Mobil Weir berhenti di depan rumah danau. Plan dan sang sopir keluar dsri mobil. Mereka berdiri berhadapan di ujung jembatan masuk yang menghubungkan jalan utama dan pintu rumah.
"Terima kasih atas waktunya, juga bunganya," ujar Plan sambil tersenyum.
"Jangan sungkan. Telepon aku kalau kau luang. Kita bisa bicara banyak hal. Lain kali aku akan mengajakmu ke ladang anggurku. Kau tak boleh menolaknya dan kau bisa bawa anak-anakmu juga. Aku ingin kenal dengan mereka juga," sahut Weir sambil mengelus kepala Plan pelan.
"Baiklah, terima kasih," ujar Plan lagi. Ia membiarkan tangan Weir bergerak lembut di kepalanya.
"O, ya, tapi lus aky akan berangkat ke Prancis. Ada urusan. Aku akan kembali akhir Minggu. Jika kau membutuhkan bantuanku, hubungi aku pada waktu itu, na!" sahut Weir lagi dengan tatapan lembut sejalan dengan senyumnya yang lembut pula.
"Iya, terima kasih, Phi," sahut Plan lagi.
"Boleh aku memelukmu?" tanya Weir sambil memandang Plan.
"Phi, aku... uhm," sahut Plan sambil menunduk.
"Bukan sebagai mantan kekasih, tapi seperti kakak kepada adiknya. Kurasa itu yang kau inginkan dari hubungan kita, bukan?" Weir menatapnya lembut.
"Uhm, oke," lirih Plan. Dan Weir langsung memeluk tubuh mungil itu dengan erat.
"Baiklah, selamat malam. Fandinaa," sahut Weir. Ia melepaskan pelukan dan sekali lagi mengelus kepala Plan.
"Fandinaa, Phi!" jawab Plan.
Plan berdiri di ujung jembatan sampai mobil Weir lenyap di telan kegelapan. Ia kemudian berjalan menuju rumah dan membuka pintu lalu menutupnya kembali. Sejenak ia berdiri di sana membuka sepatu seraya mencium bunga sambil tersenyum. Ia baru saja akan berjalan menuju dapur saat sebuah suara yang lama ia rindukan menyapanya dari ruang tengah.
"Apa kabar, Plannie?" Mean menyapanya pelan. Plan menghentikan langkahnya. Ekspresi di wajahnya dibuat setenang mungkin.
Ia menoleh dan menatap Mean dan jantungnya yang sudah lama bisa tenang itu kembali berdegup kencang. Lelaki yang ia cintai duduk di sofa dengan gelas anggur di tangannya dan menatapnya dingin.
"O, haloo! Kupikir kau tak akan datang ke sini," ujar Plan sambil berusaha menormalkan jantungnya.
"Aku tak menyangka kau dan Phi Weir berhubungan," sahut Mean. Ia menyimpan gelas anggurnya di atas meja dan berjalan mendekati Plan.
"Aku dan Weir....! Aaah," sahut Plan. Ia mulai paham bahwa kemungkinan besar Mean melihat mereka dari dalam rumah. Plan tak berkomentar lagi. Tak ada yang ingin dikatakannya. Lagipula, itu bukan urusan Mean.
"Kau kenal Weir?" Plan mengalihkan topik.
"Sesama pebisnis harus saling tahu, Plannie," ujar Mean lagi.
"Oo, uhm," gumam Plan.
"Ada apa? Phi Fah bilang kau ingin bicara denganku?" tanya Mean langsung. Plan agak terkejut. Ia tahu Mean tak akan mungkin datang untuk sekadar menemuinya karena rindu, pasti ada kaitannya dengan perintah Fah atau keperluan lainnya.
"Sebenarnya kita bisa bicarakan besok. Ini sudah malam." Plan berbicara.
"Besok aku sibuk. Ada fitting dan yang lainnya," ujar Mean masih dengan nada dingin.
"Begitu. Baiklah, kalau begitu msri kita bicara," ujar Plan. Mereka duduk berhadapan.
Plan mulai menjelaskan seperti yang ia katakan kepada Fah. Bahkan ia menambahkan, ke depannya, jika Mean mengizinkan, ia ingin anak-anak juga bersamanya dalam waktu tertentu.
"Kau tak perlu menjawabnya sekarang. Aku tahu aku mungkin meminta terlalu banyak," sahut Plan lagi. Ia berkata seperti itu sebab Mean diam dan tak merespons yang ia utarakan.
"Rumah ini tak membuatmu merasakan sesuatu?" Mean mengalihkan pembicaraan. Ia menatap Plan dalam.
Plan langsung terkejut. Dan itu tak bisa disembunyikan dari wajahnya. Mean benar. Rumah Danau sarat akan kenangan mereka. Mereka melakukan untuk yang pertama kalinya di rumah itu. Mereka terlalu sering bercinta dan mengukir kenangan manis di sana. Pertengkaran mereka yang pertama juga di sana.
"Kau tak jawab pertanyaanku," sahut Mean.
"Jam berapa besok kau fitting? Aku akan menyiapkan anak-anak," ujar Plan. Ia dengan jelas menghindari pertanyaan.
"Mengapa kau tak bilang bahwa ibuku mengancammu dan memintamu meninggalkan aku dan kedua anak kita?" pertanyaan Mean semakin acak.
Plan membelalakkan matanya. Ia menatap Mean dengan perasaan tak percaya.
"Kau tahu? Siapa yang memberitahumu? Phi Fah?" Plan langsung berdiri dan mendekati Mean.
Mean beranjak dari tempat duduknya. Ia menatap Plan dalam dan serius.
"Jadi, itu benar. Kau takut kehilangan Dee dan Tee dan memilih pergi meninggalkan kami?" Ekspresi di wajah Mean berubah seketika. Tatapan hangat itu kembali setelah sekian lama.
"Plan, jawab!" Mean memegang kedua bahunya dengan agak kuat. Plan memalingkan wajahnya sejenak lalu menatap Mean.
"Yang sudah berlalu biar saja berlalu. Jangan menyalahkan ibumu atau siapa saja. Jalani hidupmu sekarang. Kita masih diberikan kesempatan untuk bertemu dan masih bisa berteman. Jangan sia-siakan, na!" sahut Plan lagi.
"Jadi, itu benar!" Wajah Mean mendadak sedih. Ia melepaskan pegangannya di bahu Plan.
"Pulanglah! Sudah malam. Aku lelah. Sebaiknya kau juga istirahat," sahut Plan.
"Pembicaraan kita belum selesai," sahut Mean.
"Aku tak akan pergi ke mana-mana. Waktuku masih panjang dengan anak-anak," ujar Plan lagi. Mean menganggukkan kepalanya.
Ia berjalan keluar dan Plan mengantarkannya. Ia berjalan di belakang Mean. Tetiba Mean berbalik dan menangkup wajah Plan dan menciumnya. Plan melotot. Ia mendorong Mean agar bisa lepas darinya, tapi isapan bibirnya sekuat tangkupan kedua tangan di wajahnya.
Keduanya memejamkan mata dan mereka bergamitan cukup lama sampai akhirnya melepaskan dan saling menatap mesra.
"Jangan lakukan lagi!" desah Plan sambil mengatur napasnya. Ia berlari masuk ke dalam rumah.
Mean diam tertegun, berdiri di tengah jembatan sambil mengelus bibirnya.
"Astagaaa! Apa yang sudah kulakukan?" sahutnya kepada dirinta sendiri. Setelah itu, ia berjalan memasuki mobil dan melajukannya pulang.
Bersambung