Aku terbangun karena dengkuran halus seseorang di sampingku. Mengernyit bingung, hembusan napas lembutnya menyapu bersih leherku. Menerpa bulu halus di sana dengan sapuan lembut. Aku menengok pelan dan langsung mendapati Wave yang tidur meringkuk ke arahku. Dia begitu elok dengan wajah polosnya kala tertidur, pernahkah kubilang bahwa melihatnya tidur adalah pemandangan terbaik? Apalagi sekarang aku mendapat spot yang begitu pas untuk mengaguminya. Sinar surya dengan malu-malu membias ke jendela dan menyerbu tenda yang kupasang, bahkan hanya dengan penerangan seadanya kau lebih menarik ketimbang apapun.
Biarkanku menginterpretasikan dirimu sesaat. Bibir merona itu bahkan tak memudar setelah ratusan kali kupagut, dengan ribuan gaya kulakukan untuk mengeksekusinya, bahkan hingga ku toreh goresan luka di sana, tak ada kata henti yang terucap darimu. Sudah sangat tidak asing bagiku dengan aroma khas mu, tidak tahu apa kau begitu menghemat minyak wangi dari nenekmu atau kau sibuk memabukkan ku dengan cara yang telah kau tahu. Pastinya, sekarang yang tertanam dibenak dan otakku adalah cinnamon identik dengan dirimu.
Wave, jika waktu itu aku tidak dengan bodohnya tersandung kakimu, mungkin aku tidak akan pernah mengenalmu. Segala makian mu kuanggap pelampiasan atas kekosongan dirimu selama ini, tidak perlu takut untuk melewati garis kepercayaan itu, karena aku akan selalu berdiri tegak selalu menunggumu kembali.
"Apa kau akan melihatku hingga bosan?" celetuk Wave yang ternyata telah terbangun dari tidurnya dan mendapati kawan seperjuangannya ini menikmati memandangi dirinya.
"Bagaimana keadaanmu?" tanpa perlu menjawab, Pang justru mengajukan pertanyaan lain untuk Wave.
"Buruk, mungkin."
"Benarkah?!"
"Tidak, bodoh. Hanya sedikit pening." Pang terkesiap, efek dari virus itu mulai menyebar. Tanpa tunda lagi, Pang pun bangkit dan segera keluar dari tenda. Wave yang kepayahan mengatasi pening di kepala pun segera menyusul Pang. Tentu saja dengan ribuan sumpah serapah yang terlontar sembari mengejar Pang.
Side.story.between.TG.and.TGG
Adu argumen antara Pang dan kepala sekolah semakin membuatku pening. Apalagi ketika penawaran yang menurutku hanya menguntungkan sepihak. Ingin sekali aku memukul kepalanya yang dungu itu karena telah menyetujui rencana si licik, namun apa yang kudapat? Semua telah terjadi. Aku bahkan tak mampu menghentikannya.
"Kau tahu betul, aku selalu memihak yang benar." dan kata-katanya kembali membuatku tersadar. Bahwa ia belum menyerah, setidaknya satu rencana ini harus berhasil.
Keyakinan Wave akan keberhasilan Pang memang tidak pernah salah. Mereka berhasil mewujudkan mimpi mereka untuk menghentikan kepala sekolah dalam menciptakan dunianya. Termasuk ketenangan para murid dengan sistem sekolah yang lebih baik. Semua menikmati kebahagiaannya, menikmati hal baru dari masa sekolah akhirnya. Namun, lain hal dengan Wave.
Ketika kedua maniknya kembali menangkap dua orang di dalam kelas tengah bercengkrama, sesuatu dalam dirinya kembali bergejolak. Rasa takut, resah, kecewa, sedih, bahkan rasa sakit yang hanya dapat ia rasakan mulai menyebar. Maniknya memanas seiring dengan rematan tak kasat mata, membuat aliran oksigen terhambat yang mengakibatkan sesak. Tangannya mengepal kuat, bahkan mengucap satu kata pun begitu susah. Dengan sangat berat hati, ia pun angkat kaki dari sana. Meninggalkan dua orang yang sudah lama tak bersua menikmati waktu bersama.
Side.story.between.TG.and.TGG
Ketukan pintu tanpa balasan itu membuat Pang mengernyit heran. Tangannya terjulur untuk membuka pintu itu tanpa aba. Hal pertama yang ia tangkap adalah, dua koper yang sudah siap beserta Wave yang baru saja keluar dari kamar mandi.
"Wave? Kau akan pergi?" pertanyaan Pang dibiarkan mengudara tanpa ingin menjawab. Wave berjalan ke arah kopernya dan langsung menyambar dua koper itu untuk dibawanya. Langkahnya terhenti kala Pang menghadang Wave dengan air muka penuh penasaran.
"Kau akan kemana, huh?"
"Lepaskan."
"Tidak sebelum kau menjawab."
"Bukankah sudah jelas? Untuk apa lagi terus mendekam di goa sekolah neraka ini?"
Ingin sekali Wave kembali berjalan menjauh, namun tangan besar itu kembali menghentikannya setelah menarik lengannya.
"Bisakah kau melepaskanku?!" hilang sudah kesabaran Wave yang amat sulit terkumpul.
"Tidak. Ada apa denganmu? Kau berubah,"
Senyum remeh Wave kembali, bukan. Wave yang lebih dingin dari es telah kembali.
"Kenapa? Kau keberatan? Yang kutahu kau tidak punya hak apapun terhadapku,"
"Ya, aku punya. Karena kau temanku,"
Keduanya saling pandang,
"Teman? Yang benar saja," dengan terburu, Wave meninggalkan kamarnya beserta Pang yang terdiam sejenak. Entah apa yang telah terjadi, hanya merasa ada sesuatu yang salah dengan perkataannya. Begitu sadar, ia kembali mengejar Wave. Berusaha agar lelaki berkaca mata itu berhenti.
Maniknya menangkap sosok berkaca mata itu baru saja memberi salam pada sepasang orang tua lalu langsung memasuki mobil. Sedikit lagi hingga kakinya menapak di hadapan sepasang orang tua tersebut,
"Sawaddee krub, bolehkah aku berbincang sebentar dengan Wave?" kalimat itu meluncur begitu saja sesampainya berhadapan dengan sepasang orang tua itu. Mengabaikan napasnya yang tersengal.
"Sawaddee, tentu sa-"
"Jangan berbicara padanya, Kek."
"Kenapa, Wave? Memang siapa dia?"
"Ah aku te-"
"Dia orang asing. Aku tidak mengenalnya. Ayo, aku sudah sangat lelah."
Kalimat itu meluncur bebas dari Wave di dalam mobil dengan kaca setengah terbuka. Memperlihatkan satu sisi paras dinginnya. Pang mematung di tempat, rasa sesak tiba-tiba menyerang dadanya hingga tak mampu mengucap sepatah kata pun. Mengabaikan ucapan pamit dari dua orang tua itu. Maniknya hanya terpaku pada pemuda tanpa ekspresi yang duduk di kursi penumpang, tak dapat ia lepas hingga mobil itu berlalu. Maniknya otomatis mengikuti arah mobil itu berlalu.
Waktu berlalu untuk sesaat dalam keterdiamannya. Seluruh kenangan mereka seketika menyerbu ingatan Pang tanpa izin. Hingga mengundang genangan bening manik itu.
"SIALAN, PANG! APA YANG TELAH KAU LAKUKAN! BODOH!" teriaknya keras hingga jatuh berlutut. Sementara Pang merutuki kebodohannya, di sisi lain Wave duduk terdiam di kursi penumpang. Mendadak kehilangan fungsi pendengarannya hingga mengabaikan curah kerinduan nenek dan kakeknya.
Ketika otaknya kembali memaksakan kenangan-kenangannya bersama Pang, tanpa sadar bendungan itu bocor hingga meloloskan aliran deras di ujung matanya. Dengan tatapan kosong dan air muka datarnya, ia hanya terdiam sepanjang perjalanan menuju kediamannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
a Part of Chinamon Tea 🔞✅
FanfictionPercaya atau tidak, untuk mendeskripsikan mu itu cukup mudah. Cinnamon tea, hangat walau berada di wadah yang dingin, gabungan sempurna dari rasa teh madu dan aroma khas kayu manis, juga cukup beracun disaat bersamaan. Sangat unik dan tampak menenan...