-<>-
"Ssh... kenapa paginya cepat sekali?" Rain memegang lengan kirinya yang telah dibaluti perban.
"Aish... luka ini, dasar orang sialan!" Rain bangkit dari tidurnya, berjalan menuju kamar mandi dan membersihkan tubuhnya yang agak lengket.
Butuh sekitar sepuluh menit, Rain keluar dari kamar mandi. Dia perlahan membuka perban di lengannya, menatap luka sayatan yang agak panjang di sana.
"Lukanya mau diapain, ya? Huh! Andaikan bukan tanganku yang kena." Rain menghela napasnya sejenak, memilih memakai seragam terlebih dahulu, tidak lupa ia menyamarkan luka di wajahnya dengan bedak.
Tak lama kemudian, Rain beranjak keluar dari kamar, sambil menggandeng tas di bahu kanannya dan hoodie abu-abu yang dilingkarkan di pinggangnya.
"Pagi, Rain. Sini Bunda bantuin perban lukanya," ujar Leni sesaat Rain tiba di lantai bawah.
Rain melirik sekilas, kemudian mengangguk kecil. Leni menuntun Rain ke meja makan, tidak lupa mengambil kotak P3K, lalu membalut luka di lengannya dengan telaten.
"Ok, sudah. Sekarang kita makan, mau Bunda suapin?" tanyanya dengan senyum yang selalu terpatri di bibirnya.
"Tidak perlu, terima kasih. Tante makan saja." Rain menolak dengan wajah datarnya.
Sudut bibir Leni berkedut pelan, dia mengangguk pelan. "Baiklah." Leni berdiri dari duduknya berjalan menuju ke kursinya sendiri.
"Pagi." Sapaan datar dari suara bariton terdengar.
Rain menatapnya sekilas. "Pagi," ujarnya acuh.
"Pagi. Duduk dulu, kamu ingin makan apa?" tanya Leni sembari memegang piring yang kosong.
"Apa saja," balas Rian santai, dia mendudukkan dirinya di samping Leni dan tepat di depan Rain.
Acara sarapan pagi pun berlangsung. Hingga setelah semuanya selesai, Rian angkat bicara. "Ingin menjelaskan?" tanyanya menatap Rain.
Rain meraih tisu di sampingnya dan mengusap sudut bibirnya. "Saat pulang dari markas, ada orang yang menghadang seperti sebelum-sebelumnya, jadi Rain harus bermain-main dengan mereka terlebih dahulu. Itu musuh Ayah, mybe."
Rian mengangguk, dia melirik luka perban di lengan anaknya. "Ayah akan cari tahu, mau diantar?"
Rain terkekeh kecil, menatap ayahnya jengah. "Aku bukan anak kecil, aku masih bisa menyetir mobil dengan tangan kananku, urus saja masalah Ayah." Rain bangkit dan berjalan menuju pintu utama, tak lupa mengambil kunci mobilnya.
"Hah... anak itu." Rian menghela napasnya kasar.
Dia mengambil benda pipih di sampingnya, menekan beberapa digit lalu mendekatkan di telinganya. "Perketat penjagaan anak saya, keadaannya saat ini tidak baik untuk menyetir." Rian mematikan sambungan teleponnya sepihak.
"Kau akan menambahkan bodyguardnya lagi? Nanti dia marah bagaimana?" Rian menoleh ke arah Leni kemudian tersenyum.
"Tidak masalah, dia lebih baik marah padaku, daripada dia harus luka lagi," ujarnya tulus.
"Aku berangkat dulu, ya." Rian berdiri dan mencium pucuk kepala Leni.
"Iya, hati-hati." Rian mengangguk, dan berjalan keluar menuju mobilnya yang telah terparkir.
Di sisi lain, Rain mengendarai mobil Aston Martin Vantage tanpa kesusahan. Ayolah tangan kirinya tidak patah, hanya lecet sedikit.
Tidak lama kemudian, mobilnya memasuki pekarangan sekolah. Rain memarkirkan mobilnya di parkiran siswa, dia keluar dari mobilnya tidak luput dari pandangan siswa-siswi lain yang berlalu-lalang di sekitar parkiran. Baru sehari dia bersekolah, dia sudah hamper dikenal oleh semua pelajar yang lain, apalagi perselisihannya dengan Neon kemarin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Raini Delasta
Teen FictionRain, begitu mereka mengenalnya. Gadis misterius yang memiliki sebuah rahasia yang hanya diketahui oleh keluarga dan seorang yang penting untuknya. Memasuki lingkungan baru untuk menyelesaikan tujuannya. Rain tidak menyukai hal yang tak penting. Ta...