Deretan kendaraan masih riuh memenuhi jalanan. Pada setiap bahu-bahu jalan, semua manusia saling berkutat dalam aktivitasnya. Ada yang sekadar gabut, ada yang malas untuk kembali, ada yang menuntut kewajiban untuk memenuhi tanggungannya.
Sudah jam 2 dini hari, Jendral belum berniat untuk bangkit dari tempat duduknya. Sebatang rokok masih menyala diapit kedua jarinya. Ditemani dengan segelas plastik kopi susu tanggungan yang sudah mendingin. Kehangatannya ikut terbawa oleh angin malam.
"Mang, kalo jarak bumi dan bulan deket, Mang Sani mau pindah ke bulan gak?"
Mang Sani menggeleng, masih sibuk menyeduh segelas kopi susu hangat untuk pembeli yang tengah menunggunya. "Enggak, di bulan gak ada pembeli, entar Mamang gak bisa jualan."
Jendral tergelak mendengar jawaban logis yang keluar dari mulut Mang Sani. "Mang Sani tenang aja, saya bakalan jadi pelanggan tetap Mang Sani pas nanti di bulan."
"Ya, kalau satu gelas kopi yang kejual tetep aja saya gak bisa makan, lagipula disana gak ada pasar, gak ada jalanan, gak ada kehidupan."
"Mang Sani lupa? Kan di bulan ada Nini Anteh sama kucingnya, pasti peradaban disana sudah mulai hidup," jawabnya menerka-nerka.
"Tempat untuk hidup terbaik tetap bumi Jendral, kamu tahu alasan kenapa Tuhan menurunkan Adam dan Hawa di bumi bukan di bulan? Karena Tuhan sudah menggariskan bahwa Adam dan Hawa harus membuat peradaban disini."
"Bumi udah terlalu sesak Mang, sampai saya selalu bingung, di tempat sebesar ini kenapa gak ada satupun yang siap untuk saya jadikan tempat pulang?" setelahnya Jendral menghela nafas lelah.
Terlihat jelas kelelahan tergambar dalam guratan di wajahnya. Jendral, laki-laki itu menghisap kembali rokoknya, mengeluarkan kepulan asap dengan sangat pasrah. Pandangannya mengarah ke jalanan, sembari berpikir "Tuhan tak pernah sekalipun memberi jeda dalam kehidupan."
Namanya Jendral Tirtayasa Malik. Laki-laki yang lebih sering menghabiskan sisa hari di bahu Jalan Dago ditemani rokok, kopi susu, dan Mang Sani. Laki-laki yang akan kembali ke kontrakan tepat pada jam 3 subuh. Setiap kali ditanya kenapa Jendral selalu pulang jam 3, jawabannya akan selalu sama, "Jam 3 itu waktu dimana kehidupan benar-benar muncul Mang, saya bosan jika harus meratapi penghujung hari sendirian di sudut kamar."
Akhirnya dia sering terdampar disini dari jam 11 malam sampai jam 3 subuh, tepat setelah rapat di himpunan selesai. Menghabiskan hari bersama obrolan random yang selalu disahuti oleh Mang Sani, salah satu teman Jendral yang memberi banyak petuah mengenai kehidupan kepada Jendral. Pertemuannya dengan Mang Sani biasa saja, layaknya seperti penjual dan pembeli. Entah angin apa yang mendorongnya, membuat Jendral memantapkan hati untuk menjadi pelanggan tetap Mang Sani.
"Jendral, setiap insan akan mempunyai tempat untuk pulang, mustahil baginya untuk tidak punya rumah, di tempat Mamang anggap aja kamu lagi ngekost yang sebulan dua bulan kamu mungkin akan pergi, tapi rumah yang sebenarnya tidak akan bisa kamu tinggalkan, setahun dua tahun atau tiga tahun kamu pergi, rumah itu akan tetap ada, menunggu pemiliknya untuk kembali dari perantauan."
Mang Sani tahu seluk-beluk kisah tentang Jendral. Alasan Jendral merantau ke Bandung dan alasan kenapa Jendral tidak pernah mau pulang selama hampir 3 tahun hidup di perantauan. Tanpa diminta, Jendral selalu menceritakan segalanya. Mang Sani adalah wali bagi diri Jendral sendiri. Meskipun dia baru mengenal Mang Sani selama 1 tahun terakhir, Jendral selalu mengucap syukur kepada Tuhan karena setidaknya masih ada orang baik yang mau mengulurkan tangan kepadanya.
Diam-diam Jendral sudah mulai jengah atas segala problematika yang bermunculan dalam setiap kehidupannya. Tapi Jendral tahu dengan jelas, Tuhan memberikan kebahagiaan dan kesedihan kepada setiap insan dengan porsi yang seimbang. Lambat laun, bayangan Ibu dan Bapak menghampiri memori dengan sesaat. Ah, jika Jendral ditanya rindu kepada Ibu dan Bapak apa tidak? Jendral akan dengan lantang menyebutkan bahwa dia merindukan keduanya.
Jendral menoleh, menatap Mang Sani yang kini tengah memandang lurus ke depan, "Mang, bagaimana cara untuk pulang?"
"Dengan menyelesaikan semuanya Jendral."
Bersambung....
Selamat datang di dunia Jendral yang sangat nano-nano. Cerita ini akan dipenuhi dengan berbagai kejutan dari hidup seorang Jendral. Tentang Jendral, tentang sisi dari dalam diri seorang Jendral, dan banyak hal lainnya. Semoga jatuh cinta dengan Jendral <3
Salam hangat dari aku yang menulis kisah hidup Jendral dari sudut kamar.
Ini Jendral, yang lebih suka menikmati kopi susu di penghujung hari daripada menikmati kopi susu dan senja di sore hari. Hidup Jendral sepenuhnya dikuasai oleh himpunan dan kopi susu buatan Mang Sani. Cita-cita Jendral sangat tidak masuk akal untuk sebagian orang: pindah ke bulan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah
FanfictionJendral namanya. Menjadi kuat bukan slogannya. Jendral hanya laki-laki biasa penikmat kopi susu, rokok dan bahu Jalan Dago di penghujung malam sampai bertemu dengan pagi. Jendral selalu merasa tak ada tempat untuknya bisa pulang. Jendral selalu bera...