bagian III (epilog)

15 6 5
                                    


E p h e m e r a l•
1332 kata

Ini aku, Aster yang dulu kalian tahu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ini aku, Aster yang dulu kalian tahu. Omong-omong sudah lima tahun terakhir kita bertemu, itu cukup lama kawan. Umurku genap 20 tahun saat ini, seorang mahasiswi biasa di salah satu universitas swasta di kota Bandung.

Bergelung dibidang farmasi membuatku mampu untuk melupakan dunia musik. Tidak, aku bukannya seratus persen menghindari. Dirumah aku masih bermain piano yang mama beli, sejak aku kehilangan— biola.

Biar kuceritakan kembali sedikit tentang derita lima tahun lalu.

Ingatkan?

Polisi datang kerumah, tepat setelah aku terbangun diatas sofa. Dikipasi Mama dengan hidung tersumbat bau minyak kayu putih. Aku ingat, seperti apa rasanya saat hatiku hancur, lebur bahkan sudah tidak berbentuk.

Aku menangis hampir seharian, melihat semua proses dimana mayat Gema di letakkan di kantung jenazah. Di taruh dalam ambulance dan pergi dibawa ke rumah sakit. Mama menahanku mati-matian sambil berderai air mata saat aku merangsek maju nyaris mengejar ambulance tanpa alas kaki. Don adikku, dia diam di pojokkan sofa, bersikap benar untuk tidak menggangu ku yang tantrum saat itu.

Tangisku memecah obrolan diantara Mama dan pihak kepolisian. Mama marah, dan meminta mereka untuk berhenti menginterogasi ku barang satu jam. Aku beranjak dari ruang tamu ke kamar, mengunci pintu lalu menangis sampai sore diatas kasur.

Mungkin saat itu Mama sudah berdalih jika Gema adalah temanku yang tidak memiliki orang tua. Maka dari itu polisi hanya menanyaiku beberapa hal tentang penyebabnya. Sebelumnya mereka sudah mengenal siapa ayahku, pihak polisi percaya dan menyelesaikan kasus ini tanpa campur tangan media. Mama yang mengurus segala pemakaman Gema, di TPU terdekat.

"Hanya temanku, kami baru kenalan ... Dia datang tiba-tiba ... Lalu pergi" hanya kalimat itu yang berhasil kuucapkan. Mama mengerti untuk tidak memarahiku, bertanya macam-macam, bahkan tidak menyadari hilangnya biolaku. Mungkin beliau tahu— tapi tidak bertanya dan malah membelikanku satu set piano. Katanya permintaan maaf dari Ayah karena tidak bisa pulang untuk melihat keadaan. Padahal aku baik-baik saja, 'kan bukan aku yang pergi.

"Sini duduk, kamu diliatin orang-orang Aster." Seseorang mengagetkanku dari belakang, bernada serak khas pria yang sangat kukenal. Dia menggangu narasiku! Memutar badan, aku berlari kecil menuju bangku panjang di pinggir trotoar. Seseorang menantiku disana, tersenyum kecil dan menyambut dengan tepukan bahu saat aku bersandar disampingnya.

Dia Saka, ingatkah? Sahabatku yang dulu kalian tahu. Iya, kini Saka kekasihku.

Jangan kaget, aku sebetulnya masih heran dengan dia saat tiga tahun lalu menyatakan perasaannya. Menggelikan, tapi manis. Sangat manis dan cerah. Saka yang membimbingku menuju dunia baru, menutupi derita permanen hati dengan ketulusan yang dia beri. Kami tidak pacaran selayaknya orang lain, tidak ada makan malam di rooftop atau berlibur dipantai.

EPHEMERAL #1 [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang