Chapter 11

496 54 9
                                    

Percintaan di tenda menjadi pembuka pada malam-malam lainnya yang tak lagi bisa terhitung jumlahnya. Itu seperti rutinitas joging di kala pagi yang tak boleh dilewatkan jika tubuh ingin tetap bugar.

"Sudah cukup! Cepat pergi! Sammy dan anak-anak akan kembali sebentar lagi," sahut Plan dengan cepat bangkit dari tidurnya dan mengambil pakaian Mean memberikannya kepada Mean.

"Baiklah," nada Mean lemas. Dengan cepat ia berpakaian dan kemudian memeluk Plan dari belakang dan mencium pucuk kepalanya. Mereka berjalan keluar kamar dan dengan cepat Mean berjalan ke mobil dan melajukannya menjauhi rumah danau.

Begitulah. Mereka melakukannya secara rahasia. Bahkan saat mereka makan malam dengan keluarga Jani dan Plan didampingi oleh Weir, mereka masih sempat melakukannya di kamar kecil restoran.

Waktu terus berjalan dan akhirnya sudah selesai di penghujung bulan. Plan harus mengucapkan perpisahan kepada anak-anak. Hanya sementara. Mereka akan datang dengan Sammy ke Wimbledon saat Mean dan Jani pergi berbulan madu.

"Mae akan menunggu kalian. Tetap berkabar, na!" ujar Plam sambil memeluk mereka satu demi satu. Setelah itu, ia menatap Sammy dam berterima kasih dan mereka berpelukan.

Mean dan Fah tak mengantarkan Plan. Mereka tak bisa melakukannya atau keluarga Jani akan merasa tak nyaman karenanya. Lagipula, mereka harus mempersiapkan pernikahan yang memang hanya tinggal dua minggu saja.

Sekali lagi, mereka saling memeluk dan kemudian mengucapkan selamat tinggal dan sampai jumpa. Plan memasuki chek-point dan melakukan prosedur keberangkatan dan menunggu sampai akhirnya ia memasuki pesawat.

Ia duduk di kursinya. Kali ini VVIP. Fah membeli tiket itu untuknya. Meski awalnya Plan menolaknya, tapi Fah bersikeras agar Plan menerimanya dan akhirnya Plan menyerah pada keinginannya. Ia berbenah dan kemudian memposisikan dirinya di tempat duduk dan membuat dirinya sendiri nyaman.

Plan tiba di Wimbledon pada malam hari. Pelayan mengambil semua barangnya dan membenahinya. Plan tahu ia tak akan bertemu dengan Yacht sebab Yacht tengah di Italia menangani bisnisnya. 

Keesokan harinya, Plan memulai rutinitasnya seperti biasa. Sekarang kegiatannya bertambah. Ia berkomunikasi dengan kedua anaknya dulu sebelum bekerja san itu menjadi bagian dari rutinitas harian dirinya. Setelah itu,  ia mulai bekerja pada laptopnya di ruang kerja.

Ia tengah asyik bekerja saat ia mendengar bunyi ketukan di depan pintu. Ia mempersilakan sang pelayan masuk dan kemudian diketahui darinya bahwa seseorang menunggu dirinya di ruang tamu.

"Klien?" tanya Plan. Seingatnya dia tak pernah buat janji dengan klien manapun sebab ia tahu bahwa pada tanggal itu adalah sehari setelah ia pulang dari Thailand dan ia ingin beristirahat.

"Maafkan aku, aku tidak tanya. Kalau begitu, biar aku tanyakan dulu," sahut  pelayan dengan ramah.

"Tidak apa-apa. Biar aku saja yang menemuinya. Tolong buatkan minuman saja!" sahut Plan.

"Baik," ujar pelayan dan ia kemudian pamit pergi.

Sementara itu, Plan merapikan diri dan ia kemudian keluar dari kamar kerjanya dan menuruni tangga. Ia berjalan menuju ruang tamu dan menatap punggung sang lelaki yang tengah menatap lukisan dirinya.

"Ada yang bisa kubantu?" tanya Plan menggunakan bahasa Inggris. Sang lelaki berbalik dan Plan membelalakkan matanya.

"Meaan!" pekiknya.

"Aku merindukanmu," sahut Mean sambil mendekati Plan dan memeluknya.

"Baaaa! Kau sudah gila! Pernikahanmu hanya tinggal tiga hati lagi. Bagaimana kau bisa ada di sini?" Plan masih dalam kekagetannya.

ALWAYS AND FOREVERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang