"Yacht, aku tak bisa melakukannya. Sepuluh tahun aku berpisah dengan keduanya. O, mereka pasti sangat gagah dan tampan! Dee dan Tee-ku!" Plan menghentikan bicaranya. Ia duduk di tepi ranjang mengambil foto kedua anak kembarnya dan melihatnya dengan penuh antusias dan kerinduan.
"Oooo, aku selalu merindukan mereka. Aku sangat ingin bertemu dengan mereka. Tapi, aku tak mau bertemu Mean. Maksudku, Yacht, aku masih mencintai dia. Sepuluh tahun ini hanya dia yang ada di hatiku. Lagipula, ooo, bagaimana ini! Apakah kedua anakku tahu tentang aku, maksudku tahu bagaimana diriku!" Plam terus berbicara meski tak bersambung satu dengan yang lainnya.
Yacht, asisten pribadinya hanya menggelengkan kepalanya. Ia kemudian duduk di sebelah Plan dan mengembuskan napasnya.
"Aku ingin jujur tentang beberapa hal, khususnya yang berkaitan dengan anak-anakmu," sahut Yacht lagi. Wajahnya memang agak tegang. Ia takut Plan marah.
Plan mengernyitkan alisnya sambil menatap Yacht.
"Jangan marah dan jangan menyela sampai ceritaku selesai, na!" sahut Yacht lagi. Plan semakin penasaran. Ia menganggukkan kepalanya tapi ekspresi di wajahnya masih menunjukkan hal yang sama.
Yacht lalu menjelaskan bahwa sebenarnya ia selalu berkomunikasi dengan anak-anak Plan dan Mean melalui Sammy, pengasuhnya. Jadi, sebenarnya, kedua anak Plan sudah tahu tentang sosok ibunya, pekerjaannya dan kegiatan keseharian ibunya itu.
Mereka bahkan follow Plan di instagram agar mereka tidak kehilangan jejak ibunya dengan nama alias. Anak-anak Plan juga sudah tahu tentang alasan perpisahan dia dengan Mean. Bukan karena mereka saling membenci, melainkan karena keadaan mereka yang tak memungkinkan untuk bersama sebab saat itu usia mereka masih sangat muda. Plus, mereka datang dari latar belakang yang berbeda sehingga orang tua Mean menentang hubungan mereka.
Plan kaget saat mendengar penjelasan Yacht. Di satu sisi ia bahagia sebab kedua anaknya sudah mengetahui tentang keadaan dirinya dan sama sekali tak membencinya. Namum, di sisi lain, ia juga sedih sebab ia tak melakukan hal yang sama seperti yang mereka lakukan kepadanya.
Terus terang, selama sepuluh tahun ini Plan berusaha untuk melupakan Mean, cinta pertama dan terakhirnya. Ia sangat takut, jika ia mencari tahu tentang kedua anaknya ia akan tahu juga tentang Mean dan ia tak akan bisa beralih darinya.
Selain itu juga memang ada ancaman dari ibunya Mean yang melarang Plan untuk berkomunikasi dengan kedua anaknya dalam bentuk apapun atau ia akan mengirim kedua anaknya ke panti asuhan. Plan sangat takut dan ia khawatir dengan keadaan kedua anaknya itu, jadi ia memutuskan untuk tidak menghubungi kedua anaknya.
Lalu mengapa tiba-tiba Plan diminta untuk bertemu dengan mereka kembali setelah sepuluh tahun?
Itu karena Mean akan menikah dengan seorang perempuan yang bernama Jani dan kedua anaknya akan mengizinkan ayahnya menikah jika Mean mengundang Plan dan membiarkan Plan tinggal bersama mereka selama sebulan. Keputusan itu sudah final dan jika Mean tak mau mengikuti keinginan mereka, Dee dan Tee akan kabur dari rumah dan mengancam akan pergi kepada Plan dan tinggal selamanya dengan Plan.
Ibu Mean sudah meninggal sekarang. Fahsarika, kakak Mean mengambil alih semua kepemimpinan keluarganya. Sekarang keputusan ada di tangan Fah. Sebagai anak bungsu, Mean tak bisa berbuat banyak. Ia harus ikut aturan Fah sehingga mau tak mau ia juga menuruti keinginan anaknya.
Berbeda dengan ibu Mean, Fahsarika menyukai Plan. Plan junior Fah di klub memasak sewaktu di universitas. Sebenarnya melalui klub memasak ini, Mean mengenal Plan sebab Mean selalu menjemput kakaknya sewaktu dulu dan karena itulah mereka sering bertemu secara tak langsung.
"O, Yacht aku menjadi lebih gugup. Bagaimana kalau kau temani aku saja ke Bangkok, na! Aku khawatir dengan keadaanky sendiri, " ujar Plan lagi dengan wajah yang cemas.
"O, ayolah Plan! Apa yang kau cemaskan? Pertama, ibu Mean sudah meninggal. Tak ada lagi masalah. Kedua, yang kau temui bukan Mean melainkan anak-anakmu. Kau harus menggunakan kesempatan ini untuk lebih dekat dengan mereka. Lagipula, Phi Fah juga sangat ingin bertemu denganmu, uhm... setidaknya itu yang kudengar dari Sammy," sahut Yacht sambil menepuk bahunya.
"Bagaimana kalau aku tak bisa menaham diriku saat bertemu dengan Mean. Kau tahu aku masih mencintainya," ujar Plan lagi.
"Kupikir Mean juga sama. Tapi entahlah! Aku tak mengerti mengapa ia memutuskan untuk menikahi orang lain dan tidak mencarimu. Tapi, sudahlah! Jika takdir kalian bersama, kalian pasti akan bersama," ujar Yacht lagi.
"Yacht, kau tak tahu, Mean membenciku karena aku memilih meninggalkan dirinya. Dulu ia selalu bilang untuk mengatasi masalah kami bersama, tapi aku terlalu takut akan ancaman ibunya yang menyakiti kedua anakku, jadi, aku...," ujar Plan dan ia tak melanjutkan bicaranya.
"Aku paham. Plan, sekarang kehidupanmu stabil, karirmu sebagai seorang konsultan kuliner bagus. Kau bahkan bisa tinggal di Inggris di Kawasan Elit seperti Wimbledon sekarang. Itu membuktikan kau seseorang sekarang. .... Dan jika kau sadari kau sangat memukau. Tak ada yang akan menolakmu, menghindari pesonamu, dan itu termasuk Mean." Yacht meyakinkan. Mereka berdiri berhadapan.
"Dengar, aku tahu Mean! Kau harus jual mahal di depannya. Kau paham! Jangan sampai tergoda dan pada saat yang sama tunjukkan pesonamu! Jangan kalah dengan calon istrinya itu," sahut Yacht lagi.
"Astagaa! Kau seolah memintaku untuk merebut Mean darinya. Aku tak mau jadi pelakor, Yacht! Sudahlah! Aku sudah berjanji bahwa aku harus bisa menahan diriku dan tujuanku hanya anak-anak! Aku tak akan kembali kepada Mean. Dia sudah menentukan pilihan," sahut Plan lagi.
"Doakan aku, Yacht! Kau yakin tak akan ikut!" tanya Plan lagi.
"Siapa yang akan mengelola jadwalmu dan semuanya jika aku ikut denganmu? Pergilah! Aku yakin kau bisa mengatasi semuanya," ujar Yacht lagi.
"Baiklah!" ujar Plan.
Tepukam di bahu Plan dari Yacht dengan tujuan memberikan semangat mengakhiri pembicaraan mereka malam itu. Keesokan harinya, Plan segera berkemas. Ia akan terbang ke Bangkok dan tinggal di Mansion Phiravich selama sebulan dengan kedua anaknya. Mean jug ada di sana. Begitu pula anggota keluarga Phiravich lainnya.
Semoga semuanya berjalan sesuai rencana. Begitulah pikiran Plan sebelum ia pamit kepada Yacht dan menaiki pesawat.
Bersambung