1

819 69 12
                                    

Dor!

Dor!

  Tangan mungil itu bergetar hebat, saat ia berhasil mengeluarkan 2 peluru dari pistolnya. Bukan hanya tangannya, seluruh badan gadis berusia 10 tahun itu bergetar hebat.

  Ini sudah hari ketiga ia berlatih menembak tetapi, tetap saja sama. Tembakan yang meleset, juga rasa takut yang semakin menjadi-jadi.

  "Ini sudah hari ketiga, mengapa masih meleset?" Kepala gadis mungil itu menunduk mendengar suara dingin dari ayahnya. Tubuhnya semakin bergetar saat tangan kekar ayahnya mengangkat dagunya.

  Ia tidak boleh menangis! Tidak boleh!

Mata tajam ayahnya begitu menakutkan baginya. Ia lebih suka ditatap oleh binatang buas dari pada harus berhadapan dengan mata ayahnya. Gadis mungil itu tidak kuat, ia memejamkan matanya berusaha menghalang cairan bening yang siap meluncur.

  "Jangan terlalu keras, dia masih anak-anak." Jonson selaku sahabat juga tangan kanan dari William menepuk bahu sahabatnya.

  Huff.

  "Buka matamu, princess." Kepala gadis itu menggeleng, ia sangat takut jika ayahnya akan melihat cairan bening itu.

Tubuh mungil itu terasa melayang, dengan perlahan kelopak mata indah yang ditumbuhi bulu mata yang lebat itu terbuka, menampakkan bola mata dengan hazel berwarna biru kecoklatan. Perpaduan antara mata coklat terang milik William dan mata biru kehitaman milik ibunya.

  William menggendong putri kesayangannya dengan penuh cinta. Ia memberi kecupan di kedua pipi kemerah-merahan putrinya dengan kasih sayang. Melihat wajah putrinya secara dekat, ia teringat akan wajah almarhumah istrinya. Wajah Adira begitu mirib dengan putri mereka. Bahkan hampir sama, hanya hidung mancung milik William yang terbentuk di wajah cantik putrinya yang lain, itu Adira--istrinya.

  "Hey, jangan nangis sayang. Ayah cuma nanya, maafin ayah yah," William menghapus kristal bening yang terus saja mengalir di pipi putrinya. Meski tak ada isakan ia tahu, bahwa putrinya begitu ketakutan.

  Gadis itu tak tahan, ia menangis kencang dan langsung memeluk leher ayahnya.

   Ia takut! Sangat takut!

  William tersenyum simpul, ia mendekap tubuh mungil putrinya dengan erat. Ah, rasanya seperti memeluk tubuh Adira mendiang istrinya. Melihat putrinya yang sedang menangis, ia kembali teringat sikap manja dan cengeng istrinya itu. Ia pun sadar, tak mungkin putrinya tak mengambil separuh sifat dari ibunya, rasanya tak masuk akalkan?

  "Syut... Princess-nya ayah kok cengeng banget sih? nanti bunda di langit ikut nangis loh."

  Isakan itu meredah, gadis mungil itu segera menghapus air matanya saat mendengar kata 'bunda'.

  William tersenyum tipis, ia kembali mengecup kedua kelopak mata putrinya yang terlihat memerah karena menangis.

  "Eca, udah ngga nangis lagi ayah. Bunda ngga akan nangis kan di sana?" pertanyaan polos itu keluar dari bibir mungil putrinya. William menatap sendu kedua hazel yang masih berkaca-kaca itu, lalu mengangguk.

  "Senyum lagi dong." Senyuman indah itu merekah menampakkan lesung pipi di sebelah kiri.

  William juga Jonson tersenyum, melihat senyum itu merekah.

  Nikmat Tuhan mana lagi yang engkau dustahkan? Jonson membantin.

  "Saat berumur 10 tahun saja putrimu sudah secantik ini, bagaimana jika ia besar nanti? Ia pasti akan menjadi incaran para pria, William." Jonson berucap dengan jujur, William hanya terkekeh pelan sebagai respon.

MAFIA GIRL ||ALEXSANDRIA||Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang