulu kuduk. Beragam rasa tercipta dalam satu waktu singkat itu. Hingga ketika ribuan warna telah menyerang semakin dalam mendekati kegelapan, hitam legam yang menuju titik pusat. Menghantarkan putihnya hingga membuncah, ditemani deru napas keduanya.
"Jadi itu guna jaket barumu? Kukira kau sedang mengikuti tren," ucap Pang sembari membenarkan seragamnya dan tanpa menghiraukan beberapa kancing karya Wave tadi.
"Karena kurang ajar mu, aku harus seperti ini. Jika tidak hilang, kau yang harus jadi buruh cuciku." tukasnya sembari menyampirkan jaket hijaunya ke atas pundak agar dapat menutupi punggung seragam Wave yang kotor. Omelannya disambut kekehan dari Pang.
"Kalau begitu kau juga harus jadi buruh tukang jahitku, kurasa kancing-kancing ini tidak akan bertahan lama."
"Coba saja." Wave mengakhirinya dan langsung bergegas menuju ruang rapat setelah mendapat pesan Claire jika ia dan Punn akan segera menuju ruang rapat.
"Terkadang aku merindukan senyummu, Wave. Walau sekedar senyum mengejekmu, sudah lebih dari cukup."
Dan hari panjang itu diakhiri bertemunya gifted angkatan Pang dengan murid bertitel Time. Bocah dengan beribu pertanyaan akan keingintahuannya tentang kelas gifted.
Side.story.between.TG.and.TGG
Tak ada yang menyadari kedekatan mereka melebihi sepasang sahabat. Tidak, mungkin hanya berlaga 'sok tidak tahu'. Karena sekali lagi, ini menyangkut Wave. Namun siapa sangka? Pemuda yang identik dengan sarkasme dan sifat ke-sassy-annya bisa langsung melunak jika berhadapan dengan seorang Pang. Bahkan waktu pun sangat iri dengan adanya mereka. Seperti ungkapan tak lekang oleh waktu. Hubungan mereka jauh lebih sulit diungkapkan, dijelaskan, bahkan untuk mereka sendiri.
Masalah adalah bumbu suatu hubungan. Sudah makanan sehari-hari mereka, namun ketika diterpa mereka akan selalu kembali. Lulus dari ujian hubungan dengan kedewasaan masing-masing. Saling mengerti dan saling melengkapi. Meski kadang masih berselisih, tapi bukankah akan lebih berwarna?
Entah sadar atau tidak, mereka memiliki tempat tersendiri untuk rasa sayang namun terbalut kalimat selalu saling mendukung. Seperti ketika Pang mendapati kebenaran dari Wave yang terdengar seperti pengorbanan. Seakan waktu telah menghentikan dirinya, lalu dengan otomatis memutar semua kejadian penghianatan itu.
"Apa kau menyuntikkan diri dengan virus itu?" hanya untuk memastikan, dengan harapan yang begitu besar akan pertanyaan itu salah. Namun, keterdiaman Wave menjawab segalanya. Ditambah dengan gemuruh guntur bak drama. Perasaannya bercampur tak terkendali hingga ia mampu membentak seseorang yang belum pernah sekalipun ia bentak. Rasa bersalah, amarah, kecewa, dan hampa membelenggu Pang hingga mampu menggebu. Apa yang diharap pada remaja? Sifat yang mudah berubah, perasaan yang dapat berganti dalam hitungan detik, tidak mudah dalam mengendalikan emosi mereka. Sekejap, emosinya mengambil alih. Hingga tanpa sadar mendorong Wave begitu saja.
Kesadarannya kembali ketika maniknya menangkap sosok Wave hampir terjatuh. Pikirannya riuh akan sumpah serapah yang disajikan untuk kebodohan Pang dalam mengolah emosi. Tak ingin kesalahan kembali terjadi, ia segera menghampiri Wave yang meringkuk sambil memijat kepalanya yang berdenyut nyeri diselingi dengungan kuat entah dari mana.
Segera saja ia memeluk Wave, membelai surai gelap itu dengan lembut sembari merapalkan ribuan kata maaf atas kebodohannya. Tidak lagi, ia tidak ingin seseorang kembali disakiti oleh penjahat sesungguhnya. Dia tidak akan membuat Wave kembali merasakan sakit.
"Akan kucari penawarnya," ucapan Pang terdengar bergetar dan begitu rendah. Selama ini Pang dengan mahir menyembunyikan tangisnya dari Wave, namun tidak menutup kemungkinan juga ia dapat melihat sisi terpuruk Pang. Diperlakukan tidak adil, dikhianati teman, dipermainkan guru dan pihak sekolah, melawan teman sendiri, apalagi yang akan dihadapi remaja yang seharusnya menikmati masa belajarnya dan menjalani masa depannya dengan damai? Ia justru mengurusi sekolah yang bahkan rela mengorbankan siswanya hanya untuk kemajuan nama sekolahnya.
Wave mengerti rasa itu, ia pun pernah merasakannya dulu. Tanpa sadar dimanfaatkan hanya untuk kepentingan sekolah. Kedua maniknya pun ikut memanas,
"Kita cari penawarnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
a Part of Chinamon Tea 🔞✅
FanfictionPercaya atau tidak, untuk mendeskripsikan mu itu cukup mudah. Cinnamon tea, hangat walau berada di wadah yang dingin, gabungan sempurna dari rasa teh madu dan aroma khas kayu manis, juga cukup beracun disaat bersamaan. Sangat unik dan tampak menenan...