Hidayah Di Teras Gereja

56 2 4
                                    


By. Nurjanatil Husni

Saat aku jatuh, semua orang hanya mengejek bahkan menertawakanku. Luka yang tersisa kubawa pergi. Aku sangat kacau, pikiranku tak jernih lagi. Aku meninggalkan rumahku dengan rasa marah tanpa tujuan, aku berjalan dengan langkah yang tidak berujung. Hujan deras turun membasahi bumi yang seolah sedang merasakan sakit yang mengguncang jiwaku. Orang tua yang selama ini ku hargai, yang aku pikir sangat menyayangiku ternyata seolah memperalat dan  memanfaatkanku saja. Aku selalu memanjakannya dengan harta yang kupunya saat itu. Sekarang semua berubah dalam waktu beberapa hari. Saat aku di PHK ( pemutusan hak kerja) karena perusahaan bangkrut, mereka mulai memakiku, mengataiku orang bodoh dan menghitungi segala biaya yang pernah mereka keluarkan untuk membiayai hidup dan pendidikanku.

Semua sangat menyakitkan untukku, aku seoalah bukan anak mereka, aku seolah anak pungut yang mereka besarkan untuk memenuhi kebutuhan mereka di hari tua. Banyak bayangan masa lalu yang menurutku berbanding terbalik dengan yang kusaksikan beberapa hari ini. Selama ini aku tidak pernah mengecewakan mereka, bahkan disituasi tersulitpun aku berusaha tidak melibatkan mereka. Karena aku sadar perjuangan mereka membesarkanku tidak akan bisa kubalas dengan apapun. " Tuhaaaan, aku kecewaaaa" teriakku ditengah sepi.

Seiring dengan teriakanku, aku mendengar rohani jemaat gereja, alunan yang begitu damai bagi para penganutnya. Saat ini semua sangat tidak baik-baik saja. Aku duduk di teras gereja, dengan memeluk lutut. Kepala kubenamkan dalam dekapan lutut dengan erat. Aku masih terisak, airmata tak kunjung berhenti, mata sembab membuktikan bahwa aku menangis sudah berjam-jam. Tiba-tiba seseorang mendatangiku.

" Hy, Nona, apa yang terjadi?" sapa seorang wanita

Suaranya mengalihkan perhatianku. Aku mengangkat kepala dan melihat ke arah sumber suara. Aku lihat seorang berpakaian tertutup seperti hijab, tapi aku tahu itu bukan hijab seperti dalam agamaku. Mereka menamainya dengan velum atau kerudung suster. Wanita yang terlihat begitu ramah itu mulai mendekatiku. Dia adalah seorang Biarawati katolik. Dia duduk disampingku dengan tersenyum.

" Hey, kenapa kau menangis? Mengapa tidak bergabung ke dalam?" tanyanya

" Maaf, aku bukan katolik." Jawabku

" Oh, Maaf, aku pikir..." dia terdiam sejenak

" Tidak apa-apa." aku tersenyum palsu

" Lantas mengapa kau menangis di sini? Apakah kau sudah meragukan keyakinanmu, Sehingga kau datang ke tempat yang salah?"

" Entahlah, aku tidak tahu apa yang sedang ada dalam pikiranku!" jawabku

" Nona, nampaknya kau sedang patah hati, siapa namamu Nona?

" Aku Zafira Hazel."

" Aku Gabriela Celine, biasanya para jemaat gereja memanggilku Bunda Celine. Untukmu panggil saja aku celine. Sudahlah, akhiri tangismu. Jika kau masih saja menangis maka orang akan menganggapmu lemah. Baiknya kau coba bercengkrama dengan Tuhanmu. Barangkali, saat kebahagiaan datang kau sempat melupakan-Nya. Siapa yang membuatmu patah hati? Apakah kekaksihmu?

" Bukan Celine, ini bahkan lebih sakit dari itu," cetusku

" Lalu, siapa?"

" Orangtuaku, mereka memakiku dan menghinaku saat aku benar-benar terjatuh. Aku merasa jika aku bukanlah bagian dari keluarga mereka. Semua terasa sangat menyakitkan Celine."

" Jangan begitu, jangan sampai kau menyandang status anak durhaka dengan semua masalah yang datang padamu. Ikhlaskan yang terjadi, mungkin Tuhanmu sedang rindu dengan rintihan doa taubatmu."

Nasehat Celine seolah sangat menenangkan dan menguatkanku. Aku mengingat bahwa kesibukanku selama ini benar-benar membuatku terlalu sibuk dengan dunia. Aku yang lupa bersyukur dengan yang kupunya dan kuperoleh selama ini. Dia benar, seberat apapun masalah yang sedang dihadapi jangan sampai kita datang ke tempat yang salah. Tempat yang benar adalah kembali pada Tuhan yang maha segalanya. Karena, Tuhan tidak akan menguji di luar kuasa hambanya. Bahkan Tuhan telah mempersiapkan rencana indah untuk hamba yang selalu bersyukur dan mengingat-Nya. Kita hanya perlu bersabar untuk mendapatkan semuanya.

Aku menghentikan tangisku, aku berusaha meredam emosi, luka dan rasa kecewa. Aku memeluk Celine dan mengucapkan terimakasih atas nasehatnya.

" Celine, terimakasih telah mengingatkanku. Meskipun kita tidak seiman tapi kata-katamu telah memanggil nuraniku untuk selalu kembali pada Tuhanku." Aku masih mendekapnya

Jangan menyalahkan Tuhan setiap apapun yang terjadi, karena sejatinya salahmu yang membuat Tuhan mengujimu. Bahkan saat kita berada dalam ujian dan putus asa pun Tuhan bahkan mengirimkan orang yang akan mengingatkanmu. Percayalah Tuhan tidak pernah meninggalkanmu meskipun kamu berulang kali melupakan-Nya. Tuhan itu adil, saat Tuhan rindu dengan rintihan dari doa para hambanya, maka Tuhan akan mengujinya dengan beberapa ujian. Sakit memang dengan ujian yang datang tapi, tiada yang tahu bagaimana sakitnya Tuhan saat sesuatu yang Dia ciptakan mulai melupakan dan meninggalkan-Nya.

Aku berpamitan kepada Celine. Aku kembali pulang, aku berjalan dengan tampang lusuh sendiri tapi, suasana hatiku sudah lebih baik meskipun belum seutuhnya. Dari kejauhan sudah kulihat gerbang rumah yang cukup sunyi. Rumah yang kutempati saat ini adalah hasil jerih payahku selama ini. Kinerja yang cukup baik mengantarku untuk menjadi asisten pribadi bosku di sebuah perusahaan. Tapi, nasib tiada yang tahu, perusahaanku mengalami kerugian besar karena ditipu dan aku harus merelakan bahwa aku bukan siapa-siapa lagi.

Dulu aku masih ingat tinggal di rumah yang sangat sederhana, dengan orangtua hanya penjual gorengan. Saat itu aku masih sekolah, teman-teman kerap mengejek kemiskinanku. Namun, berbeda dengan para guru yang sangat menyayangiku karena aku selalu jadi pemuncak kelas. Seiring berjalannya waktu aku dapat melanjutkan pedidikanku ke jenjang yang lebih tinggi. Aku bisa bekerja di perusahaan media dengan ijazah yang kupunya. S1 Ilmu Komunikasi. Aku sangat bahagia bisa mengangkat derajat keluarga dan memboyong orangtuaku ke rumah yang saat ini kutempati.

Langkahku semakin dekat menuju rumah, cahaya remang lampu teras dan bayangan orang mondar mandir di balik jendela membuat aku takut memasuki rumah itu. Aku menarik nafas, dan berusaha tenang.

" Assalamualaikum, Ma, Pa, Aku pulang." sembari mengetuk pintu

" Waalaikumussalam." Pintu terbuka seorang lelaki paruh baya keluar

" Kau darimana saja, kenapa kau selusuh ini?" tanya papa

" Pa, maafkan aku menyusahkan kalian, aku janji aku akan mencari pekerjaan yang lebih baik setelah ini." Ucapku dengan penuh keyakinan

" Nak, maafkan Mamamu ya. Mungkin ucapannya sangat keterlaluan melukaimu. Tenangkan dirimu, Papa menunggumu pulang dari tadi. Papa kawatir sesuatu terjadi padamu, Papa tahu tadi kamu pergi dengan kemarahan dan putus asa. Maafkan Papa juga tidak bisa menjagamu dengan baik. Papa takut bersikap salah ke Mamamu." Papa tersenyum

Aku memeluk Papa dengan erat, ternyata papa masih peduli denganku. Setelah melepaskan pelukan papa aku pamit ke kamar untuk membersihkan diri dan berniat untuk salat magrib. Ternyata aku benar- benar telah lupa bahwa aku adalah seorang hamba. Tanganku gemetar mengeluarkan mukenah dari lemariku, aku ingat bahwa mukenah ini adalah pemberian Papa dua tahun lalu dan aku terakhir mngenakannya idul fitri tahun lalu. Aku benar-benar telah lupa kewajibanku jadi seorang hamba.

" Tuhan, Apakah Engkau masih menerima aku? Apakah Taubatku masih pantas Engkau terima, setelah apa yang aku lakukan selama ini?" Rintihku dalam ketakutan

Setelah berwuduk aku salat magrib, hatiku jauh lebih tenang. Aku berdoa dengan beruraian air. Setelah itu aku membaca  Alquran. Rasa penyesalan karena selama ini kitab suci  hanya tersimpan tanpa kubaca. Tuhan tiada yang kuharapkan selain pengampunan. Terimakasih engkau telah mendatangkan hidayah itu, aku bersyukur aku masih dapat kesempatan untuk bertaubat. Aku tidak dapat membayangkan jika aku tidak bertaubat sebelum ajal menjemput maka, aku akan menjadi orang yang paling merugi di dunia ini.

end

Batusangkar, Selasa, 2 Maret 2021

A Series Of HopesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang